LINGKUNGAN HIDUP

Solidaritas Merauke Tolak Pelepasan 474 Ribu Hektare Hutan Papua Selatan untuk Proyek Swasembada Pangan dan Energi

Solidaritas Merauke menegaskan bahwa Papua bukan tanah kosong. Setiap jengkal tanah, hutan, rawa, dan sungai di wilayah tersebut dimiliki oleh masyarakat adat yang hidup berdasarkan hukum adat turun-temurun.
Solidaritas Merauke menyatakan protes atas intensi kebijakan dan tindakan negara atas dasar tanah milik negara telah merampas dan membatalkan kedaulatan dan hak masyarakat adat.  Foto: istimewa untuk apakabar.co.id
Solidaritas Merauke menyatakan protes atas intensi kebijakan dan tindakan negara atas dasar tanah milik negara telah merampas dan membatalkan kedaulatan dan hak masyarakat adat. Foto: istimewa untuk apakabar.co.id


apakabar.co.id, JAKARTA - Pemerintah kembali mendapat sorotan tajam setelah kebijakan pelepasan kawasan hutan di Papua Selatan menuai protes dari masyarakat sipil dan kelompok adat. Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Nusron Wahid mengumumkan bahwa pemerintah telah melepas 474 ribu hektare lahan dari kawasan hutan untuk mendukung program swasembada pangan dan energi nasional di Provinsi Papua Selatan.

Pengumuman tersebut disampaikan Nusron usai Rapat Koordinasi Terbatas (Rakortas) dan menjadi pemberitaan nasional pada 29 September 2025. Menurutnya, lahan yang dilepaskan merupakan kawasan hutan milik negara dan tidak berpenghuni, sehingga tidak memerlukan proses pembebasan lahan.

“Kan ini hutan, punya negara. Nggak ada (pembebasan lahan), belum ada penduduknya, nggak ada yang bermukim di situ,” ujar Nusron.

Kebijakan ini merupakan tindak lanjut dari Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 591 Tahun 2025, yang menetapkan perubahan status kawasan hutan menjadi Areal Penggunaan Lain (APL) seluas 486.939 hektare. Perubahan tersebut dilakukan untuk mempercepat pembangunan kawasan swasembada pangan, energi, dan air nasional di Papua Selatan.

Namun, keputusan ini mendapat penolakan keras dari Solidaritas Merauke, yang menilai kebijakan tersebut mengulang praktik kolonial lama. Mereka menilai pernyataan “tanah negara yang tidak berpenghuni” mencerminkan cara pandang doktrin terra nullius atau tanah kosong, yang dulu digunakan penjajah Eropa untuk merampas tanah masyarakat adat. Doktrin ini, menurut mereka, sejalan dengan kebijakan kolonial Belanda “domein verklaring”, yang menyatakan bahwa tanah tanpa bukti kepemilikan sah adalah milik negara.

Dalam pernyataannya, Solidaritas Merauke menegaskan bahwa Papua bukan tanah kosong. Setiap jengkal tanah, hutan, rawa, dan sungai di wilayah tersebut dimiliki oleh masyarakat adat yang hidup berdasarkan hukum adat turun-temurun. Karena itu, klaim negara atas tanah dengan dalih “tidak berpenghuni” dianggap mengabaikan hak masyarakat adat sebagaimana diatur dalam Pasal 18B UUD 1945 dan Pasal 43 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua.

Solidaritas Merauke juga menyoroti bahwa proses penyusunan kebijakan ini dilakukan secara kilat dan tertutup, tanpa melibatkan masyarakat adat secara bermakna. Mereka menilai penerbitan berbagai kebijakan—termasuk Keputusan Menteri Kehutanan, Ranperda RTRW Papua Selatan, dan pembahasan lintas sektor ATR/BPN—dilakukan tanpa konsultasi publik dan tanpa persetujuan bebas masyarakat adat, yang seharusnya mengikuti prinsip FPIC (Free, Prior and Informed Consent).

Akibatnya, suku-suku adat seperti Malind Anim, Makleuw, Khimahima, Yei di Merauke, serta Wambon Kenemopte dan Awyu di Boven Digoel, merasa terpinggirkan. Mereka mengaku tidak pernah dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan, meski wilayah adat mereka termasuk dalam kawasan yang kini dialihfungsikan. Penolakan yang mereka sampaikan berulang kali pun tidak direspons oleh pemerintah.

Solidaritas Merauke menilai kebijakan pelepasan kawasan hutan ini bukan murni untuk kepentingan pangan rakyat, melainkan untuk memfasilitasi proyek-proyek komersial besar, seperti: proyek cetak sawah baru, pengembangan perkebunan dan industri minyak sawit, perkebunan tebu dan industri bioetanol, peternakan skala besar, industri amunisi propelan, hingga pembangunan dermaga dan bandara, termasuk landasan pesawat tempur.

Menurut mereka, proyek-proyek tersebut justru berpotensi menghancurkan lingkungan hidup, mengancam sumber pangan masyarakat lokal, serta menghapus ruang hidup masyarakat adat yang selama ini bergantung pada hutan.

“Ini bukan pembangunan untuk rakyat, tapi perampasan kekayaan rakyat dengan dalih proyek strategis nasional,” tegas Solidaritas Merauke dalam pernyataannya, Selasa (7/10).

Mereka menuntut pemerintah untuk menghentikan total kebijakan perubahan peruntukan kawasan hutan, revisi RTRW Papua Selatan, dan berbagai izin usaha yang dinilai mengorbankan rakyat serta lingkungan hidup.

Solidaritas Merauke menegaskan bahwa pembangunan sejati harus berangkat dari penghormatan terhadap hak masyarakat adat dan kelestarian alam Papua, bukan dari perampasan atas nama pembangunan nasional.