1446
1446

Stimulus Setengah Hati Mudik 2025

Ilustrasi - Pemudik mengangkut barang bawaan yang hendak diangkut ke dalam bus dalam program mudik gratis 2024. Foto: ANTARA

Oleh: Achmad Nur Hidayat*

Mudik Lebaran telah lama menjadi tradisi sakral bagi masyarakat Indonesia, bukan hanya sebagai ritual budaya, tetapi juga sebagai penggerak ekonomi siklus tahunan.

Namun, pada 2025, pemerintah terkesan gamang dalam merancang kebijakan yang benar-benar pro-rakyat. Alih-alih mengambil langkah transformatif, kebijakan yang dihadirkan justru bersifat reaktif, parsial, dan tidak menyentuh akar masalah: beban ekonomi yang kian memberatkan kelas pekerja dan menengah.

THR dan Diskon Tol: Antara Niat Baik dan Realita yang Pahit

Pemerintah mengklaim dua kebijakan utama sebagai solusi: pencairan Tunjangan Hari Raya (THR) dan diskon tarif tol 20%.

THR untuk ASN, TNI/Polri, dan pensiunan mulai dicairkan pada 17 Maret 2025, sementara sektor swasta diwajibkan membayar THR tujuh hari sebelum Lebaran.

Di sisi lain, diskon tol 20% diberlakukan selama delapan hari untuk mengurangi kemacetan dan beban biaya.

Namun, efektivitas kedua kebijakan ini dipertanyakan. Pertama, pencairan THR untuk sektor swasta seringkali terlambat, bahkan kerap menjadi polemik tahunan. Keterlambatan ini memangkas daya beli masyarakat, karena dana baru tersedia menjelang hari-H, saat harga kebutuhan pokok dan transportasi sudah melambung.

Kedua, diskon tol 20% hanya bersifat simbolis. Untuk rute Jakarta-Surabaya, misalnya, biaya tol bisa mencapai Rp1 juta. Diskon 20% hanya menghemat Rp200.000—jumlah yang tidak signifikan dibandingkan kenaikan harga BBM, makanan, atau akomodasi selama perjalanan.

Kebijakan ini juga mengabaikan kelompok rentan. Diskon tol hanya membantu pemudik yang menggunakan kendaraan pribadi, sementara 60% pemudik mengandalkan transportasi umum seperti bus, kereta ekonomi, atau kapal laut—yang justru tidak mendapat subsidi serupa.

Padahal, kenaikan harga tiket bus atau kapal mencapai 30-50% saat puncak mudik, jauh melampaui kemampuan finansial buruh atau pekerja informal.

Infrastruktur Megah vs Kesejahteraan Rakyat: Prioritas yang Salah Arah

Kebijakan mudik 2025 tidak bisa dilepaskan dari konteks fiskal pemerintah yang lebih memprioritaskan proyek infrastruktur seperti Ibu Kota Nusantara (IKN) dan Proyek Strategis Nasional (PSN).

APBN 2025 dialokasikan secara masif untuk pembangunan tol berbayar, bandara, atau kawasan industri, sementara anggaran untuk perlindungan sosial justru dipangkas. Akibatnya, kebijakan mudik terkesan sebagai “tempelan” belaka, tanpa keberpihakan pada peningkatan daya beli masyarakat.

Contoh nyata adalah pembiayaan tol. Alih-alih menggratiskan tol selama mudik—kebijakan yang pernah diterapkan di masa lalu—pemerintah memilih diskon 20% untuk menjaga pendapatan operator jalan tol.

Padahal, jika dihitung, potensi pendapatan tol selama delapan hari mudik hanya sekitar Rp1-2 triliun—jumlah yang kecil dibandingkan anggaran IKN yang mencapai Rp466 triliun pada 2025. Pilihan ini mencerminkan paradigma pemerintah: melindungi kepentingan korporasi, bukan kesejahteraan rakyat.

Tak hanya itu, kenaikan PPN dari 10% menjadi 11% pada 2024—yang disusul wacana kenaikan lagi menjadi 12%—telah menggerus daya beli kelas menengah dan pekerja.

Kenaikan pajak ini tidak diimbangi dengan perluasan perlindungan sosial, sehingga masyarakat terpaksa mengencangkan ikat pinggang, termasuk mengurangi budget mudik. Penurunan perputaran ekonomi mudik sebesar Rp20 triliun pada 2025 tidak lepas dari efek domino kebijakan fiskal yang tidak pro-rakyat.

Kesenjangan Kebijakan: Ketika Rakyat Kecil Hanya Jadi Penonton

Kritik terhadap kebijakan mudik 2025 juga menyoroti ketimpangan dalam akses fasilitas. Program mudik gratis Kemenhub, misalnya, hanya menyediakan 50.000 kursi bus dan 15.000 tiket kapal—jumlah yang sangat minim dibandingkan 30 juta pemudik.

Sementara itu, diskon tiket pesawat 13-14% hanya dinikmati kalangan menengah atas, yang jumlahnya kurang dari 10% total pemudik. Mayoritas masyarakat—seperti buruh pabrik, pedagang pasar, atau petani—tetap bergantung pada transportasi darat dengan harga tiket yang tidak terkendali.

Pemerintah juga gagal menjawab persoalan mendasar: distribusi informasi. Sistem informasi lalu lintas real-time yang terintegrasi dengan aplikasi seperti Google Maps atau Waze belum optimal.

Padahal, ketiadaan data akurat tentang kemacetan, kecelakaan, atau jalur alternatif memperparah risiko perjalanan. Di saat yang sama, angkutan barang masih dibiarkan memadati jalan tol selama mudik, memicu kemacetan panjang. Padahal, pembatasan operasional truk selama periode mudik bisa mengurangi beban jalan hingga 20%.

Stimulus Setengah Hati: Mengapa Tidak Ada Terobosan Nyata?

Pertanyaan kritisnya: mengapa pemerintah tidak berani mengambil langkah radikal? Misalnya, menggratiskan tol selama tujuh hari, yang hanya membutuhkan anggaran Rp1,5-2 triliun—setara dengan 0,04% APBN 2025. Atau, mengalokasikan subsidi BBM untuk angkutan umum mudik, sehingga harga tiket bus tidak melambung.

Langkah-langkah ini jauh lebih berdampak daripada sekadar diskon parsial atau imbauan administratif.

Sayangnya, pemerintah terjebak dalam logika “anggaran terbatas”. Padahal, jika mau, dana untuk proyek infrastruktur mewah bisa dialihkan sementara ke perlindungan sosial mudik.

Misalnya, mengalokasikan 1% dari anggaran IKN (Rp4,66 triliun) untuk subsidi transportasi mudik—cukup untuk menggratiskan 2 juta tiket bus atau 500.000 tiket kereta ekonomi. Namun, pilihan politik ini tidak diambil, karena pemerintah lebih memilih membangun citra melalui proyek fisik ketimbang menyelesaikan persoalan riil masyarakat.

Mudik sebagai Cermin Kegagalan Negara Hadir untuk Rakyat

Penurunan perputaran ekonomi mudik sebesar Rp20 triliun adalah alarm keras: kebijakan pemerintah selama ini tidak menjawab kebutuhan dasar rakyat. PPN yang memberatkan, APBN yang tidak pro-rakyat, dan stimulus mudik yang setengah hati adalah bukti bahwa negara abai terhadap prinsip keadilan sosial.

Mudik seharusnya menjadi momentum pemerintah membuktikan komitmennya. Namun, yang terjadi justru sebaliknya: rakyat dipaksa berjuang sendiri menghadapi mahalnya biaya hidup, sementara anggaran negara dihamburkan untuk proyek yang tidak menyentuh hajat hidup orang banyak.

Jika pemerintah terus bersikap demikian, tradisi mudik bukan hanya akan kehilangan makna sosialnya, tetapi juga menjadi simbol kegagalan negara dalam melindungi warganya.

Negara harus “pulang” kepada filosofi dasarnya: melayani rakyat, bukan segelintir elit. Tanpa perubahan paradigma, kebijakan mudik—dan agenda pembangunan lainnya—akan tetap menjadi drama tahunan yang berujung pada kekecewaan publik.

*) Ekonom dan Pengamat Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta

20 kali dilihat, 20 kunjungan hari ini
Editor: Bethriq Kindy Arrazy

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *