apakabar.co.id, JAKARTA – Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Balikpapan memperingati World Press Freedom Day (WPFD) 2025 dengan cara berbeda.
Lewat diskusi terbuka dan pemutaran film dokumenter Cut to Cut, mereka mengangkat isu penting tentang kerentanan jurnalis sebagai pekerja media yang kerap terabaikan.
Bertempat di Andaliman Coffee, Sabtu (10/5), kegiatan ini mengusung tema “Kerentanan Kerja Jurnalistik dan Jurnalis sebagai Pekerja”.
Hadir sebagai pemantik diskusi, Ketua Pusat Bantuan Hukum (PBH) Peradi Balikpapan Ardiansyah dan jurnalis Kompas.id, Sucipto.
Diskusi dipandu Ketua AJI Balikpapan, Erik Alfian, dan dihadiri oleh para jurnalis lintas media, aktivis, hingga praktisi hukum.
Sucipto menegaskan bahwa kebebasan pers yang sehat tidak akan mungkin tercapai tanpa jurnalis yang sejahtera dan memiliki posisi tawar di hadapan perusahaan. Salah satu caranya, kata dia, adalah dengan membentuk serikat pekerja.
“Adanya serikat memberi kami kekuatan untuk bernegosiasi. Misalnya saat pandemi Covid-19, kami berhasil memperjuangkan tambahan hari libur mingguan dan turut terlibat dalam perumusan aturan soal pesangon,” ujar Sucipto.
Sementara itu, Erik Alfian mengkritisi kondisi banyak jurnalis yang masih abai terhadap hak-hak dasarnya sebagai pekerja.
Meski kerap menyuarakan ketidakadilan yang dialami pihak lain, mereka sendiri kerap tidak menyadari bahwa profesi jurnalis juga rawan eksploitasi.
“Banyak dari kita masih menganggap jurnalis bukan buruh, padahal realitasnya kita bisa dipotong gaji, di-PHK sepihak, atau digaji di bawah UMK,” ujarnya.
Menurutnya, kasus yang terjadi di Balikpapan saat pandemi menjadi cerminan nyata.
Belasan jurnalis dari salah satu media mengalami pemotongan gaji 10-30 persen dan demosi sepihak.
AJI Balikpapan turut mengecam, dan kasus ini pun akhirnya dimenangkan di Pengadilan Hubungan Industrial (PHI).
Ardiansyah dari PBH Peradi menambahkan bahwa serikat pekerja adalah hak dasar yang dilindungi undang-undang.
Tidak perlu izin dari perusahaan untuk membentuknya. Bahkan, jika ada pihak yang menghalangi, bisa dikenai sanksi pidana.
“Penghalangan terhadap hak berserikat adalah tindak pidana. Jurnalis harus sadar bahwa relasi kerja mereka adalah hubungan industrial yang struktural, bukan hubungan kasual,” jelasnya.
Ia juga menekankan pentingnya perubahan cara pandang. Menurutnya, banyak jurnalis yang tidak ingin disebut buruh karena alasan identitas atau gengsi.
Padahal, sikap tersebut justru menghambat upaya perbaikan kondisi kerja di industri media.
Diskusi ini ditutup dengan seruan agar para jurnalis mulai membangun kesadaran kolektif, menjalin solidaritas, dan tak ragu berserikat.
Dengan begitu, perjuangan untuk mendapatkan hak-hak dasar sebagai pekerja media bisa dijalankan bersama-sama.