Oleh: Jojo S. Nugroho*
Beberapa hari terakhir, publik dikejutkan oleh kabar penetapan tiga orang tersangka oleh Kejaksaan Agung Republik Indonesia. Dua orang adalah advokat. Satu lagi, seorang jurnalis senior, Direktur Pemberitaan di sebuah stasiun televisi. Mereka dituduh melakukan obstruction of justice atau perintangan penyidikan lewat pemberitaan yang dianggap menyudutkan Kejaksaan.
Di atas kertas, kasus ini mungkin terlihat seperti upaya menjaga integritas hukum. Tapi jika kita cermati lebih dalam, ada pertanyaan yang jauh lebih mengganggu: apakah menggiring opini—meskipun bersifat kritis—kini bisa dianggap sebagai tindak pidana?
Sebagai orang yang sudah lebih dari dua dekade berkecimpung di dunia komunikasi, saya tidak bisa menahan kegelisahan ini. Karena yang sedang dipertaruhkan bukan sekadar satu-dua nama, melainkan ruang bernapas publik dalam menyampaikan suara.
Dalam teori komunikasi massa, kita mengenal istilah framing — cara media membingkai informasi untuk membentuk makna tertentu. Ini bukan barang baru. Mulai dari talkshow, editorial, hingga debat antar pengacara di ruang publik—semua menggunakan framing. Tujuannya bukan memanipulasi, tapi menyoroti sudut pandang tertentu yang dianggap penting atau diabaikan oleh pihak lain.
Baca juga: Kisruh Program MBG: Tekor Asal Kesohor
Jadi ketika framing—yang notabene bagian dari praktik komunikasi publik—dianggap sebagai penghalang penyidikan, maka kita sedang memasuki wilayah yang berbahaya.
Apalagi jika pemberitaannya tidak mengandung hoaks, tidak mengintimidasi penyidik, dan tidak menghilangkan bukti. Lantas, di mana letak pelanggaran hukumnya?
Jika benar bahwa media tersebut dibayar untuk membuat narasi tertentu, kita bisa bicara soal etika jurnalisme. Tapi apakah itu cukup untuk menjerat orang ke penjara? Bukankah iklan advertorial, siaran berbayar, atau PR placement juga sering dilakukan oleh institusi negara, korporasi, bahkan penegak hukum sendiri?
Di Amerika, praktik menggiring opini bahkan menjadi bagian dari strategi komunikasi legal. Dalam banyak kasus besar, pengacara justru aktif berbicara ke media untuk membangun persepsi publik atas kliennya. Itu sah. Selama tidak melanggar hukum, tidak menyebar fitnah, dan tidak menghalangi keadilan secara langsung.
Indonesia memang bukan Amerika. Tapi kita juga bukan negara di mana setiap kritik bisa dianggap makar. Apalagi jika narasi dibalas dengan narasi, framing dibalas dengan klarifikasi. Itu sehat. Tapi kalau framing dibalas dengan pasal pidana, itu represi.
Baca juga: Langkah Politik: Tidak Ada Lagi Teori Ekonomi
Tentu kita tidak sedang membela pelanggaran hukum. Tapi mari kita jujur: kalau media tidak boleh bersuara, advokat tidak boleh bicara, dan publik tidak boleh curiga—lalu siapa yang mengawasi jalannya proses hukum?
Keadilan yang sejati tidak tumbuh dari senyapnya kritik. Ia lahir dari ruang publik yang hidup, dari argumen yang saling menguji, dan dari narasi yang bebas tumbuh. Jika framing bisa membuat orang dipenjara, maka kita sedang mencabut akar demokrasi itu sendiri.
Jadi saya ulangi pertanyaan di awal: Kalau framing bisa dipenjara, siapa lagi yang bisa bicara? Karena kalau negara mulai takut pada suara, maka yang kita jaga bukan keadilan—melainkan ketakutan. Dan itu bukan demokrasi. Itu delusi.
*) Pakar Komunikasi Krisis dan Dosen Humas Universitas Indonesia