apakabar.co.id, JAKARTA – Aliansi Rakyat untuk Keadilan Iklim (ARUKI) mengungkapkan Indonesia Climate Justice Summit (ICJS) merupakan tonggak penting bagi perjuangan keadilan iklim di Indonesia.
Forum ini akan dibuka dengan pernyataan dari delapan subjek rentan yang akan menyampaikan langsung atas dampak krisis iklim. ARUKI menekankan bahwa krisis iklim bukanlah persoalan teknis, melainkan persoalan politik.
“Krisis iklim hari ini bukan sekadar soal cuaca atau banjir. Persoalan ini adalah soal politik, sejauh mana negara hadir menjalankan tanggung jawab konstitusionalnya untuk memastikan bumi dan rakyatnya keluar dari masalah,” ujar Torry Kuswardono, Yayasan PIKUL dalam keterangan tertulis di Jakarta, Selasa (26/8).
Baca juga: Indonesia Net-Zero Summit 2025: Generasi Muda Dorong Aksi Iklim Nyata
Raynaldo Sembiring dari Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) mengatakan ICJS lahir dari keresahan rakyat atas kegagalan negara menangani krisis iklim. RUU Keadilan Iklim yang diinisiasi masyarakat sipil akan menjadi agenda utama dalam forum ini.
Karena itu, ARUKI mengundang DPR untuk berdiskusi, karena sebagai ‘wakil rakyat’ mereka berkewajiban mengakomodasi aspirasi publik dalam setiap pembahasan kebijakan.
“RUU Keadilan Iklim adalah kebutuhan mendesak. Tanpa payung hukum yang jelas, masyarakat dan sumber daya alam Indonesia akan terus menjadi korban. RUU ini hadir sebagai satu-satunya harapan untuk melindungi hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat,” jelasnya.
Baca juga: Nada untuk Bumi: Musisi Indonesia Bersatu Hadapi Krisis Iklim
Sementara itu, Armayanti Susanti dari Solidaritas Perempuan mengungkapkan ICJS menjadi ruang penting bagi suara perempuan yang selama ini terpinggirkan dalam kebijakan pembangunan. Krisis iklim telah memperberat beban mereka, dari hilangnya akses air bersih hingga meningkatnya risiko kekerasan.
“Karena itu, kebijakan ke depan harus memastikan perlindungan dan partisipasi penuh perempuan,” paparnya.
Erwin Suryana dari Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) mengatakan krisis membuat nelayan kehilangan hasil tangkap dan terancam keselamatannya di laut.
“Lebih berat lagi, proyek-proyek pembangunan di pesisir justru menggusur ruang hidup kami. Jika suara nelayan terus diabaikan, maka kami akan selalu jadi korban, baik di laut maupun di darat,” pungkasnya.