apakabar.co.id, JAKARTA – Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) menilai pemerintah perlu mengambil langkah strategis untuk mencegah meluasnya pemutusan hubungan kerja (PHK) seperti memberikan insentif kepada industri yang terdampak.
Tak hanya itu, pemerintah juga perlu mendorong diversifikasi produk dan pasar domestik maupun ekspor. Termasuk memperkuat kapasitas tenaga kerja melalui berbagai pelatihan ketenagakerjaan secara profesional.
“Agar lebih adaptif dan responsif terhadap perubahan industri,” kata Head of Center of Macroeconomics and Finance INDEF, M. Rizal Taufikurahman di Jakarta dikutip Selasa (11/3).
Baca juga: Industri Tekstil Megap-Megap, 61 Pabrik Tutup dan PHK
Rizal mencatat, beberapa faktor utama yang menyebabkan PHK industri manufaktur yang terjadi belakangan ini antara lain kebangkrutan perusahaan, restrukturisasi bisnis, biaya produksi yang tidak efisien, dan penurunan permintaan atau pasar.
Misalnya, PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex) dinyatakan pailit, yang berujung pada PHK lebih dari 10.000 pekerja. Kemudian, ada Yamaha Music Product Asia yang menutup pabriknya di Indonesia dan merelokasi produksi ke negara lain.
Selain itu, Rizal juga mencatat bahwa beberapa sektor mengalami penurunan permintaan baik di pasar domestik maupun internasional, sehingga perusahaan terpaksa mengurangi produksi dan jumlah tenaga kerja.
“Meskipun sektor manufaktur secara keseluruhan tumbuh positif, namun kondisi individual perusahaan dapat berbeda akibat karakter bisnis, pasar, dan faktor eksternal seperti perubahan pola konsumsi, persaingan global, hingga kebijakan perdagangan yang mempengaruhi biaya produksi dan kinerja ekspornya,” kata dia.
Baca juga: Menakar Peran Danantara Selamatkan Sritex
Apabila dilihat jangka panjang, ia mengingatkan bahwa tren PHK ini dapat menjadi sinyal peringatan bagi industri manufaktur di Indonesia. Meskipun tidak secara langsung mencerminkan krisis dalam skala besar namun kondisi ini terus menguat.
Jika tidak diantisipasi, maka potensi PHK massal bisa terjadi di industri padat karya. Hal ini akan berdampak pada penurunan daya beli masyarakat dan meningkatnya tingkat pengangguran, yang pada akhirnya dapat menghambat kinerja pertumbuhan ekonomi. Apalagi target pertumbuhan ekonomi yang sangat tinggi.
Di sisi lain, Purchasing Manager’s Index (PMI) manufaktur Indonesia pada Februari 2025 tercatat pada level yang tinggi yakni 53,6, menunjukkan bahwa aktivitas industri secara keseluruhan masih tumbuh.
Baca juga: OJK Evaluasi Dampak PHK Sritex terhadap Perbankan
Rizal pun mengingatkan bahwa pertumbuhan industri manufaktur secara keseluruhan tidak serta-merta mencerminkan kesejahteraan tenaga kerja. Oleh sebab itu, kebijakan industri harus lebih terfokus pada beberapa aspek keberlanjutan tenaga kerja, bukan hanya pertumbuhan angka produksi semata.
“Selain itu, pemerintah, pelaku industri, dan pekerja perlu bekerja sama dan kolaborasi untuk menciptakan ekosistem yang tidak hanya mendorong ekspansi manufaktur, tetapi juga memastikan stabilitas ketenagakerjaan di dalamnya,” pungkasnya.
Ciptakan Lapangan Kerja
Ekonom Universitas Paramadina Wijayanto Samirin menyatakan pemerintah perlu menomorsatukan program yang menciptakan lapangan kerja dan mendongkrak daya beli rakyat untuk mengantisipasi berlanjutnya tren pemutusan hubungan kerja (PHK) terutama di industri manufaktur.
Menurut dia, program-program mahal yang tidak sejalan dengan tantangan urgent perlu ditunda. Makan bergizi gratis (MBG) juga perlu ditinjau ulang untuk disesuaikan size-nya serta tidak boleh terlalu ambisius dan boros anggaran.
“Insentif pajak dan non-pajak perlu diberikan untuk sektor manufaktur dan sektor-sektor lain yang padat karya,” katanya.
Baca juga: Pemerintah Harus Bantu Korban PHK Dapatkan Haknya
Upaya penghematan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), termasuk untuk perjalanan dinas dan rapat, perlu untuk tetap dilanjutkan. Tetapi, imbuh dia, perlu dihindari pemotongan yang terlalu dramatis yang bisa menghentikan aktivitas ekonomi sektor-sektor tertentu.
“Zaman Jokowi-JK, ide penghematan masif juga pernah dijalankan di awal masa pemerintahan, tetapi kemudian disesuaikan setelah melihat dampak yang buruk terkait dengan PHK,” kata Wijayanto.
Belakangan ini, isu PHK menjadi perbincangan hangat seperti yang terjadi pada PT Sri Rejeki Isman (Sritex) dengan lebih dari 10 ribu pekerja terdampak PHK. Selain itu, PHK juga terjadi pada PT Sanken Indonesia, PT Yamaha Music Indonesia, dan lainnya.
Baca juga: DPR Desak Kurator Selesaikan Hak-Hak Pekerja Sritex
Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSYFI) juga mencatat ada 62 pabrik yang tutup dan berhenti beroperasi hingga melakukan PHK pada rentan Januari 2023 hingga Januari 2025.
“Walaupun demikian, kita perlu syukuri bahwa ekonomi kita berperilaku normal. Jika mendekati Lebaran, PMI tetap stagnan ini merupakan tanda-tanda bahwa ekonomi kita sedang tidak normal,” kata dia.
Lebih lanjut, ia mengatakan bahwa PHK kali ini lebih disebabkan oleh faktor struktural akibat pemerintah dalam 10 tahun terakhir gagal menjaga daya saing dan daya tarik sektor manufaktur. Perhatian lebih diberikan kepada sektor capital intensif seperti mineral, hilirisasi, dan kendaraan listrik (EV).
“Saya khawatir, PHK yang terjadi saat ini akan terus berlanjut, bahkan dengan skala yang lebih besar,” jelasnya.