apakabar.co.id, JAKARTA – Distribusi bahan bakar minyak (BBM) di Kalimantan Timur (Kaltim) tengah menjadi sorotan. Ketergantungan penuh pada satu pemain besar, yakni Pertamina, dinilai membuat pelayanan BBM di wilayah ini rentan bermasalah.
Pengamat ekonomi dari Universitas Mulawarman, Purwadi Purwoharsojo, menilai sistem distribusi BBM di Kaltim perlu evaluasi total.
“Harus dibenahi dari hulu ke hilir. Monopoli ini tidak sehat. Kinerja Pertamina di Kaltim tidak bisa lagi dibiarkan seperti ini,” ujarnya dalam keterangannya, Rabu (9/4).
Berbeda dengan Pulau Jawa yang memiliki banyak penyedia BBM, masyarakat Kaltim hanya bisa bergantung pada Pertamina.
Hal ini menciptakan ketimpangan distribusi dan pelayanan, yang menurut Purwadi, justru membuka ruang bagi praktik-praktik ilegal seperti pengoplosan dan pengetapan BBM.
“Masalahnya bukan pada siapa investornya. Tata kelolanya yang harus dibenahi. Jangan cuma pikir solusi instan,” tegasnya, menolak wacana masuknya investor asing ke sektor hilir migas.
Lebih lanjut, Purwadi menilai lemahnya pengawasan menjadi akar masalah. Ia menyarankan pengawasan melibatkan berbagai pihak, dari pemerintah hingga masyarakat sipil.
“Kalau tidak diawasi dengan benar, sistem distribusi bocor di mana-mana. Belum lagi barcode BBM subsidi yang sering disalahgunakan,” katanya.
Ia juga menyoroti lambannya digitalisasi di sektor BBM. Menurutnya, jika Pertamina serius, digitalisasi bisa mencakup monitoring real-time SPBU, transparansi stok, bahkan hingga audit sopir pengangkut BBM.
“Berani nggak audit sopir truk BBM? Jangan cuma SPBU-nya yang diperiksa. Ini akar distribusi, harusnya transparan juga,” tantangnya.
Antrean panjang di SPBU Kaltim sudah jadi pemandangan sehari-hari. Purwadi menduga ada kebocoran sistemik yang tidak pernah benar-benar dibenahi.
“Di Jawa, dengan konsumsi jauh lebih besar, distribusi bisa lancar. Di Kaltim kenapa antre terus? Aneh, kan?” katanya heran.
Selain itu, ia menyoroti praktik jual BBM eceran dalam botol yang semakin marak. Ini dianggap sebagai sinyal kuat bahwa masyarakat mulai kehilangan kepercayaan terhadap distribusi resmi.
“Pengetap masih dilayani SPBU. Ini artinya pengawasan jalan di tempat. Kalau begini terus, masalahnya nggak akan pernah selesai,” tegasnya.
Purwadi tak menampik bahwa tanggung jawab perbaikan juga ada di tangan pemerintah daerah. Ia menilai sikap Pemprov Kaltim masih kurang responsif terhadap keresahan warga.
“Pemerintah jangan diam. Ajak diskusi terbuka dengan DPRD, BPH Migas, Pertamina, akademisi, dan pelaku usaha. Saya siap bicara di forum itu,” katanya.
Baginya, BBM bukan sekadar soal bahan bakar, tapi soal keberlangsungan hidup dan ekonomi rakyat.
“BBM itu seperti listrik dan air. Kalau distribusinya terganggu, dampaknya langsung ke masyarakat bawah. Jangan remehkan masalah ini,” pungkasnya.