apakabar.co.id, BANJARBARU – Sengkarut penyelenggaraan Pilkada Banjarbaru akhirnya sampai ke Bawaslu RI.
Tim ‘Banjarbaru Hanyar’ yang diwakili oleh Denny Indrayana dan Hairansyah sore tadi datang melapor. Tim ini berisi akademisi, aktivis, dan para tokoh masyarakat yang menilai demokrasi di Banjarbaru telah dikebiri.
“Ya hari ini kita menyampaikan laporan ke Bawaslu RI terkait pelanggaran administrasi dan dugaan tindak pidana Pilkada Banjarbaru, kata Denny Indrayana, Selasa (03/12).
Siapa tak tahu Denny? Guru besar hukum tata negara ini adalah advokat kondang. Pernah menjabat Wakil Menteri Hukum dan HAM 2011-2014.
Sedang Hairansyah tak hanya pakar kepemiluan. Mantan anggota KPU Kalsel dua periode ini juga mantan Komisioner Komnas HAM 2017-2022.
Tak hanya ke Bawaslu, tim Banjarbaru Hanyar juga akan melapor ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). “Laporan terkait dugaan pelanggaran etik KPU akan kita sampaikan besok ke DKPP,” jelasnya.
Selanjutnya. Tak hanya ke Bawaslu dan DKPP, Denny cs juga akan mengajukan sengketa hasil Pilkada Banjarbaru 2024 ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Gugatan ke MK untuk me-review peraturan atau keputusan KPU terkait penghitungan hasil suara di Pilkada Banjarbaru.
“Ini semua ikhtiar kami untuk menjaga pemilihan kepala daerah khususnya di Banjarbaru berjalan jujur dan adil tidak inkonstitusional, karena menurut kami ini adalah perampokan suara rakyat,” tegasnya.
Hairansyah lalu menambahkan. Pada prinsipnya terdapat problem pelanggaran administrasi serius dan dugaan tindak pidana pemilu serta dugaan pelanggaran etik.
Hal ini yang menjadikan alasan pihaknya untuk melakukan laporan baik ke Bawaslu dan DKPP serta mengajukan uji materi Ke Mahkamah Konstitusi.
“Intinya ada problem dalam pelaksanaan Pilkada Banjarbaru ada pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan terhadap UU Pilkada, dan laporan ini sebagai bagian memperjuangkan hak-hak warga negara khususnya masyarakat Banjarbaru,” kata Hairansyah.
Keunikan Pilkada Banjarbaru
Perjalanan kontestasi Pilkada di Banjarbaru memang terbilang unik. Sejak awal kans calon tunggal sudah terlihat. Sebelum pendaftaran dibuka, kandidat Lisa Hallaby melakukan borong partai. Petahana Aditya Mufti Ariffin hanya disisakan PPP, partai yang dipimpinnya sendiri.
Beruntung, jelang detik-detik akhir, Mahkamah Konstitusi mengabulkan putusan yang membolehkan partai-partai non-parlemen mengusung calon. Aditya pun masih bisa melenggang setelah PPP mendapatkan tambahan dukungan dari partai gurem, seperti Partai Umat dll.
Tak berhenti di situ. Jelang kontestasi yang sisa hitungan hari, secara mengejutkan penyelenggara pemilu membatalkan pencalonan Aditya. Anak gubernur Kalsel dua periode, Rudy Ariffin itu pun didiskualifikasi KPU karena menggunakan tagline Pemkot Banjarbaru dalam kampanye. Pelapor kasus ini adalah Wartono, wakil wali kota saat ini yang menjadi pendamping calon wali kota Lisa Hallaby.
Saat Pilkada digelar, hasilnya dimenangkan oleh suara tak sah. Pasangan tunggal Lisa Hallaby-Wartono hanya mampu meraup 36 ribu suara. Sedangkan suara tak sah dari masyarakat mencapai 78 ribu.
Hairansyah memerinci sejumlah kejanggalan pemilu Banjarbaru. Pertama, sesuai UU nomor 10 tahun 2016, diskualifikasi calon tidak boleh dilakukan 30 hari jelang pencoblosan. Namun KPU tetap memaksakan.
Kedua, calon petahana didiskualifikasi namun KPU tak menggunakan format kotak kosong. Jika kotak kosong yang menang, maka opsi Pilkada ulang sesuai dengan harapan masyarakat terbuka.
“Format Pilkada tanpa kotak kosong itu tidak memiliki dasar hukum,” jelas Ancah.
Menangnya suara tak sah menunjukkan ketidaksesuaian masyarakat Banjarbaru terhadap calon yang diatur KPU. Gelombang penolakan meluas. Masyarakat kemudian mendemo DPRD Banjarbaru.
“Pilkada Banjarbaru ini sudah by design,” jelasnya.