Ketua PN Jaksel Tersangka Suap Rp60 Miliar, Diduga Terlibat Putusan Lepas Kasus CPO

Direktur Penyidikan pada Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejagung Abdul Qohar (kanan) dalam konferensi pers penetapan tersangka di Jakarta, Sabtu (12/4/2025) malam. Foto: ANTARA

apakabar.co.id, JAKARTA – Kejaksaan Agung (Kejagung) menetapkan Muhammad Arif Nuryanta (MAN), Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, sebagai tersangka dalam kasus dugaan suap dan gratifikasi. Kasus itu berkaitan dengan putusan lepas (ontslag) dalam perkara korupsi pemberian fasilitas ekspor minyak kelapa sawit mentah atau crude palm oil (CPO).

Penetapan tersangka diumumkan oleh Direktur Penyidikan pada Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus), Abdul Qohar, pada Sabtu (12/4) malam dalam konferensi pers di Jakarta. Ia menyampaikan bahwa Arif diduga menerima suap sebesar Rp60 miliar saat masih menjabat sebagai Wakil Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

“MAN diduga menerima uang dari dua advokat, yaitu tersangka MS dan AR, untuk mengatur agar putusan perkara berakhir dengan ontslag,” ujar Abdul Qohar di Jakarta, Sabtu (12/4).

Uang suap tersebut diduga diberikan melalui Wahyu Gunawan (WG), yang saat itu menjabat sebagai Panitera Muda Perdata di Pengadilan Negeri Jakarta Utara. Wahyu disebut sebagai orang kepercayaan dari Arif.

Kejagung saat ini tengah mendalami lebih lanjut apakah uang suap yang diterima Arif juga mengalir ke pihak lain, termasuk kepada majelis hakim yang memutus perkara tersebut.

Putusan yang menjadi sorotan ini dijatuhkan oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada PN Jakarta Pusat pada Selasa (19/4). Majelis hakim dalam perkara ini terdiri dari Ketua Hakim Djuyamto dan dua hakim anggota, Ali Muhtarom dan Agam Syarief Baharudin.

Terkait pemeriksaan lebih lanjut, Abdul menjelaskan tim penyidik sedang melakukan penjemputan terhadap para hakim tersebut. Salah satu dari hakim tersebut diketahui sedang berada di luar kota.

“Tim secara proaktif telah melakukan penjemputan terhadap yang bersangkutan,” tegas Abdul.

Akibat perbuatannya, Muhammad Arif dijerat dengan berbagai pasal dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, termasuk Pasal 12 huruf c, Pasal 5 ayat (2), hingga Pasal 18 UU No. 31 Tahun 1999 yang telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001. Ia juga disangkakan melanggar pasal-pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) terkait perbuatan bersama.

Perkara korupsi yang dimaksud melibatkan tiga perusahaan besar di sektor minyak sawit, yaitu PT Wilmar Group, PT Permata Hijau Group, dan PT Musim Mas Group. Ketiga korporasi tersebut sebelumnya telah dinyatakan terbukti melakukan perbuatan seperti dalam dakwaan primer maupun subsider jaksa penuntut umum (JPU).

Namun, meski terbukti bersalah, Majelis Hakim memutuskan bahwa perbuatan tersebut bukan merupakan tindak pidana. Oleh karena itu, para terdakwa dilepaskan dari segala tuntutan hukum atau dijatuhi putusan ontslag van alle recht vervolging.

Tak hanya itu, Majelis Hakim juga telah memerintahkan agar seluruh hak, kedudukan, kemampuan, serta harkat dan martabat para terdakwa dipulihkan seperti sebelumnya. Putusan ini menuai sorotan tajam dan mendorong Kejaksaan Agung untuk segera mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung.

Kasus ini menjadi perhatian publik karena melibatkan lembaga peradilan yang seharusnya menjadi benteng terakhir keadilan. Dugaan suap dalam proses pengambilan keputusan hukum menambah daftar panjang tantangan pemberantasan korupsi di Indonesia.

Kejaksaan Agung berkomitmen untuk menuntaskan kasus ini dan mengusut tuntas siapa pun yang terlibat, termasuk kemungkinan adanya aliran dana ke pihak lain. Proses penyidikan masih terus berlangsung.

653 kali dilihat, 654 kunjungan hari ini
Editor: Jekson Simanjuntak

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *