Gereja POUK Tesalonika Disegel, Potret Nyata Intoleransi

Papan pemberitahuan penyegelan dipasang di gedung Yayasan milik Gereja POUK Tesalonika oleh Pemerintah Kabupaten Tangerang. Penyegelan dilakukan pada Sabtu, 19 April 2025, dengan alasan pelanggaran Perda No. 03 Tahun 2018 tentang Tata Ruang dan Bangunan. Gedung ini sebelumnya digunakan jemaat untuk beribadah saat peringatan Jumat Agung. Foto: Istimewa

apakabar.co.id, JAKARTAGereja POUK Tesalonika menghadapi perjalanan yang panjang dan tidak mudah dalam menjalankan ibadah. Sejak mengalami persekusi pada 30 Maret 2024, umat tidak lagi dapat beribadah di tempat semula.

Sebagai solusi sementara, pemerintah setempat memfasilitasi penggunaan Aula Kantor Kecamatan lama yang berjarak sekitar 2 kilometer dari pemukiman warga jemaat. Fasilitas ini diberikan untuk masa penggunaan mulai 28 April 2024 hingga 13 April 2025.

Namun dalam praktiknya, penggunaan gedung tersebut masih diwarnai dengan berbagai hambatan. Setiap kali menjelang hari raya besar keagamaan seperti Natal dan Jumat Agung, pihak gereja diminta untuk menyurati pihak Kecamatan terlebih dahulu. Sayangnya, surat-surat tersebut kerap tidak direspons.

Pada peringatan Kenaikan Yesus Kristus, 9 Mei 2024, jemaat tidak dapat menggunakan gedung yang disediakan karena tidak mendapatkan balasan surat. Sebagai gantinya, ibadah dilakukan di rumah salah satu warga.

Hal serupa terjadi pada perayaan Natal, 24-25 Desember 2024. Surat permohonan penggunaan aula telah diajukan, namun tidak juga mendapat tanggapan dari pihak Kecamatan.

Menjelang peringatan Jumat Agung pada 18 April 2025, gereja POUK Tesalonika kembali mengirim surat permohonan pemakaian aula pada 15 April. Tidak ada balasan hingga hari ibadah tiba.

Karena itu, pihak gereja memutuskan menggunakan gedung yayasan milik mereka sendiri. Langkah itu diambil setelah mendapatkan surat rekomendasi dari KOMNAS HAM terkait kebebasan beribadah.

Namun, pada malam sebelum ibadah, Sekretaris Camat bernama Rizki meminta secara lisan agar kegiatan ibadah tidak dilakukan di gedung yayasan. Bahkan ia menyatakan ‘angkat tangan’ jika jemaat tetap beribadah di sana.

Saat ibadah Jumat Agung berlangsung, Ketua Jemaat juga mendapat teguran langsung dari Kasat Intel Polres Tangerang yang meminta agar ke depan ibadah tidak dilakukan di gedung yayasan.

Pada Sabtu, 19 April 2025, jemaat diundang untuk rapat dengan Forum Komunikasi Pimpinan Kecamatan (Forkopimca). Namun karena sedang dalam suasana Tri Suci Paskah, jemaat meminta agar rapat dijadwalkan ulang.

Pada sore harinya, sekitar pukul 17:30 WIB, empat orang polisi berseragam dan dua orang berpakaian sipil datang ke rumah Ketua Jemaat. Mereka menyerahkan surat balasan dari Camat yang menyatakan bahwa aula Kecamatan dapat digunakan untuk ibadah Jumat Agung — surat yang ironisnya baru disampaikan setelah ibadah selesai dilakukan.

Lebih mengejutkan lagi, pada pukul 18:00 WIB, gedung yayasan tempat jemaat beribadah resmi disegel.

Pdt. Michael Siahaan, selaku pimpinan gereja, menyampaikan keprihatinannya atas situasi ini. “Kami hanya ingin beribadah dengan damai. Tidak lebih. Kami sudah mengikuti prosedur, mengirim surat, bahkan mendapat rekomendasi dari KOMNAS HAM. Tapi justru kami dipersulit dan diperlakukan seolah-olah melanggar hukum,” ujarnya.

Ia menambahkan bahwa tindakan penyegelan terhadap gedung yayasan merupakan bentuk intimidasi terhadap kebebasan beragama yang dilindungi konstitusi. “Ini bukan sekadar persoalan tempat, tapi soal hak dasar sebagai warga negara,” tegasnya.

Perjalanan Gereja POUK Tesalonika menunjukkan bahwa perjuangan untuk beribadah secara damai dan layak masih terus berlangsung. Harapan selalu ada agar ke depan, kebebasan beragama yang dijamin oleh konstitusi benar-benar bisa dirasakan oleh semua umat, tanpa diskriminasi atau hambatan administratif.

602 kali dilihat, 605 kunjungan hari ini
Editor: Jekson Simanjuntak

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *