apakabar.co.id, JAKARTA – Bagi sebagian orang, tanaman liar sering dianggap mengganggu dan tidak berguna. Namun di tangan Hayu Dyah Patria, anggapan miring mengenai tanaman liar menjadi sirna. Melalui tangan dinginnya, tanaman liar berubah menjadi sumber pangan alternatif.
Perempuan yang akrab disapa Hayu tersebut berhasil memanfaatkan tanaman liar mangrove menjadi tepung dengan kadar protein tinggi. Bagian buah yang menjadi objek utama bahan penelitiannya yakni mangrove berjenis Bruguiera gymnorhiza.
“Sebenarnya tidak hanya mangrove saja, tapi banyak tumbuhan di sekitar kita yang sebenarnya bisa dimakan, tapi terabaikan dan tidak dimanfaatkan,” katanya kepada apakabar.co.id di Jakarta, Rabu (6/11).
Baca juga: Prabowo Minta Kementerian Kejar Swasembada Pangan dalam 4 Tahun
Penelitiannya tersebut dikerjakannya saat ia menyelesaikan sedang menyelesaikan skripsi. Hayu merupakan seorang Sarjana Pangan dan Gizi lulusan Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya pada 2005 silam.
Dalam proses risetnya tersebut, ia terinspirasi dari aktivitas masyarakat Papua yang memanfaatkan mangrove sebagai makanan pokok selain sagu. Sebelum diolah menjadi makanan pokok, masyarakat Papua merendam buah mangrove dengan air laut selama tiga hari. Adapun bagian yang dimanfaatkan dari buah hingga daun. Tergantung lokasi kebudayaan masyarakat pesisir di Papua.
Perendaman itu dimaksudkan untuk mengurangi kadar tannin di buah mangrove. Tanim merupakan kandungan yang terdapat pada buah pada umumnya. Namun, buah mangrove memiliki kadar tannin yang di atas standar buah pada umumnya.
“Kadar tanim yang terlalu tinggi memungkinkan seseorang yang mengkonsumsinya akan mengalami gangguan pencernaan, seperti efek mual dan muntah,” katanya.
Baca juga: Wamentan Optimis Indonesia Bisa Swasembada Pangan Seperti China
Proses mengurangi kadar tannin dengan cara merendamnya selama tiga hari ini menurut Hayu bagian dari pengetahuan tradisi pangan lokal. Inilah yang kemudian melatarbelakangi Hayu saat ini masih terus menekuni aktivitas mendokumentasikan pengetahuan pangan lokal.
Terancamnya keanekaragaman hayati dan makanan tradisional menjadi alasan utamanya. Terlebih, anak-anak muda saat ini semakin mulai tidak tertarik mengonsumsi makanan tradisional di tempat asalnya.
“Dan yang masih tersisa memiliki pengetahuan itu sekarang adalah orang-orang tua yang kita ingin tangkap pengetahuannya,” jelasnya.
Pengetahuan Tradisi Pangan Lokal
Sudah dua hingga tiga tahun ini Hayu melakukan pendampingan mama-mama di Nusa Tenggara Timur (NTT) bersama Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Mantasa. Sebuah kelompok masyarakat sipil yang didirikan Hayu pada 2009 dengan konsen pada isu ketahanan dan kedaulatan pangan.
Ada tiga lokasi yang menjadi tempatnya meriset soal pengetahuan tradisi pangan lokal di antaranya Kampung Adat Saga di Kabupaten Ende dan Desa Tasi dan Desa Talwai di Kabupaten Alor.
Berdasarkan pengamatan riset bersama teman-temannya di LSM Matansa, di kawasan tersebut terdapat ratusan jenis tananam liar yang berpontesi dapat digunakan menjadi bahan pangan alternatif.
“Tanaman jenis kacang-kacangan di Ende itu sangat kaya sekali keragamannya. Kalau sejauh ini yang sudah kita identifikasi itu ada sekitar 20-30 jenis dan masing-masing mempunyai karakternya masing-masing,” ungkapnya kepada apakabar.co.id.
Tak tinggal diam, Hayu membidik partisipasi para perempuan, khususnya mama-mama untuk terlibat mengerucutkan dari ratusan jenis tanaman liar yang ada menjadi 10 jenis tanaman liar yang diprioritaskan menjadi bahan pangan alternatif.
Semula para mama merasa heran, ada orang bukan warga lokal yang tertarik dan menghargai untuk mendokumentasikan pengetahuan pangan lokal mereka. Kesungguhan Hayu bersama teman-temannya mendapat respons positif.
“Kalau peran laki laki cenderung ke tanaman komoditas seperti cengkeh cokelat dan kopi. Kalau perempuan lebih merangkul keberagaman dan mereka yang penting bisa memenuhi pangan keluarga dan komunitas mereka,” katanya.
Baca juga: Beragam Potensi Pangan Nusantara Terancam Hilang
Selain itu, sejumlah tanaman berjenis serealia seperti juwawut, jali dan sorgum dimanfaatkan untuk ritual adat lokal. Beberapa jenis tanaman di tempatnya meriset, selain lekat dengan kebudayaan pangan juga tidak bisa dipisahkan dengan aspek spiritual.
“Saat kutanyakan ke masyarakat setiap tanaman itu ada resepnya masing-masing. Kebutuhan pangan itu diolah dan dimasak ketika ritual tertentu dan banyak sekali masih kita dokumentasikan,” ujarnya.
Dalam sejarah leluhur masyarakat setempat, tanaman-tanaman liar tersebut sempat tumbuh subur di sekitar pemukiman masyarakat untuk kebutuhan ritual lokal.
Namun, sekarang keberadaannya semakin berkurang. Bahkan untuk mendapatkannya, masyarakat saat ini dapat membelinya di pasar tradisional terdekat.
“Kalau sekarang mereka melakukan ritual terus didapatkan di pasar, lalu siapa yang mereka doakan? Itu menjadi refleksi masyarakat di sana,” katanya.
Kini, keberadaan pengetahuan tradisi pangan lokal mulai tersisih sejak keberadaan proyek food estate dan proyek pembangkit listrik tenaga panas bumi (geothermal) di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT).
Anomali Food Estate
Hayu menuding revolusi hijau yang terjadi sejak era Orde Baru menjadi awal mula terancamnya pengetahuan tradisi pangan lokal. Revolusi hijau biasa disebut sebagai gerakan global yang bertujuan untuk meningkatkan produksi pangan dengan menerapkan teknologi modern di bidang pertanian. Manifestasi revolusi hijau yang paling mencolok hingga saat ini adalah food estate.
Proyek raksasa tersebut cenderung menghasilkan tanaman monokultur seperti padi, singkong, kentang dan lainnya berpeluang menyingkirkan tanaman asli lokal yang keberadaannya sudah ratusan tahun yang tumbuh secara endemik.
“Padahal secara alamiah di bumi ini tumbuhannya beragam dan termasuk pangan kita. Sudah ribuan tahun manusia itu tumbuh bergandengan dengan alam. Termasuk makanan mereka, jadi yang disediakan alam itulah yang dikonsumsi dan berganti setiap musim,” katanya.
Baca juga: Kejar Swasembada Pangan, Mentan Alokasikan Pupuk Subsidi Rp54 Triliun
Hayu juga menyoroti pengalaman kegagalan food estate di sejumlah daerah seperti di Sumatera Utara dan Kalimantan Timur.
Bahkan food estate di Merauke, Papua Selatan dengan mencetak lahan seluas kurang lebih 3 juta hektare juga berpeluang bernasib sama seperti proyek sebelumnya.
Proyek food estate di Merauke, Papua Selatan, kata Hayu, secara langsung turut mengancam keanekaragaman hayati di kawasan tersebut.
“Yang tidak relevan dari food estate selalu mengabaikan budaya lokal. Saya meyakini pangan itu harus beragam dan sumber gizi itu bisa didapatkan dari beragam makanan dan tidak makanan itu-itu saja,” tuturnya.
Pemerintah juga sempat memasukan Papua sebagai daerah merah atau kondisi rawan pangan. Berdasarkan kategori yang dikeluarkan Badan Pangan Nasional (Bapanas), salah satu indikator yang menentukan sebuah daerah rawan pangan adalah dengan mengukur konsumsi beras, jagung, ketela, dan singkong.
Baca juga: Wujudkan Swasembada Pangan, Mentan Siap Kembangkan Padi IPB 9G
Hayu menilai ketegorisasi tersebut tidak relevan dengan kondisi Papua sebagai kawasan yang memiliki keanekaragaman hayati terbesar di dunia.
Hayu mencontohkan tanaman buah pisang yang merupakan pusat keanekaragaman hayati terbesar di dunia. Cita rasa dan bentuknya pun beragam.
“Kategorisasi yang tidak adil itu kemudian menjadi alasan sepihak pemerintah menggelontorkan bahan pangan monokultur seperti beras,” jelasnya.
Pemerintah terus gencar melancarkan pembangunan food estate. Bagi Hayu, situasi tersebut tidak sejalan dengan visi diversifikasi pangan seperti yang diungkapkan Badan Ketahanan Pangan. Lembaga tersebut seringkali mensosialisasikan agar dalam seminggu, satu hari di antaranya tidak makan nasi agar mengurangi ketergantungan dengan beras.
Proyek food estate baik NTT, Papua dan kawasan lainnya memaksa masyarakat lokal untuk menerima bahan pangan yang bersifat monokultur. Jenis pangan yang tidak mengakomodir kearifan pangan lokal masyarakat yang sudah berlangsung ratusan tahun.
Baca juga: Pemerintah Pastikan Stok Pangan Nasional Terpenuhi
Dampaknya, masyarakat lokal semakin ketergantungan pemberian bantuan sembako yang di dalamnya berisi beras dan makanan instan lainnya. Di sisi lain, keanekaragaman hayati dan pengetahuan tradisi pangan lokal semakin terus terpinggirkan keberadaannya.
Pemerintah, imbuh Hayu, seharusnya tidak membuat kategorisasi pangan yang diskriminatif dengan kearifan pangan lokal. Tak sepatutnya juga pemerintah menyetir apa saja yang sebaiknya dikonsumsi masyarakat lokal.
Hayu sesungguhnya menyimpan optimisme, bila potensi tanaman liar dapat dioptimalkan, menurutnya dapat menjadi solusi alternatif untuk menjawab tantangan ketahanan dan kedaulatan pangan di Indonesia. Hal inilah yang masih sering diabaikan.
“Berikan ruang pengakuan dan penghargaan kepada kebudayaan pangan mereka. Bukan berarti mereka tidak makan padi, bukan berarti juga mereka miskin,” pungkasnya.