Yogyakarta dan Jakarta Masuk dalam 5 Kota Perilaku Ramah Lingkungan

Foto udara suasana gedung bertingkat di kawasan Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta, Jumat (3/4/2020). Foto: ANTARA

apakabar.co.id, JAKARTA – Lembaga Penelitian Pendidikan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) didukung oleh Direktorat Pencegahan Dampak Lingkungan Kebijakan Wilayah dan Sektor KLHK baru saja menyusun Indeks Perilaku Ramah Lingkungan (IPRLH) tahun 2024.

Direktur Program Penelitian LP3ES Erwan Halil dalam keterangannya di Jakarta, Sabtu (30/11) menjelaskan, Indeks Perilaku Ramah Lingkungan (IPRLH) 2024 menempatkan 5 provinsi dengan predikat Perilaku Ramah Lingkungan.

Lima provinsi itu meliputi Daerah Istimewa Yogyakarta (0,71), Daerah Khusus Jakarta (0,69), Maluku (0,65), Nanggroe Aceh Darussalam (0,64), dan Kalimantan Timur (0,64).

“Sedangkan 33 provinsi lainnya hadir dengan kategori Cukup Ramah Lingkungan. Dua provinsi teratas adalah Sumatera Utara dan Kepulauan Riau yang berpotensi masuk kategori Ramah Lingkungan,” kata Erwan dalam keterangannya, Sabtu (30/11).

Lebih lanjut, Erwan menjelaskan bahwa daerah yang memiliki score 0,52 berarti perilaku masyarakatnya terhadap lingkungan berada dalam kategori rentan atau berperilaku tidak ramah lingkungan. Itu sekaligus menunjukkan bahwa banyak daerah di Indonesia berada dalam kategori rentan.

“Hal itu ditandai dengan gap signifikan antara dimensi pengetahuan (0,62), sikap (0,48), dan praktik (0,45) untuk mendukung keberlanjutan lingkungan,” katanya.

Indonesia saat ini, kata Erwan, menghadapi tantangan besar dalam mempertahankan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup di tengah tekanan eksploitasi sumber daya alam, serta praktik pengelolaan sampah yang belum optimal.

Hasil penelitian juga menunjukkan, keberlanjutan kapasitas ekosistem Indonesia ditopang oleh kemampuan lingkungan hidup yang optimal.

Ketersedian air misalnya. Penelitian ini menunjukkan bahwa dari 15.200 responden yang ditemui, merea menyebutkan selalu tersedia air baik musim hujan maupun kemarau sebanyak 59,4% dan tersedia air meskipun sedikit berkurang di musim kemarau namun masih mencukupi sebesar 31,2%.

Sayangnya, keberlimpahan itu tidak diimbangi dengan praktik ramah lingkungan yang berkelanjutan, seperti mematikan kran air saat sedang tidak digunakan (34,21%), menampung air hujan dan digunakan kembali  untuk keperluan rumah tangga (31,80%) dan memanfaatkan air bekas untuk keperluan lain. Misalnya, air bekas cuci sayur/buah digunakan untuk menyiram tanaman (17,38%).

Ketidakseimbangan antara kemampuan lingkungan hidup dan perilaku warga juga terdapat dalam berbagai aktivitas individu dalam focal area udara, tanah, laut dan kehati. Terlihat adanya pemanfaatan halaman rumah atau ruang terbuka untuk menanam tanaman/pohon sebanyak 37,03%, mengurangi penggunaan tissu (26,76%) dan kertas (25,09%).

“Sementara terkait penggunaan transportasi publik/ angkutan umum untuk melakukan aktivitas sehari-hari ditemukan angkanya mencapai 18,93%,”  kata Erwan.

Diluar praktik individu pada tingkat rumah tangga, sebanyak 151 informan kunci yang diwawancarai secara tatap muka, menyebutkan deforestasi, tambang ilegal, serta alih fungsi lahan telah memberikan tekanan besar terhadap ekosistem.

“Tekanan itu terjadi tidak hanya di pulau Jawa namun juga di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Papua,” ujarnya.

Memulai gaya hidup ramah lingkungan bisa dimulai dengan kebiasaan-kebiasaan kecil di rumah. Tak hanya bermanfaat bagi alam, gaya hidup ini bisa membuat kesehatan keluarga tetap terjaga dan bahagia. Foto: bfi

Kajian IPRLH, kata Erwan merupakan hasil pengukuran dari penelitian yang dilakukan melalui pendekatan kuantitatif dan kualitatif, dengan cakupan pengumpulan data di 38 provinsi dan 15.200 responden.

Responden dipilih menggunakan kombinasi antara Purposive Sampling dan Stratifikasi Acak, mencakup wilayah yang beragam, yakni pedesaan, perkotaan, pesisir, hingga kawasan hutan.

“Pengambilan data mencakup studi iteratur untuk menentukan variabel dan indikator, terang Erwan.

Survei nasional berbasis provinsi dilakukan dengan margin kesalahan (error) ±5% di tingkat provinsi dan ±0,8% di tingkat nasional. Wawancara mendalam kepada informan kunci, termasuk akademisi dan pegiat lingkungan. Selanjutnya Focus Group Discussion (FGD) digelar untuk memvalidasi hasil bersama para ahli lingkungan, dan lainnya.

Selama ini, kata Erwan, belum ada pengukuran untuk memetakan perilaku manusia sebagai pelaku utama dalam pengelolaan lingkungan. Padahal lingkungan hidup merupakan pilar utama kelangsungan hidup manusia dan makhluk hidup lainnya, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009.

“Kajian berbasis pengukuran nonfisik ini diharapan mampu menghasilkan indeks yang mencerminkan pengetahuan, sikap, dan praktik ramah lingkungan masyarakat,” paparnya.

Selain itu, dalam upaya memperkuat perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, kajian IPRLH dilakukan untuk mengidentifikasi kontribusi manusia melalui perilaku sehari-hari yang mendukung keberlanjutan.

204 kali dilihat, 1 kunjungan hari ini
Editor: Jekson Simanjuntak

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *