Oleh: Syafruddin Karimi*
Ketika kita mendengar berita bahwa utang publik Indonesia telah menembus angka ribuan triliun rupiah, sebagian dari kita mungkin hanya menggeleng pelan, menganggapnya sebagai urusan pemerintah atau teknokrasi anggaran.
Padahal, di balik angka-angka itu, tersembunyi satu pertanyaan fundamental yang wajib kita renungkan bersama: siapa sebenarnya yang menanggung beban utang publik ini? Jawabannya, sesederhana sekaligus serumit: kita semua—rakyat, kini dan nanti.
Utang Bukan Sekadar Alat Fiskal
Utang publik pada dasarnya adalah alat. Dalam teori ekonomi modern, pemerintah berutang bukan karena tidak punya uang, melainkan untuk menstimulasi perekonomian, membiayai belanja produktif, atau menanggulangi krisis. Banyak negara maju seperti Jepang atau Amerika Serikat menanggung rasio utang terhadap PDB yang tinggi, namun tetap stabil karena kuatnya kredibilitas dan struktur fiskal mereka.
Indonesia pun tak luput. Sejak krisis moneter 1997 hingga pandemi COVID-19, utang publik menjadi instrumen vital untuk menghindari kontraksi ekonomi. Pemerintah membiayai subsidi, bansos, vaksinasi massal, dan pemulihan UMKM—semua dibiayai dari pos utang.
Namun, masalah muncul ketika utang itu tidak diarahkan untuk belanja produktif, melainkan terserap ke dalam belanja rutin, birokrasi, atau malah bocor melalui korupsi dan inefisiensi. Di sinilah beban mulai terasa. Utang yang seharusnya mendorong pertumbuhan justru menjadi pembebanan antargenerasi.
Bukan Pemerintah yang Membayar, Tapi Kita
Pemerintah memang yang berutang, tetapi yang membayar adalah rakyat, melalui pajak, inflasi tersembunyi, atau pengurangan belanja publik di sektor lain. Ketika cicilan utang dan bunganya menyedot hingga ratusan triliun rupiah dari APBN setiap tahun, maka alokasi untuk pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur ikut tergerus.
Menurut Kementerian Keuangan, pembayaran bunga utang pada 2024 diperkirakan mencapai lebih dari Rp500 triliun. Itu belum termasuk pokok utang yang jatuh tempo. Sumber pembayarannya? Pajak. Dan ketika tax ratio kita stagnan di kisaran 10–11%, artinya beban itu dibagi kepada kelompok pembayar pajak aktif yang sempit: buruh formal, pelaku usaha patuh, dan konsumen yang membayar PPN.
Anak Muda Menanggung Lebih Banyak
Yang paling menanggung dalam diam adalah generasi muda. Mereka bukan hanya mewarisi utang dalam bentuk nominal, tetapi juga warisan fiskal berupa ruang yang semakin sempit untuk membiayai kebutuhan publik ke depan.
Setiap defisit hari ini adalah beban masa depan. Ketika APBN tak lagi leluasa karena separuhnya dipakai untuk bayar utang, maka pilihan fiskal semakin terbatas: apakah kita akan memangkas subsidi? Menunda pembangunan? Atau menaikkan pajak?
Apalagi, utang yang digunakan tidak selalu diarahkan pada investasi masa depan seperti pendidikan atau riset. Bila orientasi pembangunan hanya jangka pendek dan politis, maka utang berubah fungsi dari alat pertumbuhan menjadi alat survival kekuasaan.
Haruskah Kita Takut pada Utang?
Tidak. Yang harus kita takutkan bukanlah utang itu sendiri, melainkan cara kita mengelolanya. Utang yang dikelola dengan akuntabilitas, transparansi, dan berorientasi pada produktivitas akan memperluas kapasitas ekonomi. Namun, utang yang digunakan tanpa arah, tanpa evaluasi, dan tanpa niat membangun institusi akan membebani masa depan.
Maka dari itu, publik harus mulai menuntut keterbukaan dan kinerja atas setiap rupiah utang yang ditarik pemerintah. Berapa realisasi proyeknya? Apa dampaknya? Apakah manfaatnya sebanding dengan biaya bunganya?
Akuntabilitas: Kunci Utama
Sudah saatnya pemerintah tidak hanya bicara soal kemampuan membayar (solvabilitas), tetapi juga soal kewajaran dan kebermanfaatan utang. Apakah utang digunakan untuk membiayai sektor-sektor yang meningkatkan daya saing bangsa? Apakah ada indikator pengukuran dampak utang terhadap kemiskinan, pengangguran, dan ketimpangan?
Kementerian Keuangan dan Bappenas harus lebih terbuka, dan parlemen harus lebih tajam dalam pengawasan. Jangan sampai rakyat hanya dijadikan objek retorika “utang masih aman,” padahal yang menanggung efek jangka panjangnya adalah mereka.
Penutup
Utang publik bukan sekadar angka di laporan keuangan negara. Ia adalah kontrak sosial antargenerasi. Ia adalah keputusan hari ini yang membentuk pilihan masa depan. Maka dari itu, ketika kita bertanya, “Siapa yang menanggung beban utang publik?” — jawaban itu bukanlah entitas abstrak bernama ‘negara’, melainkan kita semua: para pembayar pajak hari ini, dan anak-anak kita yang akan tumbuh dalam struktur fiskal yang kita wariskan.
Utang bukan untuk ditakuti, tapi untuk diawasi. Bukan untuk dihindari, tapi untuk dipertanggungjawabkan. Karena dalam demokrasi, utang negara sejatinya adalah utang publik—utang kita bersama.
*) Guru Besar Departemen Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Andalas