Sektor perkebunan nyatanya belum menyediakan keadilan bagi buruh sawit. Ada sederet faktor.
BERBAGAI corak purbakala khas kolonialisme masih ditemui di perkebunan sawit saat ini. Struktur dan peristilahan kolonial seperti afdeling atau komidel adalah bagian dari keseharian masyarakat kebun.
Walaupun industri ini sudah ratusan tahun lamanya, kondisi buruh perkebunan sawit dinilai masih jauh dari ideal.
Bagaimana kondisi buruh dan masyarakat kebun? Apa saja ciri khas yang dapat ditemui di antara berbagai kebun yang tersebar di wilayah-wilayah berbeda?
Lalu bagaimana perkembangan-perkembangan industri sawit di pasar global dan siapa yang menikmati hasilnya?
Termasuk apa saja upaya-upaya mengatur pasar sawit global dan apa dampaknya bagi buruh dan masyarakat kebun?
Menjawab semua pertanyaan itu, serikat buruh, pejuang agraria dan kelompok sipil yang tergabung dalam Jaringan Solidaritas Transnasional Buruh Sawit (Transnational Palm Oil Labour Solidarity Network/ TPOLS) menggelar diskusi, Jumat (27/12).
Rizal Assalam sebagai Koordinator TPOLS menyampaikan hasil catatan Jaringan TPOLS yang menunjukkan terdapat enam ciri khas industri perkebunan sawit yang merusak.
“Temuan-temuan ini masih relevan dengan adanya kumpulan kasus yang ditemui pada tahun 2024 ini,” jelasnya.
Pertama kondisi kerja yang buruk terkait upah rendah, eksploitasi berdasarkan gender dan kondisi kerja mematikan.
Cacat sertifikasi Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) dan proses audit yang dimanipulasi.
Keempat, ekspansi perkebunan sawit, pertanian kontrak atau plasma, hingga konflik tanah.
“Termasuk penggunaan kekerasan berlebihan oleh aparat keamanan, hingga ketidakbebasan berserikat dan pemberangusan serikat.”
Tidak adanya perlindungan terhadap buruh kebun ini, katanya, diakibatkan oleh regulasi nasional yang buruk.
UU Cipta Kerja telah memperkokoh praktik eksploitatif di perkebunan dengan memberikan landasan hukum yang membenarkan perekrutan buruh kasual atau musiman dengan upah satuan hasil dan satuan hari kerja.
Regulasi tingkat global seperti Regulasi Uni Eropa tentang Anti Deforestasi (European Union Deforestation Regulation/ EUDR) dan Arahan Kewajiban Uji Tuntas Keberlanjutan Perusahaan (Corporate Sustainability Due Diligence Directive/ CSDDD) yang diterapkan beberapa tahun ke
depan memunculkan pertanyaan terkait dampaknya dan mekanisme perlindungan buruh.
Pertemuan jaringan TPOLS dengan perwakilan dari Uni Eropa awal Desember lalu, misalnya, menegaskan bahwa regulasi internasional perlu memiliki akses terhadap keadilan yang bisa
diakses oleh serikat buruh.
Uli Arta Siagian dari Walhi Eksekutif Nasional menegaskan penyerahan aspek perlindungan buruh pada peraturan nasional tak akan efektif di situasi ketika peraturan nasionalnya tidak berpihak pada buruh.
Kekosongan hukum ini mendapat perhatian dari Sawit Watch. Hotler “Zidane” Parsaoran, dari Sawit Watch menggarisbawahi bagaimana UU Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003 yang digunakan saat ini kurang representatif untuk melindungi buruh perkebunan sawit.
Menurutnya, lanskap dan kondisi kerja di perkebunan sawit cenderung berbeda dibandingkan industri sektor manufaktur.
Hal ini bisa dilihat dari kebutuhan kalori yang jauh lebih tinggi, dan penerapan beban kerja yang didasarkan pada tiga hal. Mulai dari target tonase, target luas lahan, dan target jam kerja.
“Masalah-masalah dasar seperti hubungan kerja, K3, sanitasi, air bersih yang cukup, fasilitas kesehatan tidak disediakan dengan layak oleh perusahaan,” jelasnya.
Sebelumnya, telah ada upaya mendorong Rancangan Undang-Undang Perlindungan Buruh Perkebunan Sawit. Zidane menambahkan pemerintah banyak memberi dukungan masif terhadap industri ini melalui kebijakan revitalisasi perkebunan, pembangunan kawasan ekonomi
khusus, pengembangan biodiesel hingga melobi negara-negara konsumen.
Namun, dukungan tersebut tidak diikuti dengan kebijakan-kebijakan penting terkait perlindungan ketenagakerjaan untuk buruh perkebunan sawit.
Ia menegaskan bahwa RUU ini perlu masuk dalam prolegnas prioritas. Perlu transisi yang adil dalam industri sawit, yang menyasar corak produksi eksploitatifnya.
Deklarasi Sambas yang dikeluarkan oleh jaringan TPOLS dibuat sebagai acuan tuntutan-tuntutan yang relevan untuk mewujudkan keadilan sosial dan ekologi.