Menguatnya Rupiah di Google, Ilusi Digital yang Menyesatkan

Ilustrasi - Petugas perbankan menunjukkan uang dolar AS dan uang rupiah. Foto: ANTARA

apakabar.co.id, JAKARTA – Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS menguat tajam secara tiba-tiba di Google telah menimbulkan kegaduhan di media sosial. Hal itu mencerminkan bahwa masyarakat Indonesia masih sangat bergantung pada sumber informasi tunggal, tanpa melakukan verifikasi terlebih dahulu.

Pada Sabtu (1/2) sore, angka yang ditampilkan Google menunjukkan 1 dolar AS setara dengan Rp8.170,65. Angka ini jauh dari realitas nilai tukar yang sebenarnya, yakni di kisaran Rp16.300 per dolar AS.

Perisitiwa itu sontak memicu hadirnya spekulasi liar, kebingungan, hingga harapan palsu di kalangan masyarakat. Ada yang mengaitkan perolehan angka tersebut dengan perbaikan ekonomi yang drastis, sementara yang lain lebih skeptis dan menaruh curiga pada kesalahan teknis yang terjadi di sistem Google.

Perubahan nilai tukar (kurs) rupiah di Google telah membuat Kepala Departemen Komunikasi Bank Indonesia (BI) Ramdan Denny Prakoso mendadak sibuk. Ia pun mengonfirmasi bahwa pada saat yang sama, BI langsung berkoordinasi dengan pihak Google Indonesia terkait ketidaksesuaian data.

BI meminta agar Google segera melakukan koreksi yang diperlukan. Bank Indonesia juga menegaskan bahwa level nilai tukar Rp8.100-an per dolar AS seperti yang tercantum di mesin pencari Google bukanlah level yang sebenarnya.

Atas kekacauan tersebut, Google Indonesia segera merespons. Saat dikonfirmasi, Google mengakui adanya masalah terkait besaran nilai tukar rupiah (IDR) di Google Search.

Google menyebut, data konversi mata uang itu berasal dari sumber pihak ketiga. “Saat kami tahu ada ketidakakuratan, kami menghubungi penyedia data agar memperbaiki kesalahan secepat mungkin,” demikian pernyataan Google.

Sementara itu, Chairman Lembaga Riset Keamanan Siber CISSReC Pratama Persadha merespons hal tersebut dengan menyebut kemungkinan penyebabnya adalah kesalahan teknis di dalam sistem Google atau platform penyedia informasi nilai tukar.

Seperti halnya sistem teknologi lainnya, Google telah mengandalkan algoritma dalam menarik data dari berbagai sumber. Jika terjadi bug atau gangguan teknis dalam proses ini, dipastikan data yang ditampilkan menjadi tidak akurat atau bahkan menyesatkan.

Selain itu, Google mengambil data nilai tukar dari berbagai sumber eksternal, termasuk lembaga keuangan, penyedia data ekonomi, hingga pasar valuta asing. Perbedaan sumber ini sangat mungkin menyebabkan variasi nilai tukar yang ditampilkan.

Beberapa platform mungkin telah memperbarui data lebih cepat ketimbang yang lain, sehingga ada kemungkinan Google menampilkan kurs yang sudah usang atau belum terverifikasi dengan informasi terbaru. Informasi yang berasal dari bank sentral atau institusi keuangan utama.

Selain itu, beber Pratama Persadha, ada kemungkinan yang lebih serius, namun jarang terjadi. Hal itu terkait adanya manipulasi atau penyalahgunaan sistem akibat peretasan.

Meskipun sistem keamanan Google dikenal canggih, namun bukan tidak mungkin upaya peretasan atau penyusupan oleh aktor jahat bisa terjadi. Tujuannya ingin mengacaukan informasi finansial.

Bahkan dalam skenario ekstrem, manipulasi data kurs ini berpeluang digunakan sebagai bagian dari strategi spekulasi atau disinformasi. Pembuatnya ingin mengacaukan pasar.

Sehingga untuk memastikan informasi nilai tukar yang benar, Pratama Persadha menyarankan agar pengguna tidak hanya mengandalkan Google sebagai satu-satunya referensi. Karena faktanya insiden serupa pernah terjadi sebelumnya.

Pada 6 Februari 2024, terjadi perisitwa unik di Malaysia. Saat itu, Google menampilkan nilai tukar ringgit terhadap dolar AS yang tidak akurat.

Bank Negara Malaysia (BNM) mencatat pada Jumat, 15 Februari 2024, Google menunjukkan nilai tukar 1 dolar AS setara dengan 4,98 ringgit. Adapun data resmi memperlihatkan level terendah ringgit adalah 4,7075 per dolar.

BNM lalu bersikeras terhadap nilai kurs tersebut sebagai angka tidak mencerminkan fundamental ekonomi Malaysia, yang sebenarnya positif.

BNM lalu meminta penjelasan dari Google mengenai penyebab kesalahan tersebut termasuk langkah korektif yang harus diambil. Hal itu diperlukan agar mencegah terulangnya masalah serupa di kemudian hari.

Sebagai respons, Google Malaysia menyampaikan permintaan maaf kepada pemerintah Malaysia atas kesalahan mereka. Google menjelaskan bahwa kesalahan tersebut terjadi karena data yang ditampilkan tidak diverifikasi secara memadai.

Google kemudian memastikan komitmennya dalam meningkatkan akurasi informasi yang disajikan di platform mereka. Insiden itu telah menjadi sorotan tentang pentingnya verifikasi data dan keandalan sumber informasi, utamanya yang berkaitan dengan data finansial yang sensitif.

531 kali dilihat, 1 kunjungan hari ini
Editor: Jekson Simanjuntak

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *