KKJ Ingatkan Kejagung agar Dewan Pers Dilibatkan dalam Penilaian Karya Jurnaliistik 

Tersangka kasus dugaan perintangan penanganan perkara Kejagung, TB (Tian Bahtiar) selaku Direktur Pemberitaan JAKTV, duduk di dalam mobil tahanan di Gedung Kejaksaan Agung, Jakarta, Selasa, 22 April 2025. Antara: ANTARA

apakabar.co.id, JAKARTAKejaksaan Agung menetapkan 3 (tiga) tersangka dalam kasus dugaan menghalangi proses hukum (obstruction of justice) terkait perkara suap ekspor crude palm oil (CPO). Ketiganya adalah advokat Junaedi Saibih (JS), Marcela Santoso (MS), serta Direktur Pemberitaan Jak TV, Tian Bahtiar (TB).

Mereka diduga melakukan permufakatan jahat untuk mengganggu jalannya persidangan terhadap tiga perusahaan besar, yakni PT Wilmar Group, PT Permata Hijau Group, dan PT Musim Mas Group.

Menurut Kejagung, para tersangka membuat narasi negatif melalui pemberitaan di Jak TV untuk mengganggu konsentrasi penyidik. Konten berita tersebut telah dijadikan alat bukti oleh Kejagung dan bahkan beberapa di antaranya sudah tidak bisa diakses oleh publik.

Para tersangka dijerat dengan Pasal 21 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi yang mengatur tentang tindakan menghalangi penyidikan, penuntutan, atau persidangan.

Namun, tuduhan ini menimbulkan kekhawatiran di kalangan jurnalis, media, dan masyarakat sipil. Pasalnya, pemberitaan media, opini publik, serta kritik terhadap proses hukum bukanlah tindakan yang secara langsung menghambat proses peradilan.

Oleh karena itu, pengenaan pasal obstruction of justice dinilai berlebihan dan berpotensi membungkam kebebasan berekspresi serta kemerdekaan pers.

Lebih lanjut, dalam sistem hukum Indonesia, terdapat mekanisme penyelesaian terkait sengketa pemberitaan melalui Dewan Pers. Hal ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, serta nota kesepahaman antara Dewan Pers dan Kejaksaan Republik Indonesia yang ditandatangani pada 2019.

Dalam MoU tersebut, Kejaksaan diharuskan berkonsultasi terlebih dahulu dengan Dewan Pers sebelum menggunakan produk jurnalistik sebagai alat bukti pidana.

Dewan Pers memiliki kewenangan untuk menilai apakah suatu konten jurnalistik melanggar kode etik atau tidak. Jika konten hanya berupa kritik atau opini terhadap proses hukum, maka seharusnya tidak dipidanakan. Pengabaian terhadap mekanisme ini bisa menjadi bentuk kriminalisasi terhadap media dan jurnalis, serta melemahkan peran penting media dalam mengawasi jalannya proses hukum.

Komite Keselamatan Jurnalis (KKJ) merespons dengan menyampaikan lima poin penting. Pertama, Kejaksaan harus berkoordinasi dengan Dewan Pers terkait konten yang dijadikan alat bukti. Kedua, Kejaksaan diminta meninjau ulang penggunaan Pasal 21 UU Tipikor dan membuka akses terhadap konten yang disita, agar publik bisa menilai sendiri.

Ketiga, Dewan Pers didorong untuk memeriksa secara etis karya jurnalistik yang bersangkutan. Keempat, proses pemberantasan korupsi tetap harus dijalankan, tapi secara proporsional dan tidak menyalahi prinsip kebebasan pers. Terakhir, jurnalis diminta untuk tetap profesional, independen, dan mematuhi kode etik jurnalistik.

Penggunaan pasal obstruction of justice secara serampangan bukan hanya membahayakan kebebasan pers, tetapi juga bisa menjadi alat kekuasaan untuk menekan kritik. Jika dibiarkan, hal ini bisa menciptakan iklim ketakutan di kalangan jurnalis, padahal peran media sangat penting dalam mendukung proses hukum yang transparan dan akuntabel.

Kebebasan pers adalah hak konstitusional yang dijamin oleh UUD 1945. Oleh karena itu, penting bagi semua pihak—terutama aparat penegak hukum—untuk menghormati mekanisme dan prinsip-prinsip hukum yang berlaku. Kritik terhadap proses hukum bukanlah tindak pidana, melainkan bagian dari kontrol sosial yang sehat dalam sistem demokrasi.

317 kali dilihat, 324 kunjungan hari ini
Editor: Jekson Simanjuntak

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *