Kebut Mundur Sertifikasi Halal UMKM

Jauh dari target, ditengarai menjadi penyebab mundurnya kewajiban sertifikasi halal UMKM.

Pelaku UMKM di Kota Kendari memperlihatkan produknya yang sudah memiliki sertifikasi/label halal. Foto: ANTARA

apakabar.co.id, JAKARTA – Pemerintah memutuskan pemberlakuan kewajiban sertifikasi halal bagi usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) diundur hingga 17 Oktober 2026.

Sebelumnya, PP 39 Tahun 2021 mensyaratkan kewajiban sertifikasi halal bagi produk makanan, minuman, hasil sembelihan dan jasa penyembelihan selesai pada 17 Oktober 2024.

Lantas bagaimana kondisi sertifikasi halal di kalangan UMKM saat ini?

Pemilik Rumah Potong Hewan (RPH) Sinar Mulya Iwul, Sukirman (53), mengaku tempat usahanya sudah mengantongi sertifikasi halal sejak dua tahun lalu. RPH miliknya mampu menampung 130 ekor sapi Bali dan sapi Madura sekaligus.

“Sebenarnya sertifikat halal itu gampang mudah tergantung kemauan dan niat,” ujarnya kepada apakabar.co.id saat ditemui di RPH miliknya di Desa Iwul, Kecamatan Parung, Kabupaten Bogor, dikutip Minggu (19/5).

Proses verifikasi sertifikasi halal yang harus dilalui, di antaranya terkait penyediaan fasilitas sarana prasarana secara fisik.

Berdasarkan pantauan di lokasi, RPH milik Sukirman menyediakan ruang penyembelihan yang di dalamnya terdapat lorong besi selebar kurang lebih 1,5 meter. Lorong tersebut terhubung langsung dengan kandang. Selanjutnya, sapi yang akan disembelih akan melalui lorong tersebut.

Masih di ruangan yang sama, tepatnya di sisi kanan terdapat bilik ruangan seperti area timbangan karkas, pencucian perutan, hingga area kepala, kaki dan kulit.

Sementara di ruangan bagian luar terdapat ruang karkas, berisi puluhan besi yang menyerupai ujung pancing. Ruangan itu digunakan untuk menggantung hasil potongan sapi yang sudah disembelih.

Pemilik Rumah Potong Hewan (RPH) Sinar Mulya Iwul, Sukirman. Foto: apakabar.co.id/Kindy

Kemudian yang perlu diperhatikan, kata Sukirman, ketersediaan peralatan yang akan digunakan haruslah tajam. Semakin tajam pisau, membuat sapi yang disembelih terhindar dari penderitaan rasa sakit saat proses penyembelihan.

“Selanjutnya, tak kalah penting yaitu SDM penyembelih,” paparnya.

Sukirman menyebut karyawan yang bertugas di bagian tersebut sebagai juru sembelih halal (Juleha). Sederet prasyarat ia terapkan bagi karyawan di bagian ini. Paling utama muslim, aktif salat, dan wajib mendoakan sebelum sapi disembelih.

Nawaitu An Adzbahu Haadzal Baqarata Lillahi Ta’ala,” tulis doa menyembelih hewan seperti yang terpampang di tembok ruang penyembelihan.

“Ada pelatihan khusus juru sembelih halal dengan mengajak kerja sama dinas terkait,” ujarnya.

Sertifikasi halal daging hasil sembelihan RPH Sinar Mulya Iwul, terang Sukirman, selama ini memberikan dampak kepercayaan secara bisnis ketika berhadapan dengan rumah sakit dan supermarket.

Sayangnya, berdasarkan pengamatan Sukirman, hasil sembelihan non sertifikasi halal masih beredar di pasar tradisional. Kondisi tersebut tidak menjadi perhatian lebih bagi pedagang daging sapi di pasar tradisional.

“Secara bisnis hasil sembelihan dengan cara halal tidak berpengaruh banyak di pasar tradisional,” tegasnya.

Berbeda dengan Sukirman, pedagang kuliner mie ayam dan bakso Wonogiri, Adias Cahya Galuh Pratama (17) mengakui baru pertama kali mendengar kewajiban sertifikasi halal bagi UMKM.

Usaha kuliner yang beralamat di Desa Nanggerang, Kecamatan Tajurhalang, Kabupaten Bogor tersebut mulai digeluti Adias sejak tahun 2020. Tepat saat Indonesia dilanda pandemi COVID-19.

Adias mengungkap alasan sertifikasi halal belum dikantongi lantaran tidak adanya sosialisasi yang masif dari pemerintah. Meski begitu, ia mengaku tertarik untuk mendaftar ikut sertifikasi halal untuk bisnis kuliner miliknya.

“Tertarik, karena ingin memberikan kepercayaan kepada konsumen,” jelasnya.

Minim Literasi

Kepala Unit Halal PT Sucofindo Agus Suryanto menerangkan kendala sertifikasi halal di kalangan UMKM selama ini terkait masih minimnya literasi. Kondisi tersebut dipengaruhi oleh pelaku UMKM yang disibukkan berjualan tanpa mencari tahu tata cara sertifikasi halal.

Kemudian pelaku UMKM yang sebagian besar kalangan ibu-ibu, mayoritas tidak mengetahui cara pendaftaran di Si Halal. Padahal aplikasi tersebut disediakan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal Kementerian Agama (BPJPH Kemenag).

Kendala lainnya, ujar Agus, disebabkan karena persoalan biaya. Ketentuan itu sudah diatur di Keputusan Kepala BPJPH Nomor 141 Tahun 2021 dan perubahannya. Untuk usaha mikro dan kecil biaya sertifikasi halal hingga selesai sebesar Rp2-3 juta.

Biaya tersebut tidak dikenakan bila pelaku usaha mikro kecil melakukan pernyataan diri (self declaire). Biaya kemudian akan ditanggung oleh fasilitator baik dari negara maupun dari perusahaan.

“Untuk usaha menengah dan besar kita asumsikan kurang dari Rp10 juta,” ujarnya saat ditemui apakabar.co.id di ruangan kerjanya di Gedung Sucofindo.

Meski dari aspek pembiayaan, sangat terbuka tanpa mengeluarkan biaya beserta pendampingan, namun menurut Agus, secara komitmen masih ada UMKM yang lambat menyelesaikan tahapan proses sertifikasi halal.

Kepala Unit Halal PT Sucofindo, Agus Suryanto. Foto: apakabar.co.id/Kindy

Menyikapi kendala sertifikasi halal untuk UMKM, Sucofindo selaku salah satu Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) telah melakukan sosialisasi melalui webinar dengan menggandeng sejumlah lembaga dan perbankan.

Sucofindo, kata Agus, juga turut membangun komunikasi dengan sejumlah asosiasi makanan dan minuman, jasa boga, perhotelan, jasa dan importir. Hal itu dilakukan agar memperluas informasi mengenai pentingnya pemberlakuan sertifikasi halal.

“Kita juga kirimkan email marketing dan surat secara fisik ke pelaku usaha. Termasuk menggunakan medsos untuk memberikan edukasi mengenai informasi fasilitas sertifikasi halal,” terangnya.

Semua itu, semata-mata untuk mempermudah pelaku UMKM dalam mendapatkan sertifikasi halal. Dengan demikian, aneka produk yang ditawarkan, sudah terjamin kualitasnya.

“Selanjutnya agar dipermudah saja prosesnya untuk UMKM. Setiap orang punya usaha pasti ingin membuat sertifikasi halal,” tandasnya.

Pedagang Butuh Sertifikasi

Seorang warga Bogor, Purwanto (58), mengaku setuju dengan pemberlakuan sertifikasi halal di kalangan UMKM. Sebab, selama ini semakin menjamur usaha rumahan yang bergerak di sektor makanan dan minuman.

Dengan sertifikasi halal, menurut Purwanto, akan memberikan kepercayaan kepada konsumen. Sehingga akan turut meningkatkan penghasilan para pelaku UMKM tersebut.

Hal serupa diamini Adi (45). Ia menilai sertifikasi halal di kalangan UMKM turut memberikan keamanan dan kenyamanan bagi konsumen yang akan mengonsumsi produk UMKM tersebut.

Hal itu, menurutnya, perlu didorong dengan regulasi yang dapat dimengerti dan dilaksanakan pelaku UMKM. Dengan begitu, akan turut menarik perhatian pelaku UMKM agar mau mengurus sertifikasi halal untuk produk yang dijualnya.

“Perlu juga sosialisasi ke pelaku UMKM itu sendiri agar mereka mengerti apa saja yang perlu dilakukan,” katanya.

 

Reportase ini merupakan fellowship Mobile Journalism for Newsroom, kolaborasi dari Indonesian Institute of Journalism (IIJ) dengan PT Sucofindo

918 kali dilihat, 1 kunjungan hari ini
Editor: Jekson Simanjuntak

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *