Flash, News  

Pertamina Polisikan Nelayan Muara Badak: Ancaman bagi Demokrasi Lingkungan

Para nelayan Muara Badak melakukan protes ke Pertamina Hulu Sanga-Sanga (PHSS)

apakabar.co.id, JAKARTA – Ketika ribuan keluarga nelayan di Muara Badak, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, berjuang menyelamatkan laut dan tambak mereka dari dugaan pencemaran limbah migas, ironi justru datang dari aparat penegak hukum.

Empat nelayan kini terancam pidana setelah dilaporkan oleh perusahaan migas raksasa, PT Pertamina Hulu Sanga Sanga (PHSS), atas tuduhan memasuki objek vital nasional tanpa izin.

Langkah ini menuai kritik tajam dari berbagai pihak. Salah satunya datang dari akademisi Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah, yang menyebut tindakan polisi “seperti masuk angin”.

“Saya kira polisi ini tidak bisa membedakan mana hitam dan mana putih, mana rakyat yang memperjuangkan hak hidupnya. Harusnya mereka dibentengi imunitas, tidak bisa diproses secara hukum,” ujar Herdiansyah atau akrab disapa Castro, Jumat (4/7).

Menurutnya, perlindungan terhadap pejuang lingkungan sudah dijamin dalam Pasal 66 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH). Apalagi hak atas lingkungan hidup yang sehat merupakan hak konstitusional sebagaimana tertuang dalam Pasal 28H ayat 1 UUD 1945.

 

“Setiap pejuang lingkungan punya imunitas untuk tidak dipidanakan atas aksi mereka. Polisi seharusnya paham itu,” tegasnya.

Castro juga menyoroti sikap netral aparat yang abai terhadap konteks hukum dan sejarah. Ia merujuk pada Putusan Pengadilan Tinggi Semarang Nomor 374/PID.SUS/2024/PT SMG yang membebaskan aktivis lingkungan Daniel Fritz Mauritz Tangkilisan dari semua dakwaan.

“Fritz dianggap pejuang lingkungan, jadi tidak bisa dihukum. Seharusnya prinsip ini juga berlaku untuk nelayan Muara Badak,” katanya.

Para nelayan tersebut sejatinya sedang memperjuangkan hak hidup. Sejak akhir 2024, tambak kerang darah di enam desa pesisir Muara Badak mengalami gagal panen. Dugaan utama pencemaran dari aktivitas pengeboran migas oleh PHSS.

Muhammad Yusuf, salah satu nelayan, menyebut ada 299 kepala keluarga terdampak di wilayah pesisir dari Tanjung Limau hingga Saliki. Luas lahan budidaya yang tercemar diperkirakan mencapai 1.000 hektare, dengan potensi kerugian mencapai Rp68,4 miliar akibat gagal panen sekitar 3.800 ton kerang darah.

Namun, saat warga melakukan aksi protes di lokasi pengeboran RIG Great Wall Drilling Company 16 pada Januari–Februari 2025, mereka justru dikriminalisasi. Yusuf, bersama Muhammad Yamin, Muhammad Said, dan Haji Tarre, kini menjalani pemeriksaan di Polres Bontang.

“Kami hanya ingin menyampaikan aspirasi. Tapi terjadi pemukulan, penangkapan, hingga semua peserta aksi diperiksa,” ujar Yusuf.

Dalam kondisi tertekan, beberapa nelayan mengeluarkan pernyataan yang belakangan dianggap polisi sebagai tindakan penghasutan. Mereka pun dilaporkan Pertamina atas dugaan masuk ke area objek vital tanpa izin.

Padahal, aksi tersebut diikuti ratusan warga yang mengkhawatirkan pencemaran berulang. Apalagi hasil riset Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Mulawarman menunjukkan lonjakan bahan organik, lumpur pekat, serta adanya infeksi bakteri dan parasit yang mengganggu sistem pernapasan kerang darah.

Ironisnya, meski bukti pencemaran mulai menguat, polisi justru bergerak cepat terhadap warga yang protes. Castro menyebut langkah ini sebagai “pengalihan isu”.

“Proses pidana ini justru menenggelamkan isu utamanya, yaitu pencemaran lingkungan oleh Pertamina. Itu yang mestinya jadi fokus polisi,” ujarnya.

Ia bahkan mencurigai ada skenario sistematis untuk mengalihkan perhatian publik. “Jangan-jangan ini by design, sengaja dibuat untuk membungkam warga dan menyembunyikan kejahatan ekologis,” tegasnya.

Data dokumen Imunitas Pejuang Lingkungan yang diteliti Castro mengungkap pola berulang kriminalisasi aktivis lingkungan di berbagai daerah. Lemahnya penegakan hukum membuat warga yang membela hak atas ruang hidup kerap dikorbankan.

Kabar terakhir, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Hanif Faisol Nurofiq sudah memerintahkan Deputi Penegakan Hukum KLHK Irjen Pol Rizal Irawan untuk menangani kasus ini. Namun hingga berita ini diturunkan, proses hukum terhadap nelayan belum dihentikan.

Upaya konfirmasi kepada Manager Comrel & CID PHSS, Dony Indrawan, belum mendapat tanggapan.

Sementara itu, Muhammad Yusuf dan para nelayan lainnya terus meminta perlindungan. “Kami sangat tertekan. Kami hanya ingin keadilan. Kami memohon perlindungan dari segala bentuk kriminalisasi,” ujarnya lirih.

Kapolres Bontang, AKBP Alex Frestian Lumban Tobing, sebelumnya mengatakan laporan dari PHSS dan masyarakat sama-sama sedang diproses. “Ini kan masih berproses. Proses ini biar dulu berjalan sebagaimana mestinya, sehingga semua bisa terakomodir,” ujarnya saat ditemui di kantornya, Senin (23/6) siang.

Alex menegaskan pihaknya bersikap netral karena ada dua laporan yang masuk. Pertama soal dugaan pencemaran oleh PHSS dari warga, dan dugaan pelanggaran oleh nelayan dari pihak perusahaan.

“Polres dalam hal ini kan harus di tengah-tengah. Tidak mungkin salah satu yang direspons atau didahulukan, semuanya harus berimbang,” katanya.

 

13 kali dilihat, 13 kunjungan hari ini
Editor: Raikhul Amar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *