Pembatasan Kebebasan Beragama, Amnesty: Putusan MK Tidak Sejalan ICCPR dan Standar HAM

Direktur Eksekutif Lembaga Amensty Internasional Indonesia Usman Hamid. Foto: ANTARA

apakabar.co.id, JAKARTA – Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid menilai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada Jumat 3 Januari 2025 yang menjustifikasi pembatasan kebebasan beragama di Indonesia dan menutup hak warga negara untuk tidak memiliki agama, telah bertentangan dengan Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik atau ICCPR.

“Putusan MK tersebut bertentangan dengan International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) yang telah diratifikasi oleh Indonesia pada tahun 2005,” kata Usman dalam keterangannya, Sabtu (4/1).

Jumat 3 Januari 2025, MK menolak permohonan uji materi yang meminta agar warga negara yang tidak beragama mendapatkan pengakuan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan. Informasi di website MK menyebutkan, pemohon menganggap kebebasan beragama yang dijamin oleh UU Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 seharusnya mencakup kebebasan untuk tidak menganut agama tertentu atau kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.

Pemohon mengajukan pengujian terhadap sejumlah aturan perundang-undangan yang berkenaan dengan hak beragama yaitu pengakuan untuk tidak beragama dalam undang-undang terkait hak asasi manusia, hak untuk tidak menyebutkan agama atau kepercayaan dalam data administrasi kependudukan, hak untuk mendapatkan pengakuan perwakinan yang tidak didasarkan pada agama atau kepercayaan dan hak untuk tidak mengikuti pendidikan agama dalam institusi pendidikan formal di Indonesia.

MK tetap menggaungkan istilah ‘kebebasan beragama’ namun dalam dimensi yang sempit sembari mewajibkan warga negara untuk memilih agama dan melarang warga negara Indonesia untuk tidak memiliki agama.

“Ini jelas bukan sebuah kebebasan dan menyimpang dari makna kebebasan beragama yang sebenarnya yang telah diatur dalam norma-norma intenasional,” tegasnya.

Kebebasan beragama, kata Usman, sebagai kemerdekaan dalam memilih atau tidak memilih agama atau kepercayaan dan tidak semestinya diikuti oleh embel-embel ‘kewajiban’ ataupun ‘pelarangan’.

Indonesia diharuskan, baik berdasarkan ICCPR dan hukum internasional secara umum, untuk membuat undang-undang nasional selaras dengan ICCPR. Namun pertimbangan hakim MK dalam putusan tersebut telah menunjukkan hal sebaliknya.

Pasal 18 (1) ICCPR menjamin hak atas kebebasan berpikir, berkeyakinan dan beragama termasuk dalam konteks meyakini maupun mempraktekkan baik di tempat umum ataupun tertutup. Putusan MK tersebut jelas memaksa warga negara untuk beragama dan tidak selaras dengan ICCPR.

Komite HAM Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) juga telah menyatakan istilah ‘kepercayaan’ dan ‘agama’ agar dimaknai secara luas hingga mencakup kepercayaan teistik, non-teistik, dan ateistik, serta hak untuk tidak menganut agama atau kepercayaan apapun. Seseorang harus bebas dari pemaksaan untuk memiliki ataupun menganut suatu agama, atau kepercayaan dan hak ini semestinya tidak dibatasi oleh negara.

Aturan yang membuat seseorang terpaksa memilih agama yang berbeda dengan pilihannya hanya karena takut akan penghukuman bertentangan dengan pasal 18 ICCPR tersebut. Jadi ada 2 (dua) unsur dalam putusan MK, yakni pemaksaan untuk memiliki agama dan pelarangan bagi orang-orang yang memilih tidak mempercayai suatu agama atau keyakinan.

Kedua poin itu, kata Usman, bertentangan dengan semangat yang ada dalam ICCPR. Pasal 18 (2) secara eksplisit menekankan bahwa tidak seorang pun dapat dipaksa sehingga terganggu kebebasannya untuk menganut atau menetapkan agama atau kepercayaan yang sesuai dengan pilihannya.

“Kebebasan berkeyakinan maupun tidak berkeyakinan adalah ranah privat dan bukanlah ranah pidana. Kami khawatir, putusan MK ini rentan disalahgunakan oleh penegak hukum yang berakibat pada pemenjaraan mereka-mereka yang memilih tidak beragama ataupun mereka yang keyakinannya tidak sejalan dengan agama-agama yang diakui oleh negara,” terang Usman.

Lebih parahnya lagi, beber Usman, putusan MK berpotensi menjadi justifikasi bagi kelompok-kelompok tertentu untuk main hakim sendiri terhadap orang-orang yang dianggap tidak beragama atau yang menyimpang dari ajaran agama yang diakui negara.

“Ini bak angin segar bagi praktik-praktik intoleransi dan diskriminasi di masyarakat,” tandasnya.

244 kali dilihat, 1 kunjungan hari ini
Editor: Jekson Simanjuntak

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *