apakabar.co.id, BANJARMASIN – Menjelang lengser, Wali Kota Banjarmasin Ibnu Sina ditengarai cawe-cawe dengan mendukung calon tertentu di Pilkada 2024 mendatang.
Intervensi atau cawe-cawe politik Ibnu Sina ini diendus oleh kelompok masyarakat yang mengatasnamakan diri Aliansi Pemuda Peduli Pemilu.
Mereka pun melakukan unjuk rasa lewat aksi simbolik di jembatan layang Jalan Ahmad Yani Banjarmasin, Rabu (16/10).
Aspirasi disampaikan dengan membentangkan spanduk besar dan selembaran kertas yang dibagikan ke pengendara motor, “Setop cawe-cawe, #SavePilkada.”
“Yang sangat disayangkan, kami menemukan ada cawe-cawe dari wali kota yang sedang menduduki jabatannya,” ujar Koordinator Aliansi Pemuda Peduli Pemilu, Abdullah Zaky Zuhair.
Sejumlah bukti dugaan keterlibatan Ibnu Sina mereka kantongi. Paling nyata, adalah upaya mempromosikan calon kepala daerah tertentu.
“Ya mana kami temukan itu di media sosial wali kota,” tekan mahasiswa satu ini.
Padahal, kata dia, dalam PKPU nomor 13/2024 melarang pejabat daerah ikut berkampanye. Apabila mau cawe-cawe, maka wajib cuti.
“Akan terus kita kawal,” ucapnya.
Terdekat, mereka akan melapor ke Bawaslu. Bahwa isu netralitas ini merupakan hal vital. Cerminan intergritas dan kualitas bakal pemimpin mendatang.
Lantas bolehkah cawe-cawe politik seorang kepala daerah?
Pakar politik nasional Ujang Komarudin melihat cawe-cawe politik kini sebagai hal lumrah. Banyak terjadi di semua tempat atau hampir terjadi di semua daerah.
“Siapa yang menjabat siapa yang punya kekuasaan baik wali kota, bupati, gubernur ya pasti akan cawe-cawe,” jelas akademisi Universitas Al-Azhar Indonesia ini kepada apakabar.co.id.
Namun Ujang merasa dilema. Sebab, sampai hari ini tak ada aturan atau ketentuan yang mengatur atau setidaknya membatasi seorang kepala daerah melakukan intervensi politik.
“Akhirnya mereka cawe-cawe itu yang menjadi persoalan,” jelas Ujang.
“Tapi, apakah boleh atau tidak ya kalau kita bicara etika moral ya enggak bagus, enggak tepat,” sambung Ujang.
Kurang tepat, sambung Ujang, mengingat kepala daerah masih memiliki kemampuan menggerakan sumber daya pemerintahan. Termasuk ASN.
“Secara etika tidak bagus. Karena keberpihakannya itu berpotensi akan menggunakan instrumen-instrumen pemerintahan,” pungkas Ujang. Sampai berita ini tayang, Ibnu belum merespons pesan maupun panggilan media ini.