apakabar.co.id, JAKARTA – Setelah jeda panjang selama sebelas hari karena libur nasional, bursa saham Indonesia kembali dibuka. Namun bukan sambutan optimistis yang terlihat, melainkan layar merah menyala dan napas pasar yang tertahan.
Indeks langsung merosot hingga 9 persen dan memicu penghentian sementara perdagangan (trading halt). Ini adalah respons atas tekanan yang sudah menumpuk selama pasar tutup. Tapi, benarkah ini tanda bahaya? Atau justru peluang yang tersembunyi?
Untuk memahami situasi ini, masyarakat perlu melihat apa yang terjadi di pasar global, khususnya Amerika Serikat. Sebagai jangkar utama peta keuangan dunia, apa yang terjadi di AS hampir selalu memberi dampak besar pada pasar-pasar lain, termasuk Indonesia.
Beberapa hari sebelumnya, pasar AS mengalami gejolak hebat. Penyebabnya adalah kombinasi dari kekhawatiran terhadap perlambatan ekonomi, inflasi yang membandel, dan pernyataan mengejutkan dari Presiden Trump yang mengancam akan menaikkan tarif terhadap produk Tiongkok.
Reaksi pasar sangat cepat dan tajam. Dalam hitungan hari, triliunan dolar menguap dari kapitalisasi pasar global karena aksi jual besar-besaran.
Namun jika kita lihat sejarah, pola seperti ini bukan hal baru. Ketika kekhawatiran melonjak tinggi, pasar sering jatuh dengan cepat. Tapi, sering pula kondisi ini justru membuka ruang untuk pemulihan yang lebih cepat—sering disebut sebagai rebound.
Sensitivitas terhadap ketidakpastian
Pasar modal adalah tempat di mana persepsi sering lebih kuat dari realitas. Isu tarif dagang, walau belum sepenuhnya terealisasi, sudah mampu membuat pelaku pasar panik. Ketika muncul harapan bahwa tarif akan ditunda 90 hari, indeks sempat pulih.
Namun begitu Gedung Putih menyanggah isu tersebut, pasar kembali melemah. Ini menunjukkan bahwa ekspektasi dan sentimen jangka pendek sangat memengaruhi pergerakan harga.
Efek ketegangan global juga terasa di pasar mata uang. Mata uang aman seperti yen Jepang dan franc Swiss menguat. Sebaliknya, mata uang yang dianggap berisiko seperti dolar Australia dan Selandia Baru mengalami pelemahan. Bahkan dolar AS pun mulai kehilangan daya tarik karena muncul kekhawatiran bahwa Amerika sendiri akan menjadi pusat gejolak.
Ketika kepercayaan terhadap kekuatan ekonomi AS terganggu, investor mulai mencari alternatif yang lebih stabil. Menariknya, beberapa pasar Asia seperti Jepang dan Korea Selatan justru menunjukkan tanda-tanda ketenangan dan mulai rebound.
Indonesia di tengah tekanan
Saat bursa Indonesia kembali dibuka, semua tekanan global dan ketidakpastian itu seolah tumpah dalam satu waktu. Namun di balik koreksi tajam, ada sinyal menarik. Meski indeks turun, harga-harga saham yang terjadi di pasar masih lebih tinggi dari ekspektasi paling pesimis. Ini menunjukkan bahwa ada ketahanan, bahkan harapan di tengah tekanan.
Kepala Riset Bahana Sekuritas, Satria Sambijantoro, menyebut bahwa ekonomi domestik Indonesia sebenarnya tidak terlalu rentan terhadap guncangan eksternal seperti perang dagang. Ia percaya bahwa pasar Indonesia berpeluang pulih dalam bentuk kurva ‘V’, yaitu penurunan tajam yang langsung diikuti pemulihan yang cepat. Penyebabnya adalah potensi masuknya likuiditas global ke pasar domestik.
Indonesia saat ini bukan lagi sekadar penonton di panggung ekonomi dunia. Dengan sumber daya alam yang kaya, populasi besar, dan stabilitas politik yang relatif baik, Indonesia semakin dilirik sebagai tempat yang menjanjikan untuk investasi jangka panjang.
Chief Economist Bank Mandiri, Andry Asmoro, menambahkan bahwa Indonesia memiliki buffer (penyangga) yang cukup kuat. Di tengah tensi global, permintaan dalam negeri tetap stabil terutama karena momen Ramadan. Selain itu, Bank Indonesia juga siap menjaga stabilitas nilai tukar rupiah dengan cadangan devisa yang masih di level aman.
Bukti awal dari kekuatan domestik ini terlihat saat pasar mulai rebound setelah trading halt. Sektor keuangan, terutama bank-bank besar, menunjukkan pemulihan. Ini bisa menjadi titik balik dari fase panik menuju fase stabilisasi.
Belajar dari masa lalu
Apa yang terjadi sekarang sangat mirip dengan situasi saat awal pandemi COVID-19 pada Maret 2020. Saat itu, hampir seluruh bursa utama dunia jatuh bebas. Bursa Prancis turun 12 persen, Spanyol 14 persen, Inggris 11 persen, bahkan Italia anjlok 17 persen dalam sehari. Namun setelah negara-negara mengeluarkan berbagai kebijakan stimulus, pasar perlahan pulih dan memberi keuntungan besar bagi investor yang bertahan.
Fluktuasi pasar adalah hal biasa. Kepanikan jangka pendek sering menyembunyikan potensi keuntungan jangka panjang. Investor yang bisa tenang dan berpikir rasional di tengah kekacauan, biasanya menjadi pihak yang paling diuntungkan saat pasar pulih.
Saat suasana pasar terasa mencekam, naluri banyak orang mendorong untuk mundur. Namun sejarah pasar mengajarkan bahwa waktu terbaik untuk membeli sering kali justru ketika orang lain takut. Saat grafik menurun tajam, itulah saat untuk melihat bukan hanya harga, tapi nilai jangka panjang.
Indonesia saat ini sedang mengalami momen transisi. Tekanan yang muncul bukanlah tanda kelemahan, tapi bagian dari proses menuju kestabilan baru. Selama investor bisa menjaga logika, membaca arah kebijakan, dan memahami kondisi fundamental ekonomi, maka peluang untuk bangkit akan selalu ada.
Pasar saham memang sering kali tak terduga. Tapi dalam setiap gejolak, selalu ada peluang bagi mereka yang sabar dan cermat membaca keadaan. Kepanikan adalah musuh utama investor, dan sejarah berpihak kepada mereka yang mampu mengendalikannya.
Seperti halnya dalam hidup, masa tersulit kadang adalah awal dari perubahan besar. Pasar yang hari ini tampak suram, bisa jadi besok membawa keuntungan besar bagi yang berani bertahan.
Di balik layar merah yang menyala, ada cerita yang belum selesai. Dan mungkin, seperti babak dalam sebuah buku, halaman berikutnya justru adalah bagian paling menarik dari perjalanan pasar Indonesia.