apakabar.co.id, JAKARTA – Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) mengungkapkan pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pemilu harus segera dimulai.
Hal itu perlu dilakukan agar memungkinkan pembahasan substansi secara komprehensif dan mendalam. Baik secara akademik maupun konsekuensi praktisnya ke depan.
“UU Pemilu instrumen penting, karena untuk rekayasa elektoral demi mewujudkan pemilu konstitusional, jujur, adil, demokratis,” kata Pembina Perludem Titi Anggraini di Jakarta dikutip Senin (27/1).
Pembahasan dengan waktu yang cukup, kata Titi, perlu dilakukan untuk memastikan partisipasi semua pihak secara bermakna. Hal itu mengingat luasnya ruang lingkup materi dalam UU Pemilu.
Baca juga: MK Cabut Presidential Threshold dalam UU Pemilu
Dia menjelaskan bahwa saat ini Indonesia tengah selesai melaksanakan tahun pemilu dan masuk ke dalam periode pasca-elektoral. Dari berbagai studi, menurut dia, saat ini merupakan momen yang tepat untuk melakukan kajian, audit, atau evaluasi atas penyelenggaraan pemilu yang sudah selesai.
Selain itu, imbuh Titi, ia mendorong agar dibentuk kodifikasi atas UU tentang Pemilu yang materi muatannya mengatur pemilu legislatif, pemilu presiden, pemilu kepala daerah, dan penyelenggara pemilu dalam satu naskah.
Kodifikasi pengaturan pemilu dan pilkada dalam satu naskah UU tentang Pemilu akan lebih relevan dalam membangun koherensi dan konsistensi pengaturan serta dari lebih memudahkan penggunaannya sebagai instrumen pendidikan politik bagi publik untuk memahami pengaturan.
Baca juga: DKPP Terima 790 Pengaduan Pelanggaran Etik Selama Pemilu 2024
Secara filosofis, sosiologis, dan yuridis kondisi saat ini telah memenuhi prasyarat objektif kemendesakan untuk mencabut/mengganti UU Pemilu dan UU Pilkada dengan UU baru melalui model kodifikasi pengaturan pemilu yang materi muatannya dikelompokkan menjadi: buku, bab, bagian, dan paragraf.
Di samping itu, dia pun mengkritik DPR yang kerap tergesa-gesa dalam membahas RUU Pilkada. Menurut dia, ada dampak negatif dari pembahasan yang tergesa-gesa ini, di antaranya adalah tidak optimalnya partisipasi masyarakat.
Sebagai contoh, dia menuturkan bahwa Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu disahkan pada 16 Agustus 2017. Padahal, tahapan untuk Pemilu Serentak 2019 dimulai satu hari setelahnya yakni pada 17 Agustus 2017.