Opini  

Memudarnya Dollar AS dan Dominasi Renminbi?

Foto ilustrasi uang Dollar AS. Foto via Bisnis Indonesia

Oleh: Muhammad Syarkawi Rauf*

Kantor berita internasional France 24 yang berbasis di Paris menerbitkan artikel berjudul “Trump’s tariff storm a threat to dollar’s dominance?” pada 17 April 2025. Tulisan tersebut mempertanyakan berapa lama Dollar Amerika Serikat (AS) dapat mempertahankan statusnya sebagai mata uang dominan dalam perdagangan dunia dan cadangan devisa bank sentral global.

Pengalaman menunjukkan bahwa Dollar Amerika Serikat (AS) dan surat utang pemerintah AS berjangka waktu 10 tahun selalu menjadi save haven asset (berisiko rendah) pada saat terjadi turbulensi perekonomian global. Dimana, investor portofolio yang bersikap risk averse mengalihkan investasinya ke instrumen safe haven.

Namun, sejak Trump mengumumkan Trade War 2.0, posisi Dollar AS sebagai mata uang safe haven dipertanyatakan. Hal ini disebabkan oleh indeks nilai tukar Dollar AS yang menurun dari 104,2 pada 2 April 2025 menjadi 103,2 pada 4 April 2025. Padahal, sebagai safe haven, nilai indeks dan kurs Dollar AS seharusnya menguat pada saat turbulensi.

Demikian juga dengan imbal hasil obligasi pemerintah AS berjangka waktu 10 tahun yang turun dari 4,17 persen pada 2 April 2025, menjadi 3,96 persen pada 4 April 2025. Lalu, naik menjadi 4,34 persen pada 9 April 2025 setelah penundaan pemberlakuan tarif. Hal ini kontras dengan statusnya sebagai safe haven aset yang imbal hasilnya seharusnya turun.

Memudarnya peran Dollar AS juga tercermin pada proporsi kepemilikan asing dalam obligasi pemerintah AS, yaitu dari sekitar 50 persen pada tahun 2008 menjadi hanya 30 persen pada awal tahun 2025.

Tantangan Renminbi

Tergerusnya peran Dollar AS sebagai cadangan devisa global dan porsinya dalam transaksi valuta asing over-the-counter tidak otomatis digantikan oleh Renminbi (RMB). Hingga saat ini, cadangan devisa bank sentral global dalam Dollar AS masih 58 persen dan transaksi valuta asing over-the-counter sebesar 88 persen dari total transkasi.

Ada dua tantangan yang dihadapi oleh RMB untuk menjadi mata uang utama dunia, yaitu: pertama, tantangan yang berkaitan dengan kebijakan pengendalian lalu lintas devisa yang ketat (capital control regim) dan kebijakan nilai tukar tetap (fixed exchange rate regim).

Sejalan dengan Frankel (2011), ekonom Harvard Kennedy School, AS dan Prasad (2021) ekonom Cornell University menjelaskan bahwa peran RMB akan selalu lebih kecil dari Dollar AS dan tidak akan mendominasi transaksi internasional tanpa adanya kebebasan aliran modal dan penerapan regim nilai tukar fleksibel.

Masalah utama RMB adalah rendahnya capital account convertibility, salah satunya karena kurangnya ketersediaan RMB di pasar offshore untuk setiap saat dikonversi ke mata uang asing lainnya. Hingga saat ini, pemerintah China melakukan pembatasan lalu lintas devisa keluar dan masuk ke China.
Kedua, institusi politik China bersifat eksklusif.

Hal ini sejalan dengan Acemoglu dan Robinson (2012) penulis buku “Why Nations fail: The Origin of Power, Prosperity and Poverty” dan peraih hadiah nobel ekonomi tahun 2024 bahwa kemajuan ekonomi suatu negara dalam jangka panjang hanya dapat dicapai dengan dukungan institusi yang inklusif dan memberikan kebebasan kepada setiap orang untuk berpendapat.

Dalam jangka pendek, pertumbuhan ekonomi tinggi dapat dicapai tetapi sampai batas waktu tertentu, tanpa keterbukaan institusi politiknya maka pertumbuhan ekonomi China akan melambat. Fenonenanya mulai terasa dalam beberapa tahun terakhir, pertumbuhan ekonomi China menurun dan diprediksi oleh International Monetary Fund (IMF) hanya 4,0 persen pada tahun 2025.

Solusi China

Sejalan dengan ekonom senior Barry Eichengreen dari University of California, Berkley, AS, bahwa RMB masih ada peluang menjadi mata uang utama dunia tanpa harus beralih dari rezim lalu lintas devisa terkontrol menjadi bebas. Tidak perlu juga mengubah rezim nilai tukar tetap menjadi mengambang bebas.

Pemerintah China dapat memaksimalkan pembayaran ekspor dan impornya dengan sejumlah negara menggunakan mata uang RMB. Dimana, total nilai perdagangan China mencapai 12,8 persen dari Gross Domestic Product (GDP) global pada tahun 2024.

Nilai perdagangan internasional China meningkat beberapa kali lipat dari 476 milyar Dollar AS pada tahun 2000, menjadi 6,163 triliun dollar AS pada tahun 2024. Nilai eskpornya mencapai 3,575 triliun Dollar AS dan impornya lebih kecil sekitar 2,587 triliun Dollar AS. Dimana, hanya 20 persen pembayaran perdagangan internasionalnya dalam RMB.

Syaratnya, bank sentral China, yaitu People Bank of China (POBC) yang mengontrol nilai tukar RMB terhadap Dollar AS dalam rezim nilai tukar tetap, harus memiliki cadangan Dollar AS yang besar. Hal ini diperlukan untuk mengintervensi pasar dalam rangka menjaga kestabilan nilai tukarnya terhadap Dollar AS.

Pilihan lain bagi China, sejalan dengan Frankel (2011) dan Prasad (2021), POBC harus meliberalisasi sistem lalu lintas devisanya. Menghilangkan pengawasan ketat terhadap transaksi valas, termasuk pengaturan jumlah, tempat dan waktu transaksi valas.

Selain itu, POBC juga harus mengubah rezim nilai tukarnya dari fixed exchange rate regim menjadi floating atau managed floating exchange rate regim, seperti yang diadopsi dan diterapkan oleh Bank Indonesia (BI). Perubahan ini akan menghindari tuduhan currency manipulation dari AS yang memicu perang dagang dengan tarif resiprokal ekstra tinggi.

Pilihan kebijakan ini memang berat bagi pemerintah China karena liberalisasi sektor keuangan, menuju rezim lalu lintas devisa bebas dan rezim nilai tukar fleksibel akan menurunkan kontrolnya terhadap perekonomiannya. Konsep sacrifice ratio berlaku, pengorbanannya adalah RMB akan tetap menjadi mata uang kelas dua secara global setelah Dollar AS.

*) Dosen FEB Universitas Hasanuddin, Ketua KPPU RI 2015–2018, Chairman Asean Competition Institute (ACI)

4 kali dilihat, 4 kunjungan hari ini
Editor: Bethriq Kindy Arrazy

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *