apakabar.co.id, JAKARTA — Suara lantang perlawanan terhadap krisis lingkungan menggema dari pesisir utara Manado dalam Jambore Jurnalistik 2025 yang berlangsung pada Sabtu-Minggu, 19 dan 20 Juli 2025. Acara yang mengusung tema “Selamatkan Pesisir, Selamatkan Ruang Hidup Kita” ini menjadi ruang bertemunya jurnalis, akademisi, aktivis, dan masyarakat pesisir yang resah dengan ancaman kerusakan lingkungan akibat proyek reklamasi.
Jambore ini tak sekadar ajang berkumpul, tetapi menjadi forum solidaritas dan kritik keras terhadap proyek reklamasi yang dianggap mengabaikan keberlanjutan ekosistem dan nasib masyarakat pesisir. Diskusi publik bertajuk ‘Reklamasi dan Masa Depan Pesisir Manado: Siapa Diuntungkan, Siapa Tergusur?’ menjadi salah satu sorotan utama dalam kegiatan ini.
Dalam diskusi tersebut, Prof. Rignolda Djamaluddin dari Universitas Sam Ratulangi (Unsrat) menyampaikan kritik tajam terhadap proyek reklamasi di Manado Utara. Ia menyebut proyek ini sebagai tindakan gila yang berpotensi merusak lingkungan.
“Pantai Manado Utara adalah zona lindung berdasarkan Perda Nomor 1 Tahun 2017 dan RZWP3K. Namun aturan ini diabaikan begitu saja,” ujarnya.
Rignolda mengungkapkan bahwa Pantai Karangria, yang termasuk dalam wilayah reklamasi, merupakan tempat penyu bertelur. Dalam aturan yang ada, daerah imigrasi biota laut tidak boleh direklamasi, namun faktanya tetap dilakukan.
Selain itu, kondisi dasar laut di Manado Utara berupa jurang dalam, sehingga penimbunan untuk reklamasi dinilai tidak logis dan membahayakan ekosistem.
Ia juga menyoroti bahwa reklamasi sudah dilakukan sejak 1995, tetapi tidak memberikan hasil yang jelas. Banyak lahan reklamasi terbengkalai, sementara nelayan kehilangan ruang hidupnya.
“Pantai bagian selatan juga direklamasi, tetapi banyak lahan yang tidak termanfaatkan dengan baik. Reklamasi ini tanpa konsep yang jelas,” paparnya.
Joni Aswira, Ketua Umum Society of Indonesian Environmental Journalists (SIEJ), mengingatkan peran penting jurnalis untuk berpihak pada isu lingkungan dan kelompok rentan. “Jurnalis tidak boleh netral jika menyangkut kerusakan lingkungan. Kita harus berpihak pada ekologi dan masyarakat pesisir yang terdampak,” katanya.
Dari sisi pemerintah, Kepala Bidang DLH Kota Manado, Eddy Masengi, menyatakan bahwa pembangunan harus tetap memperhatikan prinsip berkelanjutan. Ia menegaskan bahwa regulasi seperti AMDAL dan RZWP3K adalah alat perlindungan, bukan sekadar formalitas.
“Pembangunan harus tetap dalam koridor perlindungan publik,” ucapnya.
Selain diskusi, berbagai aksi simbolik turut memeriahkan jambore ini. Warga, pelajar, dan aktivis menampilkan puisi, musik akustik, dan melukis mural di dinding daseng, tempat nelayan tradisional berkumpul. Dalam sesi aspirasi, masyarakat pesisir menyuarakan keresahan mereka.
Sekjen Aliansi Masyarakat Peduli Lingkungan Tolak Reklamasi (AMPLTR), Piter Sasundame, menyebut proyek reklamasi dilakukan tanpa partisipasi warga. “Kami tidak pernah diajak bicara apalagi melihat AMDAL-nya. Semua ini penuh manipulasi. Bohong semua,” tegas Piter.
Acara juga diisi dengan pemutaran film dokumenter ‘Watchdog: Memunggungi Laut’ yang memperlihatkan dampak reklamasi di berbagai daerah Indonesia. Film ini menjadi refleksi bagi peserta bahwa masalah serupa terjadi di banyak tempat.
Jambore ditutup dengan penandatanganan petisi penolakan reklamasi Manado Utara. Jurnalis, aktivis, seniman, dan masyarakat pesisir menyatakan sikap bersama untuk mempertahankan ruang hidup mereka dari ancaman reklamasi.