apakabar.co.id, TAPIN – Permasalahan lingkungan yang mengakibatkan konflik sosial di area usaha pertambangan batubara PT Antang Gunung Meratus (AGM) dan PT Merge Mining Industri (MMI) di Kalimantan Selatan jadi atensi Menteri Lingkungan Hidup (LH), Hanif Faisol Nurofiq.
“Saya tugaskan Pusdal (Pusat Pengendalian) Regional Kalimantan KLH dan Dinas LH Kalsel ya [ke PT AGM dan PT MMI],” ujar Hanif kepada apakabar.co.id, Kamis (5/6).
Dua entitas perpanjang tangan Menteri Hanif ini, bergerak untuk melakukan pengawasan hingga penindakan jika ada pelanggaran lingkungan.
“Setelah libur lebaran haji saya perintahkan berangkat ke lapangan,” ujarnya.
Atensi Hanif ini adalah tindaklanjut usai melakukan kunjungan kerja ke Kabupaten Tapin, Kalimantan Selatan (21/5). Saat itu, ia sudah monitor laporan terkait derita masyarakat yang berada di lingkar bisnis tambang batubara di Kalsel.
“Mestinya sepanjang ketentuan terkait dengan persetujuan lingkungan tersebut dapat dipenuhi, insyaallah permasalahan itu mestinya tidak ada,” ujarnya waktu itu.
Namun, ia mengakui implementasi di lapangan kerap meleset. Untuk itu, Hanif menilai penting ada pendelegasian kewenangan dari pusat ke daerah agar pengawasan lebih efektif.
“Kalau di sini dari LH [daerah] perlu kewenangan untuk melakukan pengawasan, kami akan delegasikan,” katanya.
Nelangsa Hidup Berdampingan PT AGM
Bisnis tambang PT AGM di Desa Suato Tatakan, Kabupaten Tapin, Kalimantan Selatan, diprotes warga. Limbah batubara perusahaan ini disebut telah merusak lahan pertanian dan mengganggu kehidupan petani dan penduduk.
Polusi udara, pencemaran tanah, dan air dirasakan selama bertahun-tahun. Sumbernya diduga kuat dari aktivitas hauling dan stockpile batubara PT AGM. Jarak permukiman dan sawah warga ke lokasi industri ini tak lebih dari 400 meter, bahkan ada yang hanya selemparan batu.
Pemerintah Desa Suato Tatakan mencatat, 47 petani dari dua kelompok tani (Telaga Baja dan Cempaka Putih) terdampak. Total lahan tercemar mencapai 80 hektare. Sedangkan yang terdampak debu batubara di area pemukiman mencapai 200 kepala keluarga (KK).
Kepala Desa Suato Tatakan, Fahmi Sadikin, mengatakan 80 hektare sawah warga kini dalam kondisi rusak. Ada yang tak bisa ditanami sama sekali.
“Produktivitas lahan setiap tahun semakin menurun. Ada yang sama sekali tak bisa ditanami lagi,” ucapnya.
Salah satunya dialami Anang Ardiansyah, petani berusia lebih dari 50 tahun ini menyebut, sejak tujuh tahun lalu lahannya tak lagi bisa digarap.
“Setelah 7 tahun, lahan tak bisa lagi digarap,” ujarnya lirih.
Tanahnya ditutupi lumpur hitam dan debu batubara. Gangguan hama meningkat. Sekitar 11 borong milik Anang kini jadi lahan mati. Nasib serupa dialami Sudiati (53), tetangganya. Sekadar info, satu borong setara dengan 1/6 hektare lahan.
Beruntung, Anang masih punya sawah cadangan yang jauh dari sumber polusi. Tapi tidak semua petani seberuntung itu.
Rusmiati (41), janda empat anak, terus bertahan menggarap sawahnya yang hanya 100 meter dari stockpile batubara. Saat ditemui, lahannya sedang menuju panen. Namun air dan tanahnya hitam pekat, padi tertutup debu.
Untuk 25 borong lahannya, Rusmiati harus keluar biaya minimal Rp5 juta per musim tanam. Kursani, petani lain, menyebut kehidupan mereka makin sulit.
“Kalau perusahaan dilindungi negara, harusnya kami juga dilindungi sebagai masyarakat,” katanya.
Para petani kini kompak menuntut ganti untung, yaitu meminta perusahaan membeli atau membebaskan lahan terdampak. Uang hasil ganti untung akan dipakai membeli lahan baru yang aman untuk bertani.
Asal tau aja. PT AGM ini merupakan salah satu pemegang kuasa Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B). Perusahaan ini juga berlabel sebagai objek vital nasional, area usahanya di Kalsel meliputi : Kabupaten Banjar, Kabupaten Tapin, Kabupaten Hulu Sungai Selatan dan Kabupaten Hulu Sungai Tengah.
PT MMI Penjarakan Petani
Derita di lingkar tambang batubara tak hanya dirasakan masyarakat Suato Tatakan. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalsel menyoroti pola serupa juga terjadi di Desa Rantau Bakula, Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan yang kini berhadapan dengan PT Merge Mining Industri (MMI).
Walhi melayangkan notifikasi terbuka kepada Menteri Lingkungan Hidup Hanif Faisol Nurofiq, meminta agar persoalan tambang batubara di Kalsel dilihat secara menyeluruh.
“Terkait dengan apa yang terjadi di Desa Suato Tatakan ini kisah abadi yang tak pernah ada akhir. Investasi batubara akan selalu menimbulkan jejak, baik dampak lingkungan yang sudah pasti maupun dampak sosio ekologis,” kata Direktur Walhi Kalsel, Raden Rafiq, Jumat (24/5).
Walhi Kalsel mencatat, salah satu warga Desa Rantau Bakula telah mengalami kriminalisasi karena tuduhan pengancaman yang dilaporkan oleh salah satu pihak PT MMI.
Warga tersebut adalah Sumardi (64) seorang petani yang dikriminalisasi dan diputus bersalah karena mempertahankan kebunnya yang hampir panen.
Sumardi dihukum dengan pidana tiga bulan penjara, namun tidak dilakukan penahanan melainkan menjadi masa percobaan selama lima bulan atau dirumahkan.
Lalu ada, Sugiarto (30) laki-laki penyandang ganguan jiwa dikabarkan juga pernah menjadi korban, diduga dianiaya oleh keamanan yang bekerja di PT MMI.
Direktur Eksekutif Walhi Kalimantan, Selatan Raden Rafiq, mengatakan kondisi di lapangan saat ini sudah cukup mengganggu warga Desa Rantau Bakula.
Warga bersama Walhi Kalsel juga segera berkoordinasi dengan jaringan nasional dan internasional untuk kasus ini agar diselesaikan dengan serius.
“Saya sangat menyayangkan lambatnya kehadiran negara dalam konflik warga Desa Rantau Bakula dengan PT MMI ini, kami mendesak pemerintah segera menindak, mengevaluasi bahkan mencabut izin perusahaan jika terbukti melanggar” ujarnya.
Dampak aktivitas perusahaan tambang batubara ini, juga dirasakan sedikit ada 28 kepala keluarga di Desa Rantau Bakula. Masyarakat menyatakan tak sanggup lagi keseharian hidup berdampingan dengan kebisingan, debu hingga pencemaran yang diduga berasal dari operasi PT MMI ini.
“Kami transmigrasi sejak 1991 sebelumnya merasa aman, tetapi sejak datang PT MMI kami mulai merasakan dampak,” jelas seorang masyarakat Desa Rantau Bakula Mariadi saat bercerita di Sekretariat Walhi Kalsel.
Air minum rumah tangga, dulu gratis kini bayar. Sumur dan sungai tercemar tak layak dikonsumsi.
Kebutuhan per rumah tangga bervariatif, rata-rata empat galon sehari. Namun yang pasti, kebutuhan per galon harus keluar ongkos Rp8.000.
Gangguan kesehatan yang kasat mata yakni gatal – gatal akibat menggunakan air sungai: korbannya kebanyakan anak-anak.
“Air sekarang tidak bisa lagi untuk memasak, cucian menjadi kotor dan jika terpaksa menggunakan dampaknya terhadap anak-anak bisa terjadi gatal-gatal” ujar Warga Rantau Bakula Paryun.
Sejauh ini belum ada pemeriksaan kesehatan yang konfrehensif terhadap kondisi masyarakat di wilayah tersebut.
Hasil tani pun tak luput dari dampak yang diduga berasal dari industri ekstraktif ini. Contohnya, kebun karet milik Paryun, produksi getah kini terus mengalami penurunan yang signifikan.
“Kebun karet saya dulu dalam seminggu menghasilkan setidaknya 50 kilogram, tetapi sekarang dalam seminggu hanya kisaran 25 kilogram saja,” ungkapnya.