apakabar.co.id, JAKARTA – Densus 88 diduga memata-matai Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus). Saat itu Febrie Adriansyah sedang menyantap makan malam di sebuah restoran Prancis Cipete Jakarta Selatan, akhir pekan tadi
Salah satu anggota Densus 88 yang tertangkap basah mengintai Febri belakangan berhasil diamankan. “Yang disuruh pangkatnya cuma bripda,” jelas sumber media ini.
Satunya lagi berhasil kabur dari kejaran polisi militer. Bripda tersebut ketahuan mengeluarkan alat perekam ke arah Febrie.
Saat diperiksa ia memiliki sejumlah identitas. Diduga samaran. Di antaranya m karyawan PT Telkom bernama Raka Maheswara. Padahal, sesuai kartu tanda anggota yang ditemukan, Iqbal merupakan anggota Densus 88.
Belakangan waktu Febrie memang mendapat pengawalan ekstra. Sebab ia dan timnya sedang menangani kasus megakorupsi tambang timah.
Sudah 21 tersangka terseret kasus yang disinyalir merugikan keuangan negara sebab dahsyatnya kerusakan lingkungan akibat praktik kotor tambang ilegal. Jika dikonversi rupiah, nilainya bahkan menembus Rp271 triliun.
Teranyar, penyidik telah menetapkan seorang bernama Suparta. Lewat salah satu tersangka korupsi PT Timah ini, penyelidikan aset-aset terkait aliran uang haram timah digeber.
Penyelidikan menyusul mencuatnya nama pengusaha Robert Priantono Bonosusastya alias RBT. Keduanya diduga terkait pengelolaan The Tribatra Dharmawangsa, sebuah gedung pernikahan mewah di Jakarta Selatan.
Pasca-penangkapan terduga anggota Densus 88, Gedung Kejagung di kawasan Bulungan Jakarta didatangi sejumlah polisi, Kamis (23/5).
Sempat adu argumentasi antara para polisi dengan polisi militer yang memang sengaja disiagakan TNI di Kejagung. Sejumlah personel yang dikawal kendaraan taktis dan 12 personel sepeda motor itu pun akhirnya urung memasuki kantor Kejagung.
Sampai berita ini diturunkan, belum ada keterangan resmi. Baik dari kepolisian maupun kejaksaan. apakabar juga berupaya menghubungi pihak Densus, namun tak kunjung ada jawaban, sejak kemarin.
Apa yang harus dilakukan kapolri terkait kasus penguntitan dan pengerahan personel ke markas Kejagung?
Bambang Rukminto, Peneliti Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) melihat indikasi Polri telah menyalahgunakan satuan anti-teror.
“Artinya penggunaan kekuatan tidak pada tupoksinya sebagai satuan anti-teror,” jelas Rukminto kepada apakabar.co.id.
Densus 88 tentu bergerak bukan atas inisiatif masing-masing personel. Kapolri perlu sesegera mungkin memberi publik penjelasan.
“Tentu ada yang memerintahkan. Siapa dan apa motifnya tentu bisa dijelaskan oleh kadensus 88 AT atau kapolri sebagai atasan kadensus,” jelasnya.
Setelah kejadian, pihak Kejagung sempat menghubungi kabareskrim. Namun Komjen Wahyu Widada mengaku tak tahu menahu.
Densus bukanlah satuan di bawah Bareskrim. Melainkan berdiri mandiri. Konfirmasi yang dilakukan salah alamat.
“Apakah benar mereka adalah timnya (Densus), atau hanya digerakkan oleh oknum saja? Oknumnya siapa tentu juga bisa dijelaskan agar tak memunculkan pretensi berbagai macam di masyarakat.”
Terpisah, Akademisi Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah melihatnya senada; overlaping kewenangan.
“Ini seperti petani sedang menyangkul di tengah sungai,” jelas Castro, sapaan karibnya.
Kata Castro, harus ditelusuri apa motif di baliknya. Bisa jadi upaya mengamankan kasus tertentu.
“Ini yang harus diuraikan. Karena tidak elok antar korps saling memata-matai. Kecuali memang ada laporan masyarakat, baru boleh dilakukan. Itupun oleh aparat yang punya wewenang, bukan densus 88,” jelasnya.