May Day 2024, AJI: Bebaskan Jurnalis Indonesia dari Eksploitasi

AJI meyerukan buruh media untuk membentuk serikat pekerja di perusahaan media atau lintas perusahaan media sebagai upaya menaikkan posisi tawar untuk menghentikan berbagai eksploitasi terhadap buruh media. Foto: AJI Jakarta

apakabar.co.id, JAKARTA – Aliansi Jurnalis Independen (AJI) meyerukan buruh media untuk membentuk serikat pekerja di perusahaan media atau lintas perusahaan media sebagai upaya menaikkan posisi tawar untuk menghentikan berbagai eksploitasi terhadap buruh media. Hal itu menjadi salah satu seruan AJI di momen Hari Buruh (May Day) tahun ini.

Desakan itu imbas dari banyaknya buruh media di berbagai wilayah yang masih dieksploitasi oleh perusahaan media. Hal itu juga sejalan dengan riset AJI pada Februari-April 2023 yang mencatat, hampir 50 persen upah jurnalis masih di bawah upah minimum.

“Bahkan belasan persen lainnya menyatakan upah mereka tidak menentu atau mendapat upah dari komisi iklan,” ujar Edi Faesol, Ketua Bidang Ketenagakerjaan AJI Indonesia dalam keterangannya di Jakarta, Rabu (1/5).

Riset AJI yang melibatkan 428 jurnalis di berbagai daerah itu menemukan adanya akal-akalan perusahaan dalam perjanjian kerja. Sebanyak 52,6 persen jurnalis jurnalis memiliki hubungan kerja waktu tertentu atau kontrak dan 11,2 persen perjanjian kerja waktu tidak tertentu atau tetap. Namun, jurnalis dengan status pekerja tetap tersebut tidak mendapat upah bulanan, melainkan mendapatkan upah berdasarkan satuan hasil atau jumlah berita yang tayang.

“Artinya hak mereka tidak berbeda dengan jurnalis atau pekerja kontrak,” kata Edi.

Riset AJI juga menunjukkan penghormatan dan perlindungan terhadap hak perempuan masih sangat rendah. Hanya ada 11,2 persen perempuan yang mendapat hak cuti dengan upah dibayarkan ketika haid pada hari pertama dan kedua. Ketika melahirkan, sebagian jurnalis perempuan menyebutkan tidak bekerja dan tidak mendapat upah.

“Tapi ada pula perusahaan media yang meminta perempuan tidak bekerja saat melahirkan,” paparnya.

Belum lagi gelombang PHK yang dialami ribuan buruh media sejak pandemi Covid-19 hingga 2024 ini. Ironisnya, media yang kerap mengkritik Undang-Undang Cipta Kerja dan peraturan turunannya yang merugikan buruh media, justru menggunakan undang-undang tersebut untuk  melakukan PHK. Akibatnya PHK terhadap buruh media mudah dilakukan perusahaan media dengan nilai pesangonnya jauh lebih rendah dibandingkan dengan Undang-Undang Ketenagakerjaan.

“Buruh media juga tidak berdaya menghadapi PHK, pemotongan upah, dan berbagai kasus ketenagakerjaan lainnya,” terang Edi.

Di sisi lain, tidak banyak buruh media yang mengalami PHK atau kasus ketenagakerjaan mau memperjuangkan hak-hak mereka untuk mendapat pesangon, uang pisah, atau uang penghargaan. Ini terlihat dari jumlah korban yang melapor ke lembaga bantuan hukum seperti LBH Pers.

Hal lainnya, buruh media ternyata tidak memiliki wadah untuk berjuang. Data federasi serikat pekerja media (FSPM) Independen pada 2015 menemukan ada 40 serikat pekerja media di Indonesia. Namun, tidak banyak serikat pekerja media yang aktif. Hanya sebagian yang masih menggelar rapat pengurus secara rutin, penarikan iuran anggotanya tidak berjalan, dan tidak memiliki sekretariat.

“Akibatnya serikat-serikat ini pada umumnya aktif ketika terjadi PHK atau sengketa ketenagakerjaan di perusahaan media,” tutur Edi.

Sejauh ini, jenis serikat pekerja media yang ada di Tanah Air adalah serikat pekerja lintas perusahaan. Contohnya Serikat Pekerja Lintas Media (SPLM) di Jawa Timur, SPLM Jakarta, SPLM Jawa Tengah, dan SPLM Lampung. Namun kendalanya, serikat lintas perusahaan ini tidak bisa mewakili anggotanya untuk berunding membuat Perjanjian Kerja Bersama (PKB). Mereka hanya bisa mendampingi ketika terjadi persoalan di tingkat hulu seperti PHK, pemotongan gaji dan semacamnya.

Dengan kondisi demikian, AJI Indonesia menyerukan pembentukan serikat pekerja sebagai upaya menaikkan posisi tawar untuk menghentikan berbagai eksploitasi terhadap buruh media.

“Selain itu, negara harus menjamin kebebasan berserikat buruh media dengan mengakui serikat lintas perusahaan sehingga bisa mewakili anggotanya dalam membuat Perjanjian Kerja Bersama,” ujar Edi.

Dewan Pers dan pemerintah, kata Edi, perlu memastikan eksploitasi buruh media dihentikan dengan segera dan memastikan hak normatif buruh media dipenuhi perusahaan media. Mulai dari soal upah layak, asuransi dan dilindungi keselamatan kerjanya.

“Normalisasi praktik buruk di media hanya akan merusak demokrasi karena buruh media tidak dapat bekerja secara profesional dan tidak bisa menghasilkan karya jurnalistik yang berkualitas,” terangnya.

Perusahaan media, menurut Edi, harus menghentikan eksploitasi terhadap buruhnya dan memenuhi hak-hak buruh perempuan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Peraturan Dewan Pers tentang Standar Perusahaan Pers juga mengamanatkan agar perusahaan pers memberikan kesejahteraan kepada jurnalis dan pekerjanya.

“Ini artinya perusahaan yang masih mengeksploitasi buruh media berarti tidak memenuhi standar Dewan Pers,” jelas Edi.

Terakhir, AJI menuntut Pemerintah dan DPR segera mencabut Undang-Undang Cipta Kerja dan Peraturan turunannya. “Karena terbukti merugikan buruh media dan buruh pada umumnya,” pungkasnya.

1,227 kali dilihat, 1 kunjungan hari ini
Editor: Jekson Simanjuntak

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *