Rugikan Pekerja, Jamkeswatch Tolak Kebijakan Kelas Rawat Inap Standar (KRIS)

Pasca di tandatanganinya Peraturan Presiden No. 59 Tahun 2004 tentang Jaminan Kesehatan, banyak kritik dan penolakan dari elemen masyarakat terkait pengaturan Kelas Rawat Inap Standar (KRIS). Foto: Jamkeswatch

apakabar.co.id, JAKARTA – Jamkeswatch secara tegas menolak pemberlakuan Kelas Rawat Inap Standar (KRIS) di rumah sakit bagi peserta BPJS Kesehatan. Pasalnya, peraturan tentang KRIS akan membuat pelayanan kesehatan bagi masyarakat peserta BPJS Kesehatan bukannya semakin baik, namun sebaliknya akan semakin memburuk.

“Pemerintah harusnya sadar bahwa selama ini pelayanan kesehatan di rumah sakit masih banyak peserta JKN KIS merasakan kesulitan untuk mendapatkan layanan kesehatan yang laik, karena program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) masih banyak carut marut dalam implementasinya.” Kata Daryus, selaku Direktur Eksekutif Jamkeswatch dalam keterangannya, Kamis (30/5).

Pasca ditandatanganinya Peraturan Presiden No. 59 Tahun 2004 tentang Jaminan Kesehatan, pemerintah menerapkan pembatasan kamar rawat inap di rumah sakit milik pemerintah hanya sebesar 60% dan rumah sakit swasta 40%. Hal itu, kata Daryus menjadi pertanyaan besar karena saat ini untuk mendapatkan kamar rawat inap di rumah sakit pemerintah maupun swasta peserta JKN KIS masih sangat sulit,

“Bagaimana mungkin  sedangkan  kita memiliki keterbatasan fasilitas kamar rawat inap, mengingat lebih dari 90% masyarakat yang berobat menggunakan jaminan Kartu Indonesia Sehat (KIS) atau yang lebih kita kenal BPJS Kesehatan.” ujar Daryus.

Dengan pembatasan kamar rawat inap untuk pasien BPJS Kesehatan di rumah sakit, hal itu membuka potensi terjadinya transaksi bisnis yang akan dilakukan oleh pihak rumah sakit kepada pasien.  “Caranya dengan penawaran top up biaya untuk bisa mendapatkan fasilitas rawat inap, dengan alasan kamar rawat inap untuk peserta BPJS sudah penuh.” imbuh Daryus.

Selain itu Daryus juga khawatir dengan adanya aturan satu kelas rawat inap standar. Nantinya pemerintah akan menggunakan satu tarif, semisal menggunakan tarif tengah sebesar Rp. 100.000 perjiwa, akan memberatkan peserta BPJS Kesehatan yang selama ini terdaftar sebagai peserta kelas tiga dengan iuran Rp35.000 perjiwa karena mengalami kenaikan.

“Bahkan lebih bahaya lagi apabila pemerintah daerah ikut menghentikan program UHC bagi masyarakat karena ketidakmampuan APBD nya menanggung biaya kesehatan bagi masyarakatnya jika terjdi kenaikan iuran,” ujarnya

Senada, Sekretaris Eksekutif Jamkeswatch Abdul Gofur juga mengkhawatirkan penerapan satu kelas kamar rawat inap standar akan merugikan kaum pekerja yang selama ini tertib membayar iuran sebesar 5% dari upahnya bersama pengusaha.

Ketika pekerja mengalami sakit, mereka akan kesulitan mendapatkan kamar karena keterbatasan kamar rawat inap di rumah sakit. Hal itu, kata Gofur, akan memaksa pekerja dan perusahaan bekerja sama dengan pihak asuransi swasta agar bisa mendapatkan pelayanan diluar kelas rawat inap standar BPJS.

“Lagi-lagi yang diuntungkan pengusaha asuransi swasta,” tegasnya.

Gofur juga menyampaikan bahwa banyak pengusaha rumah sakit yang berkeberatan dengan pengaturan kelas rawat inap standar (KRIS), karena akan mengeluarkan biaya yang lebih besar untuk merenovasi semua fasilitas kamar rawat inapnya agar sesuai dengan kriteria KRIS. Pekerja rumah sakit juga khawatir biaya renovasi tersebut akan mengurangi anggaran kesejahteraan pekerja, bahkan pada kondisi terburuk akan terjadi Pemutusan Hubungan Kerja(PHK) tehadap pekerja, karena ketidak mampuan finansial.

“Adil itu bukan sama rata, tetapi proporsional sesuai dengan azas pendirian BPJS diawal, yaitu ‘Gotong Royong’, sesuai kemampuan dan saling menopang, yang mampu membayar lebih untuk menutupi biaya masyarakat yang tidak mampu dengan iuran yang terjangkau.” papar Gofur

Karena itu, Jamkeswatch sebagai pengawas jaminan kesehatan secara tegas menolak diberlakukannya KRIS. “Jika perlu akan mengerahkan aksi besar bersama seluruh pekerja, masyarakat, dan mahasiswa, apabila pemerintah tetap memaksakan pemberlakuan KRIS,” tutup Daryus.

4,211 kali dilihat, 1 kunjungan hari ini
Editor: Jekson Simanjuntak

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *