apakabar.co.id, JAKARTA – Penanganan kasus pencabulan di salah satu pondok pesantren (ponpes) di Kecamatan Tenggarong Seberang, Kutai Kartanegara (Kukar), Kalimantan Timur, kembali menuai sorotan.
Setelah polisi menetapkan MA sebagai tersangka, korban justru diduga mengalami intimidasi dari oknum yang disebut masih memiliki keterkaitan dengan pihak pesantren.
Dugaan ini diungkap Unit Tim Reaksi Cepat (TRC) Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Kaltim dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama Komisi IV DPRD Kukar pada Selasa (19/8/2025).
Intimidasi: dari WhatsApp hingga pemantauan rumah
Ketua TRC PPA Kaltim, Rina Zainun, menjelaskan intimidasi berlangsung melalui pesan WhatsApp hingga pengawasan langsung ke rumah korban.
“Dalam chat, oknum itu mengirim ancaman ‘mati saja kau’, lalu menanyakan alamat rumah. Bahkan ada yang mondar-mandir di depan rumah korban,” ungkap Rina.
Aksi itu, katanya, membuat keluarga korban hidup dalam ketakutan. TRC menduga, oknum pelaku intimidasi masih memiliki hubungan dengan lingkungan pesantren. “Tekanan ini jelas upaya membungkam korban,” tegas Rina.
TRC PPA: Korban akan mendapat perlindungan penuh
TRC PPA Kaltim memastikan korban tidak dibiarkan menghadapi ancaman seorang diri. Intimidasi ini juga telah dilaporkan kepada pihak kepolisian.
“Kami harus pastikan keamanan korban. Tidak boleh ada pihak mana pun yang mencoba menekan, apalagi sampai menyentuh fisik mereka,” ujar Rina.
TRC menegaskan akan terus mendampingi korban hingga kasus pencabulan benar-benar tuntas di pengadilan.
Catatan lama: Dugaan pencabulan sejak 2011
Kuasa Hukum TRC PPA Kaltim, Sudirman, menyebut penanganan kasus ini meninggalkan catatan kelemahan. Pada 2021, salah satu korban sudah pernah melapor. Namun, lantaran kesulitan pembuktian, proses penyelidikan terhenti begitu saja.
Selain itu, seorang alumni ponpes angkatan 2007 juga mengaku pernah menjadi korban pencabulan ketika masih santriwati. Meski begitu, pelaku dalam kasus tersebut berbeda dengan MA yang kini ditahan.
“Identitas pelaku sudah kami sampaikan kepada polisi. Harapan kami, penyelidikan tidak berhenti pada satu tersangka, tapi benar-benar menyingkap tabir praktik lama yang selama ini tertutup,” jelas Sudirman.
Harapan korban dan desakan publik
Kasus ini kini bukan hanya persoalan hukum, melainkan juga menyangkut keberanian korban untuk mencari keadilan. Publik menilai, aparat penegak hukum harus serius melindungi korban dan menindak setiap bentuk intimidasi yang muncul.
Dengan adanya pendampingan dari TRC PPA Kaltim, korban diharapkan bisa lebih terlindungi, sementara proses hukum berjalan transparan.
Sorotan kini tertuju pada komitmen aparat kepolisian dan pemerintah daerah untuk memastikan tidak ada lagi praktik kekerasan seksual yang tertutup rapat di balik dinding lembaga pendidikan.