NEWS

Hutan Hilang, Banjir Datang: Suku Balik di Bayang Proyek IKN

Kepala Suku Balik, Sibukdin, di Kelurahan Sepaku, Kecamatan Sepaku, Kabupaten Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur. Foto: Antara
Kepala Suku Balik, Sibukdin, di Kelurahan Sepaku, Kecamatan Sepaku, Kabupaten Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur. Foto: Antara
apakabar.co.id, JAKARTA - Masyarakat adat Suku Balik di Kampung Lokdam, Kecamatan Sepaku Lama, Kalimantan Timur, menghadapi krisis lingkungan dan sosial akibat hilangnya hutan tempat mereka bergantung selama puluhan tahun. 

Perubahan bentang alam dari hutan tropis menjadi hutan tanaman industri dan perkebunan sawit telah mengubah pola hidup masyarakat, bahkan sebelum hadirnya proyek pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN).

“Sekarang hampir semuanya hilang. Hutan kami masuk dalam kawasan Hak Pengusahaan Hutan (HPH) dan kemudian Hutan Tanaman Industri (HTI),” ujar tokoh masyarakat dan salah satu dari sedikit penutur fasih Bahasa Balik yang masih hidup, Sekion, dikutip dari Antara, Senin (6/10).

Nama Lokdam berasal dari “log dump,” lapangan tempat penumpukan kayu hasil tebangan. Permukiman ini tumbuh di sekitar lokasi penebangan PT ITCI pada puncak eksploitasi hutan tahun 1970-an. Sekion, kini berusia 67 tahun, menjadi penjaga bahasa dan budaya Balik—mengajarkan anak-cucunya untuk terus berbahasa Balik di rumah, agar identitas itu tak lenyap seperti hutannya.

Lelaki tua itu mengenang masa ketika rotan, damar, buah hutan, dan hewan buruan mudah didapat. Ladang pun bisa dibuka dengan cara membakar semak dan sisa kayu, praktik tradisional yang kini dilarang karena risiko polusi dan kebakaran.

Memasuki tahun 1980-an, hutan alam berganti menjadi hutan tanaman industri. Perusahaan menanam eukaliptus dan akasia untuk bahan baku kertas, disusul kelapa sawit. Pergeseran vegetasi dari hutan hujan tropis menjadi monokultur membawa dampak ekologis yang nyata.

“Dulu hujan tiga hari tiga malam baru banjir. Sekarang, dua jam saja sudah banjir,” kata Harianto, pengurus sekolah adat.

Studi Otorita Ibu Kota Nusantara (IKN) mencatat, banjir sudah terjadi sejak 1970-an akibat menurunnya daya tampung sungai dan daya serap tanah. “Genangan air dulu cuma satu sampai empat jam. Sekarang bisa seharian,” tambah Jakiah, warga RT 2.

Pada Juni 2024, banjir menimpa 335 keluarga atau 1.228 jiwa. Pemerintah berjanji membenahi Daerah Aliran Sungai Sepaku dengan menggandeng peneliti dari Belanda. Namun hingga Oktober 2025, proyek perbaikan aliran sungai masih dalam tahap konstruksi dan banjir tetap terjadi.

Masalah lain muncul: krisis air bersih. “Sungai dulu bisa dipakai, sekarang kami harus beli air atau menampung air hujan,” ujar Hanisa, perempuan adat.

Sekion melihat persoalan itu lebih dalam: selama setengah abad, masyarakat adat hanya menjadi obyek kebijakan. Ruang hidup mereka menyempit, sementara pengakuan negara atas keberadaan mereka belum juga jelas.

“Kami hanya menyaksikan kekayaan alam kami diambil, tapi hidup kami tidak jadi lebih baik,” katanya.

Ia menaruh harapan pada pengesahan Rancangan Undang-Undang Masyarakat Adat, yang dianggap sebagai bentuk pengakuan resmi negara terhadap hak-hak mereka. “Dengan begitu, keadilan sosial, satu pilar Pancasila, ditegakkan,” ujar Sekion.

Di generasi lebih muda, suara berbeda muncul. “Zaman sudah berubah. Kita harus bisa menyiasati agar tetap ada dan bertahan,” kata Supian Nur, Wakil Ketua Lembaga Adat Paser Sepaku.

Sementara itu, Otorita IKN mulai menyiapkan rancangan peraturan untuk memberi kepastian hukum atas kearifan lokal di ibu kota baru. “Kami berusaha membangun sistem terbaik agar masyarakat tetap selaras dengan alam dan inklusif,” jelas Deputi Lingkungan Hidup dan SDA Otorita IKN, Myrna Asnawati Safitri.

Menurutnya, rancangan itu disusun bersama unsur pemerintah, lembaga, dan masyarakat untuk memastikan perlindungan adat tidak hanya tertulis, tapi terlaksana. “Kebijakan yang dibuat pasti berdampak kepada masyarakat. Karena itu, kami terus berdialog untuk menemukan jalan terbaik,” katanya.

Kepala Otorita IKN, Basuki Hadimuljono, menegaskan pembangunan IKN akan berlandaskan prinsip Bhinneka Tunggal Ika. “IKN adalah perwujudan budaya nasional yang memberi ruang pada kebudayaan lokal,” ujarnya.

Basuki menyebut IKN sebagai “living lab” — laboratorium hidup yang menggabungkan konsep sosial, budaya, ekonomi, dan teknologi. Ia bahkan membuka peluang dibentuknya kawasan cagar budaya di wilayah adat Suku Balik.

Pemerintah Kabupaten Penajam Paser Utara juga menegaskan perlindungan adat lewat Perda Nomor 2 Tahun 2017 tentang pelestarian dan perlindungan adat serta budaya lokal. Payung hukum ini menjadi dasar agar Suku Balik tidak kehilangan tempat tinggal dan hak adat di tengah perubahan besar bernama Ibu Kota Nusantara.

Foto editor
Editor: Raikhul Amar