Suara Tak Sah Menang di Banjarbaru, Pilkada Seharusnya Diulang

Menangnya suara tak sah dianggap sebagai bentuk ekspresi kekecawaan warga. Tiga opsi ini bisa dilakukan masyarakat pemilih jika tak puas dengan hasil Pilkada Banjarbaru.

Wajah pasangan calon Aditya-Habib masih terpampang di surat suara. Foto: apakabar.co.id

apakabar.co.id, JAKARTA – Secara mengejutkan, hasil Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) dimenangkan oleh suara tak sah. Hanya terjadi di Banjarbaru, Kalimantan Selatan.

Hasil Pilkada di Banjarbaru tak mengejutkan Hairansyah. Anggota KPU Kalsel dua periode sekaligus komisoner Komnas HAM periode 2017-2022 ini sedari awal melihat kontestasi di Banjarbaru sudah by design alias tak sehat.

“Masyarakat yang tak puas bisa memidanakan dan melaporkan etik penyelenggara pemilu,” jelas Ancah, sapaan karibnya, dihubungi apakabar.co.id, Kamis sore (28/11).

Catatan media ini, perjalanan kontestasi Pilkada di Banjarbaru memang terbilang unik. Sejak awal kans calon tunggal sudah terlihat. Sebelum pendaftaran dibuka, kandidat Lisa Hallaby melakukan borong partai. Petahana Aditya Mufti Ariffin hanya disisakan PPP, partai yang dipimpinnya sendiri.

Beruntung, jelang detik-detik akhir, Mahkamah Konstitusi mengabulkan putusan yang membolehkan partai-partai non-parlemen mengusung calon. Aditya pun masih bisa melenggang setelah PPP mendapatkan tambahan dukungan dari Partai Umat dll.

Tak berhenti di situ. Jelang kontestasi yang sisa hitungan hari, secara mengejutkan penyelenggara pemilu membatalkan pencalonan Aditya. Anak gubernur Kalsel dua periode, Rudy Ariffin itu pun didiskualifikasi.

Bawaslu merekomendasikan KPU membatalkan pencalonan Aditya karena melanggar aturan administrasi pemilu. Yakni, gara-gara menggunakan slogan kampanye ‘Banjarbaru Semakin Juara”. Padahal tagline serupa sudah ia gunakan saat pemilu lima tahun yang lalu saat masih berpasangan dengan Wartono.

Menariknya, pelapor dalam kasus ini adalah Wartono sendiri, yang kini menjadi kandidat pendamping Lisa. Walhasil, kontestasi di Pilkada Banjarbaru pun hanya diisi oleh calon tunggal, yakni kandidat Lisa Hallaby-Wartono yang diusung koalisi gemuk.

Nahasnya penyelenggara pemilu tidak mengubah format di sisa waktu yang ada. Termasuk dalam kotak suara. Tak ada kolom kosong. Wajah petahana Aditya-Said Abdullah masih terpampang jelas.

KPU hanya bisa menerbitkan surat keputusan nomor 1774 tahun 2024. Yang mengatur suara yang dicoblos untuk pasangan calon Aditya-Said -yang telah didiskualifikasi- dianggap tidak sah. Dan meminta KPU Banjarbaru meminta KPPS menyampaikan aturan tersebut kepada pemilih di TPS. Warga pun berbondong-bondong datang ke TPS dan masih mencoblos Aditya-Habib.

Masih adanya gambar calon yang didiskuslifikasi itu, kata Ancah, jelas akibat kebijakan KPU yang tidak taat hukum. “Format Pilkada tanpa kotak kosong itu tidak memiliki dasar hukum,” jelas Ancah.

 

Lihat postingan ini di Instagram

 

Sebuah kiriman dibagikan oleh Kabarin Lah! (@kabarinlahh)

Ancah melihat penyelenggara pemilu telah menghilangkan pilihan warga sebagai hak konstitusional yang fundamental.

Masyarakat pemilih mayoritas dengan suara tidak sah tak hanya bisa memidanakan penyelenggara dan pengawas pemilu.

Opsi kedua yang bisa dilakukan, adalah juga melapor ke DKPP terkait ketidakprofesionalan KPU RI, KPU Kalsel, KPU Banjarbaru, Bawaslu Kalsel, dan Bawaslu Banjarbaru.

Sementara opsi ketiga, kata Ancah, yang bisa dilakukan warga pemilih ialah melakukan judicial review terhadap keputusan KPU RI nomor 1774/2024. Sebab beleid tersebut telah bertentangan dengan UU nomor 10/2016.

“Termasuk mengajukan gugatan pembatalan hasil Pilkada ke MK karena pilkada cacat prosedur, cacat hukum dan inskonstitusional sehingga harus dibatalkan,” jelasnya,

Diskualifikasi kandidat Pilkada di Banjarbaru yang inkonstitusional masih membuat Ancah tak habis pikir. Ini jelas telah merusak demokrasi.

Sebab, menurut UU, pembatalan tidak boleh dilakukan 30 hari menjelang pemungutan suara. Jika tak percaya, baca saja UU nomor 10 tahun 2016 pasal 154 ayat 12.

“Di sini terlihat jelas ada unsur kesengajaan by design untuk menguntungkan satu calon,” jelas Ancah.

Ancah pun melihat menangnya suara tidak sah menunjukkan ketidaksesuaian masyarakat Banjarbaru terhadap calon yang diatur KPU. “Masyarakat pemilih mayoritas berarti tidak setuju,” jelasnya.

Maka, kata Ancah, seharusnya penyelenggaraan pemilu di Banjarbaru diulang dan dikembalikan ke format semula. “Jika hanya satu calon, maka kotak kosong lah yang menang. Sehingga Pemilu harus diulang,” jelasnya.

Sampai berita ini tayang, Ketua KPU Kalsel, Andi Tenri Sompa, belum merespons upaya konfirmasi apakabar.co.id.

Ekspresi Kekecewaan

Benarkah hasil Pilkada di Banjarbaru mencerminkan ekspresi kekecewaan warganya? apakabar.co.id menyodorkan pertanyaan demikian ke Antropolog, Universitas Lambung Mangkurat, Nasrullah.

Ia melihat menangnya suara tidak sah adalah anomali yang justru digemari pemilih. Kondisi ini sekaligus menunjukkan kekacauan orientasi makna yang bersifat pembalikan.

“Dari yang semestinya suara sah kepada suara tidak sah,” jelas Inas, sapaan karibnya, dihubungi terpisah, Kamis petang.

Suara tidak sah bisa jadi lahir dari respons terhadap pilihan politik yang oleh penyelenggara pilkada agar ‘diarahkan’ hanya kepada salah satu paslon. Inas pun teringat pada teori perlawanan petani di Asia oleh James C. Scott. Bahwa senjatanya orang-orang kalah adalah melakukan perlawanan tersembunyi.

Maksudnya, masyarakat akan mempertahankan interpretasinya terhadap ideologi yang mereka anut sebelumnya, yang mana berbeda atau bahkan melawan ideologi baru yang dibentuk oleh elite atau negara.

“Maka yang dilakukan pemilih adalah masuk TPS dan mencoblos suara tidak sah adalah bentuk perlawanan,” jelasnya.

Inas lantas kuatir. Menangnya suara tak sah membuktikan surutnya, tak hanya ke penyelenggara pemilu, tapi juga kepercayaan kepada kandidat yang ada.

“Sangat defisit legitimasi karena suara tidak sah adalah 68,60 persen,” jelasnya.

Masih terpampangnya gambar Aditya-Said juga menuai tanya. Bukan hanya menunjukan ketidaksiapan penyelenggara pemilu, tapi juga meninggalkan simbol kekacuaan.

“Kondisi seperti ini menciptakan kekacauan pemaknaan simbol paslon. Secara de facto (fakta), paslon Aditya dan Habib Abdullah itu ada, sedangkan secara de jure (hukum) memilihnya dianggap tidak sah,” pungkas Inas.

Sampai detik ini, penghitungan suara di Pilkada Banjarbaru masih berjalan. Suara tak sah unggul hingga 91 ribu atau 72 persen dari pasangan Lisa Halaby-Wartono (28 persen). Petahana yang didiskualifikasi menang telak di hampir seluruh TPS. Dari total 403 TPS se-Banjarbaru, Aditya dan Habib Abdullah hanya kalah di 17 TPS.

568 kali dilihat, 50 kunjungan hari ini
Editor: Fariz Fadillah

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *