apakabar.co.id, JAKARTA – Koordinator Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER) Pius Ginting mengungkapkan analisis spasial menunjukkan, dari tahun 2013 hingga 2023, wilayah hutan yang hilang di Daerah Aliran Sungai (DAS) di Kabupaten Halmahera Tengah telah mencapai 10.803 hektare. Wilayah tersebut menjadi kesatuan wilayah ekologis antara desa terdampak banjir, kawasan industri IWIP, dan perusahaan tambang .
“Situasi ini membuat tekanan terhadap lingkungan hidup di wilayah Halmahera Tengah semakin besar,” ujar Pius dalam diskusi bertajuk Tingkat Produksi Pertambangan Nikel di Halmahera Tengah dan Daya Dukung & Tampung Ekologi di Jakarta, Rabu (28/8).
Menurut Pius, aktivitas penambangan nikel telah mengakibatkan sedimentasi tinggi yang ditandai dengan kekeruhan air sungai. Sedimentasi turut memperkecil daya tampung sungai.
“Hal ini adalah kombinasi yang sempurna untuk membuat bencana banjir, yaitu curah hujan tinggi, pengurangan ekosistem hutan sebagai pengatur tata hidrologis, dan pendangkalan sungai,” terangnya.
Janji Bahlil ke Muhammadiyah Usai Terima Konsesi Tambang
Kajian Risiko Bencana Provinsi Maluku Utara, Kabupaten Halmahera Tengah menunjukkan potensi bahaya banjir yang tinggi dengan luasan mencapai 16.290 hektare. Begitu pun untuk bencana banjir bandang mencapai 8.166 hektare.
Kajian tersebut menjadi salah satu pertimbangan penting bagi pembangunan di Halmahera Tengah, termasuk dalam implementasi hilirisasi nikel yang telah melahap lahan.
Pius menegaskan, pembatasan nikel diperlukan sesuai dengan daya dukung lingkungan. Pasalnya, dampak perubahan iklim di Halamahera Tengah menunjukkan musim kemarau yang panjang sehingga debu PLTU memperburuk kesehatan warga.
Pius menambahan, “Karena sumber energi terbarukan terbatas di Halmahera, maka produksi nikel perlu dibatasi.”
Konsesi Tambang Batu Bara, Muhammadiyah: Nanti Ada Pernyataan Resmi soal Itu
Kepala Bidang Penataan dan Kapasitas Dinas Lingkungan Hidup Halmahera Tengah Abubakar Yasin mengakui ada gap antara kondisi lingkungan dengan kemampuan investasi. Abubakar menyoroti pertumbuhan jumlah penduduk yang masif telah berdampak pada pembuangan sampah.
“Curah hujan yang sangat tinggi pada Juli 2024 dan melebihi standar curah hujan di Halmahera Tengah menjadi salah satu penyebab terjadinya banjir bandang,” katanya.
Menurut Abubakar, dari 7 perusahaan besar mengelola tambang di Halmahera Tengah, yang diawasi baru lima perusahaan. Ia mengakui limbah yang masuk ke sungai dan tidak terkelola dengan baik akan berpengaruh pada kualitas sungai.
“Namun kehadiran investasi tidak bisa ditolak, apalagi ini dari pemerintah pusat,” ujar Abubakar. Ia mengungkapkan pemerintah daerah tidak berdiam diri. Mereka tetap melakukan sesuatu meski belum maksimal.
Bahlil Sebut Infrastruktur Industri Jadi Kunci Hilirisasi di Papua
Buruknya dampak lingkungan akibat aktivitas tambang diamini Supriyadi Sudirman, warga asli Sagea, Halmahera Tengah. Supriyadi yang tergabung dalam Komunitas Fakaweledengan menjelaskan warga Sagea tidak membutuhkan tambang nikel.
Warga Sagea, kata Supriyadi, membutuhkan sungai dan laut yang bersih, juga alam dan hutan yang indah untuk hidup. “Warga Sagea tinggal sekitar 3 km dari lokasi hilirisasi nikel,” ungkapnya.
Sejak tahun 2011, Supriyadi membeberkan, mereka sangat terdampak oleh masifnya pergerakan tambang di wilayah mereka. Karena itu mereka menolak tambang meskipun tidak pernah digubris.
Bahkan ketika pencemaran semakin parah, Supriyadi dan komunitas Save Sagea tidak pernah mendapat akses untuk melihat pusat pencemaran.
Sssttt.. Tambang Ilegal Terendus Lagi di Balangan
“Sejak Agustus 2023, pencemaran sungai tak terbendung. Sungai keruh hampir sepanjang waktu. Deforestasi juga sangat tinggi. Di laut juga terjadi pencemaran, banyak ikan laut yang sudah tak bisa dikonsumsi karena terkontaminasi nikel,” papar Supriyadi.
Pernyataan Supriyadi dibenarkan Rifya, perempuan warga Sagea. Rifya menjelaskan dampak yang mereka alami begitu besar.
“Perempuan yang sedang menstruasi atau habis melahirkan, biasanya menggunakan bahan-bahan alam sebagai obat untuk menjaga kesehatan reproduksi. Tapi setelah ada tambang, pohon-pohon dan tanaman obat sekarang sudah tidak ada,” ujarnya.
Rifya juga merasakan perubahan yang sangat besar sejak tambang datang. Embun pagi yang dulu bening kini berbintik hitam, nelayan juga tidak bisa lagi melaut karena ikan semakin sedikit dan tercemar. Bahkan tumbuhan banyak yang punah dan makin susah ditemukan, dan paling fatal kelangkaan air bersih terjadi.
Merefleksi Pahlawan Perempuan Kalsel: Ada Pejuang Anti Tambang!
“Bahkan ada jasad warga yang meninggal dimandikan pakai air galon, karena enggak ada air sumur yang bersih,” ungkap Rifya.
Menurut Rifya, berdasarkan penelitian yang pernah dilakukan, Sagea tidak memiliki potensi nikel karena wilayah tersebut merupakan kawasan kars. Sayangnya, meski banyak dosen dan peneliti yang datang meneliti sumber air, tetapi warga tak pernah mendapatkan informasi lanjutan.
“Warga sagea hanya bisa melihat kerusakan,” tegasnya.
Pihak Kementerian ESDM yang diwakili Koordinator Hubungan Komersial Kementerian ESDM Christo A. Sianturi menjelaskan, bagaimanapun tujuan investasi pertambangan nikel umumnya adalah untuk kesejahteraan masyarakat. Pemerintah berharap masyarakat sejahtera, mandiri dan berkelanjutan.
Berantas Tambang Ilegal Kalsel, KPK Jangan Kaku!
“Soal IUP, dalam persetujuan RKB mereka akan mencermati, mengevaluasi dan melakukan pengawasanpadatitik-titik pengamatan. Ada monitoring pengawasan,” ujar Christo.
Christo mengungkapkan, dalam penyusunan studi kelayakan dan program pengembangan masyarakat (PPM), masyarakat perlu dilibatkan untuk penyusunan program-program terutama masyarakat di ring 1.