150 Hari Tanpa Keadilan, Muara Kate Masih Berduka

Sampai hari ini siapa pelaku penyerangan ke posko warga penolak hauling yang menewaskan kakek Russell (kanan) dan membuat kritis Anson (kiri) belum juga terungkap. Foto: tangkapan layar/Youtube

apakabar.co.id, JAKARTA – Tragedi kekerasan terhadap warga Dusun Muara Kate, Kalimantan Timur, telah memasuki hari ke-150 tanpa kejelasan hukum.

Penyerangan terhadap posko penolakan hauling batu bara pada 15 November 2024 lalu menewaskan Russell (60) dan menyebabkan Anson (55) mengalami luka berat.

Hingga kini, pelaku belum ditangkap, sementara Anson masih dalam kondisi kritis.

Insiden terjadi saat warga mendirikan posko di tepi jalan negara sebagai bentuk protes terhadap aktivitas hauling batu bara oleh PT Mantimin Coal Mining.

Sekitar 600 hingga 1.000 truk melintasi jalur umum setiap hari, mengancam keselamatan warga, termasuk anak-anak sekolah.

Aktivitas tersebut diduga melanggar Perda Kaltim No. 10 Tahun 2012 dan UU Minerba No. 3 Tahun 2020. Namun hingga kini, belum ada penegakan hukum yang berarti.

Tragedi Muara Kate bukanlah satu-satunya. Pada Mei 2024, seorang pemuda bernama Teddy, yang juga warga sekitar, tewas diduga akibat tabrak lari oleh truk batu bara.

Di bulan Oktober, seorang pendeta bernama Veronika meninggal setelah truk serupa gagal menanjak di kawasan Marangit.

Warga adat Dayak di Muara Kate sehari-harinya bertani dan berkebun. Namun, sejak tragedi terjadi, mereka terus berjaga untuk menghalau aktivitas truk hauling yang kembali ingin melintas.

Sayangnya, meskipun Kompolnas dan Komnas HAM sudah turun ke lokasi, hasilnya belum signifikan. Komnas HAM hanya menyampaikan rekomendasi agar proses hukum dijalankan secara adil dan transparan.

Ironisnya, dua kali pergantian Kapolda Kaltim pun belum membawa titik terang. Sejumlah pengamat menilai ada konflik kepentingan, mengingat PT Mantimin Coal Mining—pemegang izin PKP2B—adalah pihak yang paling diuntungkan dari aktivitas hauling tersebut.

Lebih menyedihkan lagi, dari 11 anggota DPR RI dapil Kaltim, belum ada satu pun yang secara terbuka menyuarakan keadilan untuk korban dan keluarga di Muara Kate.

Amnesty International ikut menyoroti tragedi pembunuhan terhadap Russell. Organisasi HAM global tersebut menilai peran Komnas HAM dan DPR RI sebagai representasi rakyat belum maksimal dalam menuntaskan kasus yang sudah berjalan 150 hari tanpa kejelasan pelaku.

Berikut petikan wawancara media ini bersama Juru Bicara Amnesty International Indonesia, Haeril Halim:

1. Bagaimana peran spesifik Amnesty International dalam mengadvokasi hukum internasional terkait pelanggaran HAM pada kasus serupa?

Sebagai lembaga HAM internasional non-pemerintah, Amnesty International bekerja melalui penelitian, dokumentasi, dan kampanye untuk mengungkap pelanggaran HAM dan menekan pemerintah serta perusahaan untuk menegakkan HAM.

Dalam kasus-kasus yang melibatkan masyarakat adat dan masalah lingkungan, Amnesty International berfokus pada akuntabilitas negara dan perusahaan, hak-hak masyarakat adat, dan hak-hak protes warga sipil. Amnesty melakukan investigasi, menerbitkan laporan, dan memobilisasi dukungan global untuk menuntut keadilan bagi masyarakat yang terdampak. Selain itu, Amnesty mengadvokasi perubahan kebijakan dan reformasi hukum untuk mencegah pelanggaran serupa di masa datang.

2. Seperti apa solusi untuk mengakhiri konflik?

Amnesty International selalu menekankan pendekatan dialog yang saling menghargai, perlindungan hukum, dan akuntabilitas sebagai solusi utama atas konflik yang melibatkan masyarakat adat dengan badan negara atau perusahaan. Kami yakin pendekatan seperti ini harus bisa diterapkan dalam mengatasi konflik di Muara Kate.

3. Apa sudah cukup apa yang dilakukan oleh Komnas HAM hingga DPR RI?

Belum cukup, Komnas HAM dan DPR harus terus bersuara dan berupaya hingga berhasil memaksa Polri atau Polda Kaltim mengusut tuntas pelaku kasus kekerasan yang menyebabkan kematian itu dan mengadili pelaku di pengadilan dan mendapat hukuman melalui proses pengadilan yang obyektif dan terbuka.

4. Apa saja syarat yang harus dipenuhi untuk 

memungkinkan keterlibatan Amnesty Internasional dalam investigasi independen di lapangan?

Investigasi tidak bisa dilakukan oleh Amnesty International saja, namun juga perlu melibatkan organisasi masyarakat sipil lainnya, contohnya JATAM, Walhi, LBH Kaltim dan lain-lain dan bekerjasama dengan lembaga dan masyarakat adat setempat.

36 kali dilihat, 36 kunjungan hari ini
Editor: Raikhul Amar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *