apakabar.co.id, JAKARTA – Jauh sebelum berkuasa, pemerintahan Prabowo-Gibran telah menetapkan pentingnya agenda antikorupsi. Hal itu termaktub dalam Astacita atau delapan misi yang diusung sejak era kampanye, yakni memperkuat reformasi politik, hukum dan birokrasi, hingga memperkuat pencegahan dan pemberantasan korupsi dan narkoba.
Agenda antikorupsi tersebut kemudian dibumbui pernyataan Presiden Prabowo yang tajam dan terkesan menjanjikan. Seperti hendak mengejar koruptor sampai antartika, ikan busuk dari kepala, hingga pernyataan jangan ada loyalitas jiwa korps yang keliru.
Namun dalam jelang 100 hari masa kepemimpinannya, Indonesia Corruption Watch (ICW) menyusun catatan penting tentang refleksi sekaligus proyeksi bagaimana outlook pemberantasan korupsi 2025.
Menurut ICW, belum tampak adanya sinyal dan gebrakan dalam merealisasikan agenda antikorupsi Prabowo-Gibran tersebut. Yang terlihat justru adanya kecenderungan berbalik arah dan terkesan toleran terhadap koruptor.
“Hal itu terkonfirmasi dari pernyataan Prabowo yang hendak memberikan pengampunan atau memaafkan koruptor, jika mengembalikan uang rakyat yang dicuri,” ujar ICW dalam keterangannya di Jakarta, Kamis (23/1).
Minimnya komitmen pemberantasan korupsi di era pemerintahan baru ini, diperkuat dengan rencana kontroversial Menteri Hukum Supratman Andi Agtas yang hendak mengeluarkan kebijakan denda damai terhadap koruptor. Penerapan atas wacana tersebut jelas-jelas berpotensi tidak transparan, sulit dipertanggungjawabkan, serta tidak menimbulkan efek jera bagi pelaku korupsi.
Selain itu, sikap inkonsistensi lainnya terjadi pada upaya penguatan KPK. Menteri Hukum Andi Agtas telah mengeluarkan gagasan soal keberadaan KPK yang tidak lagi dibutuhkan, jika 3 (tiga) UU, yakni Partai Politik, Perampasan Aset, dan Pembatasan Uang Kartal dibahas dan disahkan DPR.
Namun pada peringatan Hari Antikorupsi Sedunia 9 Desember 2024, Menkopolkam Budi Gunawan justru menyatakan dukungannya pada penguatan KPK untuk memberantas praktik korupsi di Indonesia.
Sementara itu, Menteri Koordinator Hukum, HAM, Imigrasi dan Pemasyarakatan (Menko Kumham Imipas), Yusril Ihza Mahendra telah mengusulkan hadirnya lembaga tunggal untuk memberantas korupsi. Selanjutnya lembaga baru itu akan berwenang melakukan penyidikan dan penuntutan terkait tindak pidana korupsi.
Munculnya kesimpangsiuran pernyataan dari para menteri Kabinet Merah Putih menggambarkan buruknya pemahaman dan koordinasi, termasuk pola komunikasi publik terhadap agenda antikorupsi dalam Astacita yang diusung Prabowo-Gibran.
“Ini merupakan indikator sederhana untuk menunjukan wajah dan arah pemberantasan korupsi di era Prabowo-Gibran. Kebijakan yang tidak berpihak atau sekedar retorika dari penguatan antikorupsi saja,” ujar ICW.
Selain itu, terpilihnya 4 pimpinan KPK baru yang berlatar belakang penegak hukum telah berpotensi semakin menyulitkan upaya penguatan KPK. ICW menilai, muncul kekhawatiran baru yang akan membuat keberadaan KPK semakin runyam.
“Padahal, sejarah mencatat bahwa dibentuknya KPK berakar dari keresahan pemberantasan korupsi yang tidak efektif dan efisien baik dari Polri maupun Kejaksaan,” tulis ICW.
KPK, menurut ICW, seharusnya terpisah dari unsur-unsur APH yang rawan kepentingan politik. Sayangnya, pimpinan KPK saat ini justru mendukung penghilangan metode OTT yang kerap menjadi metode paling efektif yang dilakukan oleh KPK.
“Pelemahan KPK menjadikan KPK mati suri –memiliki badan, tetapi tidak bernyawa. Akibatnya, kepercayaan publik terhadap lembaga yang dulu diagung-agungkan sebagai lembaga hebat, kini terus merosot,” kata ICW.
Ke depannya, bukan tidak mungkin setiap pengusutan kasus korupsi oleh KPK akan semakin berbau politis, dan tidak mengedepankan kepentingan publik. Jika itu yang terjadi, jelas KPK telah digunakan untuk tujuan tertentu.
“Sejak 100 hari Presiden Prabowo dilantik pun, belum ada kepastian dan upaya nyata memperkuat KPK kembali ke koridor penegakan hukum yang dinanti rakyat,” ujarnya.
Menurut ICW, untuk mengukur komitmen antikorupsi memang tidak sepenuhnya bisa terlihat dalam 100 hari kerja. Namun masyarakat mampu menakar sejauh mana keseriusan rezim Prabowo-Gibran dalam membuktikan dan menunaikan janji politik sebagaimana dituangkan dalam Astacita.
Bagi sebagian besar publik, kehadiran janji atau gimmick program pemerintah yang dirasakan sesaat sudah cukup. Namun lebih dari itu, menurut ICW, banyak pekerjaan rumah warisan rezim Jokowi dalam banyak sektor termasuk korupsi yang hingga kini tak kunjung tuntas.
Berkaca pada catatan 100 hari dan proyeksi tahun 2025, ICW menilai masih panjang dan jauh dari kata baik, upaya pemberantasan korupsi di era pemerintah Prabowo-Gibran. Meski sudah banyak gejala-gejala yang muncul, bahkan sejak rezim Jokowi dan berlanjut ke Prabowo, publik tidak berharap penyakit korupsi semakin memburuk.
Namun sebaliknya, gerakan antikorupsi bisa semakin baik dan menguat, sehingga pada ujungnya bisa memberikan dampak jangka panjang berupa peningkatan kesejahteraan bagi masyarakat.
“Oleh karena itu, pembuktian janji politik dan komitmen pemberantasan korupsi masih dinanti publik,” tandas ICW.