Lahan Mati, Nafas Tersengal: Jerit Warga di Lumbung Pangan Kalsel

Debu dan limbah tambang batubara PT Antang Gunung Meratus (AGM) telah merusak lahan pertanian seluas 80 hektare di Desa Suato Tatakan, Tapin, Kalimantan Selatan.

Rusmiati seorang petani Desa Suato Tatakan, Kabupaten Tapin, Kalimantan Selatan yang memiliki lahan di area operasional PT Antang Gunung Meratus menunjukkan tanaman padi yang rusak, Kamis (1/5/2025). Foto : Apakabar.co.id/Fauzi Fadilah

apakabar.co.id, RANTAU – Bisnis tambang PT Antang Gunung Meratus (AGM) di Desa Suato Tatakan, Tapin, Kalimantan Selatan, kini diprotes warga. Limbah batubara perusahaan ini disebut telah merusak lahan pertanian dan mengganggu kehidupan petani dan penduduk.

Polusi udara, pencemaran tanah, dan air dirasakan selama bertahun-tahun. Sumbernya diduga kuat dari aktivitas hauling dan stockpile batubara PT AGM. Jarak permukiman dan sawah warga ke lokasi industri ini tak lebih dari 400 meter, bahkan ada yang hanya selemparan batu.

Pemerintah Desa Suato Tatakan mencatat, 47 petani dari dua kelompok tani (Telaga Baja dan Cempaka Putih) terdampak. Total lahan tercemar mencapai 80 hektare. Sedangkan yang terdampak debu batubara di area pemukiman mencapai 200 kepala keluarga (KK).

Protes Sampai ke Menteri

Angkutan bermuatan batubara antre menuju stockpile Lokbuntar PT Antang Gunung Meratus di dekat lahan pertanian masyarakat Desa Suato Tatakan, Kabupaten Tapin Kalimantan Selatan, Selasa (20/5/2025). Foto : Apakabar.co.id/Fauzi Fadilah

Menteri Lingkungan Hidup Hanif Faisol Nurofiq saat kunjungan kerja ke Tapin (21/5), menyatakan akan mendalami laporan masyarakat. Ia meminta Dinas Lingkungan Hidup Tapin segera menyelidiki.

Hanif, yang pernah menjabat Kepala Dinas Kehutanan Kalsel, mengaku tak heran atas persoalan yang mencuat. Jika perusahaan benar mematuhi persetujuan lingkungan, kata dia, seharusnya konflik seperti ini tak terjadi.

“Mestinya sepanjang ketentuan terkait dengan persetujuan lingkungan tersebut dapat dipenuhi, insyaallah permasalahan itu mestinya tidak ada,” ujarnya.

Namun, ia mengakui implementasi di lapangan kerap meleset. Untuk itu, Hanif menilai penting ada pendelegasian kewenangan dari pusat ke daerah agar pengawasan lebih efektif.

“Kalau di sini dari LH perlu kewenangan untuk melakukan pengawasan, kami akan delegasikan,” katanya.

Petani Tersingkir, Lahan Mati

Potret lumpur berwarna hitam mengendap di area stockpile batubara PT Antang Gunung Meratus sebelum dikeruk, Senin (26/4/2025) Foto : Apakabar.co.id/Fauzi Fadilah

Kepala Desa Suato Tatakan, Fahmi Sadikin, mengatakan 80 hektare sawah warga kini dalam kondisi rusak. Ada yang tak bisa ditanami sama sekali.

“Produktivitas lahan setiap tahun semakin menurun. Ada yang sama sekali tak bisa ditanami lagi,” ucapnya.

Salah satunya dialami Anang Ardiansyah, petani berusia lebih dari 50 tahun ini menyebut, sejak tujuh tahun lalu lahannya tak lagi bisa digarap.

“Setelah 7 tahun, lahan tak bisa lagi digarap,” ujarnya lirih.

Tanahnya ditutupi lumpur hitam dan debu batubara. Gangguan hama meningkat. Sekitar 11 borong milik Anang kini jadi lahan mati. Nasib serupa dialami Sudiati (53), tetangganya. Sekadar info, satu borong setara dengan 1/6 hektare lahan.

Beruntung, Anang masih punya sawah cadangan yang jauh dari sumber polusi. Tapi tidak semua petani seberuntung itu.

Rusmiati (41), janda empat anak, terus bertahan menggarap sawahnya yang hanya 100 meter dari stockpile batubara. Saat ditemui, lahannya sedang menuju panen. Namun air dan tanahnya hitam pekat, padi tertutup debu.

Untuk 25 borong lahannya, Rusmiati harus keluar biaya minimal Rp5 juta per musim tanam. Kursani, petani lain, menyebut kehidupan mereka makin sulit.

“Kalau perusahaan dilindungi negara, harusnya kami juga dilindungi sebagai masyarakat,” katanya.

Para petani kini kompak menuntut ganti untung, yaitu meminta perusahaan membeli atau membebaskan lahan terdampak. Uang hasil ganti untung akan dipakai membeli lahan baru yang aman untuk bertani.

Kesehatan Juga Terancam

Tugboat menarik tongkang bermuatan batubara PT Antang Gunung Meratus di Kanal Lokbuntar, Selasa (20/5/2025). Foto : Apakabar.co.id/Fauzi Fadilah

Permukiman warga di RT 09 dan RT 10 Desa Suato Tatakan tak kalah memprihatinkan. Debu batubara beterbangan, masuk sumur, menempel di rumah, bahkan sampai ke meja makan. Jarak ke stockpile hanya sekitar 300 meter.

Budi (34) dan Dewi (36), orang tua dua anak kecil, merasa waswas. Anak-anak mereka kerap batuk.

“Kalau gejala batuk ada hampir tiap hari. Kalau orang baru ke sini mungkin tak tahan dada,” ujar Budi.

Pemeriksaan kesehatan dari pemerintah atau perusahaan belum pernah ada. Pemeriksaan anak mereka sebatas di Posyandu, itu pun tidak menyeluruh.

“Gak pernah ada pemeriksaan kesehatan dari perusahaan,” tegas Dewi.

Warga tak minta uang. Mereka hanya ingin hidup sehat, jauh dari ancaman polusi.

Perjuangan dan Harapan

Seorang petani membawa lumpur yang mengendap di lahan pertanian di kawasan operasional PT Antang Gunung Meratus saat rapat dengar pendapat di DPRD Tapin, Rabu (30/4/2025). Foto : Apakabar.co.id/Fauzi Fadilah

Kepala Desa Fahmi Sadikin sudah berulang kali menyuarakan keluhan warga. Aduan dikirim ke Polsek Tapin Selatan (31 April 2024), Polres Tapin (1 April 2024), dan Dinas Lingkungan Hidup (3 Juli 2024). Nihil.

Harapan baru muncul saat Ketua DPRD Tapin Achmad Riduan Syah menggelar RDP (rapat) pada 30 April 2025. Seminggu kemudian, ia turun langsung ke lokasi bersama pejabat kabupaten.

Menariknya, sehari sebelum kunjungan DPRD, lokasi hauling dan stockpile tampak “dibersihkan”. Jalan disiram, parit dikeruk, pohon ditanam. Namun saat media datang sebelumnya, situasi jauh berbeda; debu pekat beterbangan, parit dangkal penuh lumpur.

Usai kunjungan, Ketua DPRD Tapin tak menutup mata.

“Kita melihat langsung dampaknya. Sangat berkesuaian dengan laporan masyarakat. Dalam artian, bisa dikatakan PT AGM tak profesional,” kata Iwan, sapaan akrabnya.

Ia memberi tenggat satu tahun kepada PT AGM untuk memenuhi seluruh tuntutan warga.

Janji PT AGM

Budi dan Dewi menggendong kedua anaknya di depan rumah yang terdampak debu batubara di lingkungan kerja PT Antang Gunung Meratus di Kabupaten Tapin, Kalimantan Selatan, Kamis (8/5/2025). Foto : Apakabar.co.id/Fauzi Fadilah

Deputy Site Manager PT AGM, Abdurahman, mengaku siap bertanggung jawab. Tak ada bantahan atas temuan di lapangan.

Perusahaan berjanji mengurangi volume di dua stockpile dekat permukiman, meningkatkan pemantauan lingkungan, serta memfasilitasi layanan kesehatan bagi warga terdampak.

Soal tuntutan ganti rugi lahan, PT AGM menyerahkan keputusan ke pemerintah daerah.

“Kita dari pihak PT AGM akan mengikuti saja sesuai hasil keputusan bersama,” ujar Abdurahman.

Bukan Hanya AGM

Sekelompok ibu-ibu berada di depan kantor operasional PT MMI di Desa Rantau Bakula, Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan, Kamis (23/5/2025). Foto Walhi Kalsel

Konflik sosial akibat bisnis tambang batubara terus berulang di Kalimantan Selatan. Tak hanya antara PT Antang Gunung Meratus (AGM) dengan warga Suato Tatakan, Tapin.

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalsel menyoroti pola serupa juga terjadi di Desa Rantau Bakula, Kabupaten Banjar, yang kini berhadapan dengan PT Merge Mining Industri (MMI).

Walhi melayangkan notifikasi terbuka kepada Menteri Lingkungan Hidup Hanif Faisol Nurofiq, meminta agar persoalan tambang batubara di Kalsel dilihat secara menyeluruh.

“Terkait dengan apa yang terjadi di Desa Suato Tatakan ini kisah abadi yang tak pernah ada akhir. Investasi batubara akan selalu menimbulkan jejak, baik dampak lingkungan yang sudah pasti maupun dampak sosio ekologis,” kata Direktur Walhi Kalsel, Raden Rafiq, Jumat (24/5).

Raden mencontohkan 28 kepala keluarga di RT 4 RW 2 Desa Rantau Bakula yang mengaku terpapar pencemaran udara, air, dan kebisingan dari arah perusahaan.

PT MMI merupakan perusahaan tambang batubara bawah tanah asal Cina dengan skema Penanaman Modal Asing (PMA), mengantongi izin operasi produksi sejak 2016 seluas 1.170 hektar. Eksplorasinya bahkan sudah berlangsung sejak 1990-an.

Warga menyebut perusahaan menunjukkan watak aslinya melalui pencemaran, intimidasi, hingga kriminalisasi.

Debu berwarna hitam mengendap di meja makan dalam rumah warga di kawasan area kerja PT Antang Gunung Meratus di Desa Suato Tatakan, Kabupaten Tapin, Kalimantan Selatan. (11/5/2025). Foto : Apakabar.co.id/Fauzi Fadilah

Salah satunya menimpa Sumardi (64), petani yang divonis bersalah karena mempertahankan kebun yang hampir panen. Ia dihukum penjara tiga bulan dengan masa percobaan lima bulan.

“Kami transmigrasi sejak 1991. Sebelumnya merasa aman, tetapi sejak datang PT MMI kami mulai merasakan dampak,” kata Mariadi, warga Rantau Bakula.

Februari lalu, warga mengadu ke DPRD Kalsel. Rapat digelar dan tim penyelesaian masalah dibentuk dengan melibatkan PT MMI, Dinas ESDM, DLH, Dirjen Minerba, hingga Pemkab Banjar. Namun warga menilai tim itu hanya formalitas. Hingga kini tak ada tindakan nyata di lapangan.

“Nihil. Omong kosong. Semua entitas negara mandek,” ujar warga. Aktivitas tambang masih berjalan, dan desa tetap terpapar pencemaran.

Menurut Raden, pola konflik di lingkar tambang selalu mirip. Perusahaan masuk, persetujuan lingkungan digodok elite, produksi dimulai, sebagian warga terkena dampak, muncul konflik lahan, konflik horizontal, dan pada akhirnya aparat atau preman dikerahkan.

“Kira-kira begitu pola yang terjadi di setiap ada investasi tambang masuk. Bahkan polanya bisa lebih seram daripada itu,” ucapnya.

Walhi menyebut Kalsel sangat rentan terhadap bencana ekologis karena dominasi tambang. Luas Izin Usaha Pertambangan (IUP) batubara di Kalsel mencapai 966.357 hektare, belum termasuk IUP mineral dan batuan lainnya.

Negara, kata Raden, tak bisa lepas tangan karena konflik ini lahir dari izin yang diberikan negara.

“Konfliknya pun harusnya diresolusi oleh negara yang mendapat mandat untuk melindungi hak warga baik secara individu maupun komunal. Ini juga mandat konstitusi,” lanjut Raden.

Walhi mendesak Menteri LH Hanif Faisol, mantan Kadishut Kalsel 2016–2020, agar bertanggung jawab secara moral dan politik.

“Tentunya beliau tahu betul dinamika dan bagaimana kondisi ruang hidup di Kalsel serta seperti apa implikasinya terhadap lingkungan hidup. Selain tanggung jawab sebagai pemimpin tinggi lembaga negara, seharusnya beliau punya tanggung jawab moral terhadap Kalsel,” tegas Raden.

Karena penegakan hukum tak terasa, Walhi menyarankan alternatif lain: peraturan menteri baru, pembentukan komisi pemberantasan kejahatan lingkungan, atau pengadilan lingkungan hidup.

Negara tidak boleh diam ketika dua desa sudah bersuara, tapi perusahaan tetap melenggang.

338 kali dilihat, 338 kunjungan hari ini
Editor: Raikhul Amar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *