JPPI: Setiap Hari Ada Satu Kasus Kekerasan di Sekolah

JPPI merilis data hasil pemantauan kekerasan di dunia pendidikan di tahun 2024, serta strategi JPPI merilis data hasil pemantauan kekerasan di dunia pendidikan tahun 2024, serta strategi mengakhiri kekerasan di sekolah yang diadakan di Bakoel Kopi, Cikini, Jakarta Pusat, Jumat (27/12/2024). Foto: JPPI

apakabar.co.id, JAKARTA – Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) merilis data pemantauan kekerasan di dunia pendidikan sepanjang tahun 2024. Hasilnya cukup mengejutkan.

Ubaid Matraji Koordinator Nasional JPPI menyebut, setiap harinya terjadi minimal 1 (satu) kasus kekerasan di dunia pendidikan. Angka itu didapat dari tren lonjakan kekerasan sejak tahun 2020 hingga sekarang (2024).

Pada tahun 2020, kata Ubaid, terdapat 91 kasus kekerasan, lalu naik menjadi 142 kasus di 2021. Selanjutnya 194 kasus di 2022, 285 kasus di 2023, dan tahun 2024 menjadi 573 kasus.

“Bila 1 tahun ada 366 hari, sedangkan jumlah kasus kekerasan mencapai 573, maka bisa dikatakan setiap hari minimal ditemukan 1 kasus kekerasan di lembaga pendidikan,” ujar Ubaid saat Diskusi Akhir Tahun dan Peluncuran Data Pemantauan Kekerasan di Sekolah 2024 yang dilaksanakan di Bakoel Kopi, Cikini, Jumat (27/12).

Dibanding tahun-tahun sebelumnya, kata Ubaid, jumlah kasus kekerasan mengalami lonjakan tajam di tahun 2024. Jika dibandingkan tahun sebelumnya, lonjakannya tahun ini lebih dari 100% kasus kekerasan di sekolah.

Menurut Ubaid, kekerasan di lembaga pendidikan merata terjadi di seluruh provinsi di Indonesia. Sejauh ini ditemukan lima provinsi sebagai daerah paling rawan terjadinya kekerasan.

Lima provinsi dengan kasus kekerasan terbanyak di Indonesia meliputi: Jawa Timur (14,2%) sebanyak 81 kasus, Jawa Barat (9,8%) 56 kasus, Jawa Tengah (7,8%) 45 kasus, Banten (5,4%) 32 kasus dan Jakarta (4,9%) sebanyak 30 kasus

Kekerasan di lembaga pendidikan, papar Ubaid, terjadi di semua jenis satuan pendidikan, baik di sekolah, madrasah, hingga pesantren.

Berdasarkan data, kasus kekerasan paling menonjol terjadi di sekolah dengan prosentase 64%. Sementara di lembaga pendidikan berbasis agama, ditemukan 36% kasus, dengan rincian di madrasah sebesar 16% dan pesantren 20%.

Dari data itu, ungkap Ubaid, sekolah masih menjadi lokasi paling rawan terjadinya kekerasan. Tempat kejadian perkara (TKP) di dalam sekolah cakupannya mencapai 58%. Sementara kejadian di luar sekolah sebesar 27%.

Tidak hanya itu, sekolah berasrama dan pesantren, yang semestinya melakukan pengawasan selama 24 jam, ternyata tidak luput dari praktik kekerasan.

“Ditemukan kasus kekerasan pada anak sejumlah 15%, terjadi di dalam asrama/ pesantren,” ungkapnya.

Awet dari masa ke masa

Semua jenis kekerasan yang terjadi di Lembaga pendidikan, menurut Ubaid, sangat beragam dan terjadi terus menerus.

Kasus kekerasan tersebut, meliputi kekerasan seksual (42%), perundungan (31%), kekerasan fisik (10%), kekerasan psikis (11%), dan kebijakan diskriminatif (6%).

Dari jumlah itu, terdapat 2 (dua) jenis kasus kekerasan terbanyak, yakni kekerasan seksual dan perundungan. Kedua jenis kekerasan ini, kata Ubaid, masuk dalam kategori 3 (tiga) dosa besar di dunia pendidikan.

“Tiga dosa besar di dunia pendidikan meliputi kekerasan seksual, perundungan, dan intoleransi, yang hingga kini belum menemukan titik terang,” papar Ubaid.

Sementara itu, jenis kekerasan yang masuk kategori kebijakan diskriminatif, meliputi; penolakan pendirian sekolah kelompok minoritas, pewajiban/pelarangan jilbab, pembatasan guru dan siswa minoritas, dll.

Menurut Ubaid, korban kekerasan di jenjang pendidikan dasar hingga menengah, berbeda-beda tergantung jenis kekerasannya.

Jika kekerasan seksual, maka mayoritas korbannya adalah perempuan. Angkanya mencapai 97%. Sementara korban laki-laki, hanya 3%.

“Sementara di kasus perundungan, mayoritas korbannya laki-laki (82%) dengan korban perempuan hanya 18%,” terang Ubaid.

Yang juga mengejutkan, beber Ubaid, kasus kekerasan di lembaga pendidikan, pelakunya cukup beragam. Ternyata pelaku paling banyak didominasi oleh tenaga pendidik alias guru. Jumlahnya mencapai 43,9%.

Selain guru, ada juga peserta didik dengan persentase 13,6%, tenaga kependidikan (2,5%), dan lainnya (39,8%). “Mereka yang termasuk lainnya itu adalah petugas keamanan sekolah, orang tua, senior, geng sekolah, masyarakat, dan lain-lain,” beber Ubaid.

Meski guru dalam kasus kekerasan di sekolah banyak menjadi pelaku, namun tidak sedikit pula dari antara mereka yang menjadi korban.

Kasus guru diketapel murid, dipukuli orang tua, hingga kriminalisasi guru masih mewarnai serba-serbi dunia pendidikan di sepanjang tahun 2024 ini.

“Kasus guru menjadi korban kekerasan ini, ditemukan mencapai 10,2%,” katanya.

Keberadaan Satgas Penguatan Pendidikan Karakter (PPK) dan Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan (TPPK) ternyata masih belum diketahui oleh masyarakat dengan baik. Pasalnya sebanyak 83% orang tua dan masyarakat yang menyatakan tidak tahu keberadaan Satgas/TPPK.

Khusus penanganan kasus kekerasan di sekolah, ternyata orang tua dan masyarakat (91%) mengaku tidak puas. Hal itu karena Satgas PPK dan TPPK tidak bekerja optimal.

“Saat mekanisme penyelesaian kasus kekerasan di sekolah tidak tuntas, tak heran jika langsung dilaporkan ke kepolisian,” papar Ubaid.

Rekomendasi

Mengatasi kasus kekerasan yang terjadi di sekolah, JPPI mengeluarkan sejumlah rekomendasi. Di antaranya, menuntut sinergitas antar lembaga pemerintah. Salah satunya dengan melibatkan kementerian hingga lembaga.

“Selain Kemendikdas dan Kemenag, juga fokus isu ini ada di Kementerian Perempuan dan Perlindungan Anak, Komnas Perempuan, KPAI, dan lainya,” jelasnya.

JPPI juga mengusulkan agar Kemendikdasmen, Kemenag, dan pemerintah daerah mengevaluasi kinerja satgas dan TPPK.

“Jadi tidak hanya dibentuk lalu sudah begitu saja, tapi harus dievaluasi dan diaudit setiap tahunnya,” kata Ubaid.

Tidak hanya itu, JPPI juga mengingatkan tentang penguatan Satgas di Prov/Kab/Kota dan TPPK di sekolah, dengan melibatkan orang tua dan masyarakat sebagai salah satu unsur Satgas dan TPPK.

“Jadikan institusi ini milik bersama untuk kolaborasi dalam pencegahan kekerasan di sekolah,” terangnya.

Selama ini, menurut JPPI, alasan capacity building menjadi penghalang bagi satgas dan TPPK dalam berperan untuk mencegah dan menanggulangi kasus kekerasan yang terjadi di sekolah.

Untuk itu, perbanyak kampanye dan edukasi. Komitmen anti kekerasan serta perlindungan saksi dan korban harus terus dikampanyekan di sekolah- sekolah.

“Informasi ini banyak tidak diketahui oleh orang tua dan masyarakat,” katanya.

Berikutnya, pentingnya perlindungan saksi dan korban. Selama ini, kata Ubaid, banyak korban dan saksi enggan melapor karena tidak ada jaminan terhadap keselamatan pelapor.

“Karena itu, pendampingan dan perlindungan saksi dan korban kekerasan harus diperjelas dan diperkuat,” tegasnya.

Terakhir, penguatan perspektif gender dan perlindungan anak. Hal ini penting dilakukan karena kasus kekerasan seksual (gender based violance) dan lemahnya perlindungan pada anak.

“Perspektif gender dan perlindungan anak harus dibumikan di sekolah oleh semua pihak dalam ekosistem sekolah,” tandas Ubaid.

26 kali dilihat, 28 kunjungan hari ini
Editor: Jekson Simanjuntak

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *