apakabar.co.id, JAKARTA – Ketua Umum Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) Jumhur Hidayat menyatakan mendukung upaya pemerintah untuk melakukan efisiensi perizinan, sehingga lebih menarik minat investasi dan memperkuat industri domestik.
Jumhur menerangkan tingginya realisasi investasi di Indonesia sepanjang kuartal I 2025 harus bisa dimanfaatkan pemerintah untuk meningkatkan daya beli dan mensejahterakan masyarakat.
“Di dunia industri Indonesia, ada daftar urutan hambatan investasi. Hambatan nomor satu itu masalah regulasi, mulai dari perizinan, perpajakan, pengadaan tanah, macam-macam,” katanya dalam keterangan tertulis dikutip Kamis (8/5).
Baca juga: Penjelasan KSPSI Soal Relaksasi TKDN: Bukan Barang Konsumsi
Untuk mewujudkan itu, hal pertama yang harus dilakukan adalah memberi kemudahan bagi investor untuk bisa memulai kegiatan bisnis.
Jumhur berpendapat, dari realisasi investasi tersebut, turut menjadi momentum bagi pemerintah untuk lebih memangkas perizinan, sehingga semakin banyak tenaga kerja yang terserap oleh industri, dan mengurangi jumlah pengangguran.
Lebih lanjut, ia mengatakan pihaknya sangat percaya pemerintah bisa merealisasikan misi mensejahterakan rakyat. Terlebih, Presiden Prabowo Subianto sangat mengedepankan dialog dengan semua elemen rakyat untuk membangun Indonesia.
Baca juga: KSPSI Deklarasikan Perang Lawan Impor Ilegal
Baca juga: KSPSI: Pengemudi Ojol Perlu Perbaiki Posisi Tawar
Selain itu, pertengahan 2024 lalu, Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) merilis hasil riset yang menyebutkan cost of doing business atau biaya yang dikeluarkan untuk berbisnis pengusaha di Indonesia paling tinggi dibandingkan empat negara tetangga lainnya yaitu Malaysia, Filipina, Thailand, dan Vietnam.
Biaya tinggi yang dikeluarkan pengusaha di antaranya untuk membayar logistik, serta bunga pinjaman bank. Biaya logistik Indonesia mencapai 23,5 persen dari produk domestik bruto (PDB), jauh lebih tinggi dibandingkan dengan Malaysia yang hanya 13 persen serta tertinggal jauh dari Singapura yang hanya 8 persen.
Kemudian suku bunga kredit di Indonesia berkisar antara 8-14 persen, lebih tinggi dari empat negara lainnya yang hanya 4-6 persen.
“Biaya logistik turunin, bayar bunga bank jangan ketinggian. Kasihan pengusaha. Dia pinjam duit untuk modal harus bayar bunga 14-15 persen,” kata Jumhur.
Baca juga: KSPSI: Pemerintah Perlu Bangun Kebersamaan Hadapi Tarif Trump
Bunga tinggi yang diminta perbankan sebagai syarat pemberian kredit, menurut dia, adalah salah satu contoh hal tidak produktif.
“Negara tetangga bisa cuma 6-7 persen, lalu kenapa bunga bank di Indonesia harus sampai 13-15 persen untuk UMKM dan lain-lain. Jadi keuntungan sebagian besar diambil untuk hal-hal yang nggak produktif. Tapi kalau itu dikembalikan ke perusahaan, dikembalikan ke buruh, itu menjadi daya beli dan jadi penghidupan lagi bagi yang lain,” jelasnya.