Oleh: Syafruddin Karimi*
Perekonomian global sedang berada dalam pusaran ketidakpastian struktural yang mengguncang banyak negara, termasuk Indonesia. Ketika Menteri Keuangan Sri Mulyani menyatakan bahwa kekacauan dunia telah berdampak nyata terhadap perekonomian nasional.
Pengakuan tersebut harus dibaca lebih dalam: dunia tengah berada dalam fase kritis kapitalisme lanjut yang sarat kontradiksi dan ketimpangan.
Pertumbuhan yang melambat, investasi yang stagnan, dan tekanan fiskal yang membesar adalah gejala sistemik dari ketidakseimbangan global yang terakumulasi selama dekade terakhir.
Kapitalisme Bukan Sistem Stabil
Kapitalisme, seperti yang dikemukakan oleh Ernest Mandel (1975), bukanlah sistem ekonomi yang berkembang secara linear dan stabil, melainkan melalui siklus ledakan dan krisis yang tak terelakkan.
Ketika Indonesia hanya mencatat pertumbuhan ekonomi 4,87% dan investasi melemah menjadi 2,12% pada kuartal pertama 2025, itu bukan sekadar akibat perang atau proteksionisme global, melainkan akibat dari sistem yang mengalami kejenuhan dalam akumulasi modal.
David Harvey (2010) menjelaskan bahwa kapitalisme memerlukan ekspansi konstan untuk menghindari stagnasi. Ketika ekspansi tersebut terhambat oleh ketegangan geopolitik, fragmentasi pasar, atau penurunan konsumsi global, maka sistem akan menciptakan krisis baru untuk memulihkan dirinya.
Kota dan Negara Jadi Instrumen Akumulasi
Dalam buku Rebel Cities, Harvey (2012) menekankan bahwa kota, ruang, dan kebijakan publik sering dikendalikan untuk menyerap surplus modal. Kita melihat bagaimana negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, menawarkan insentif dan kemudahan investasi kepada modal asing, meskipun konsekuensinya adalah eksploitasi sumber daya alam, tenaga kerja murah, dan ketimpangan spasial yang semakin lebar.
Negara pun tidak netral dalam proses ini. Harvey (2005) menunjukkan bahwa negara modern telah menjadi penyedia infrastruktur bagi keberlanjutan akumulasi modal, bukan lagi sebagai pelindung kesejahteraan publik.
Kebijakan fiskal yang menekankan disiplin anggaran sering kali mengorbankan belanja sosial demi menjaga persepsi pasar dan lembaga pemeringkat internasional.
Mencari Jalan Keluar dari Ketergantungan
Kondisi carut-marut ini tidak akan terselesaikan dengan kebijakan kosmetik. Dibutuhkan keberanian politik untuk menata ulang orientasi ekonomi nasional. Mandel (1975) menegaskan bahwa kapitalisme akhir ditandai oleh dominasi modal finansial dan korporasi multinasional, yang tidak memiliki loyalitas teritorial.
Dalam konteks ini, negara seperti Indonesia perlu mengurangi ketergantungan pada investasi spekulatif dan mengembangkan basis produksi dalam negeri yang lebih egaliter dan berkelanjutan.
Investasi dalam sektor rakyat seperti pertanian, koperasi, dan energi terbarukan harus menjadi prioritas. Pemerintah juga perlu memperluas ruang demokrasi ekonomi, memungkinkan masyarakat terlibat dalam proses perencanaan dan pengambilan keputusan ekonomi, bukan hanya menjadi objek pembangunan.
Menuju Kesadaran Kolektif
Ekonomi yang carut-marut adalah panggilan untuk menata ulang sistem dari akar. Masyarakat tidak boleh sekadar menunggu solusi dari atas. Dalam The Enigma of Capital, Harvey (2010) mengingatkan bahwa krisis bukan hanya tentang modal dan angka, tetapi tentang relasi kekuasaan.
Untuk mengatasi krisis secara bermakna, kita harus mempertanyakan siapa yang diuntungkan dari setiap kebijakan ekonomi, dan siapa yang menanggung bebannya.
Kesadaran ini harus menjadi dasar dari gerakan kolektif yang memperjuangkan transformasi struktural. Bukan sekadar untuk keluar dari resesi, melainkan untuk menciptakan tatanan ekonomi yang berpihak kepada kehidupan, bukan akumulasi tanpa batas.
*) Guru Besar Departemen Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Andalas