apakabar.co.id, JAKARTA – Institute for Essential Services Reform (IESR) menilai implementasi strategi peningkatan pangsa transportasi umum (transum) hingga 40 persen bisa mengurangi emisi sebesar 101 juta ton.
Hal itu dapat dilakukan dengan mengurangi kendaraan pribadi, mendorong transportasi publik, menekan konsumsi bahan bakar fosil, dan mempercepat adopsi teknologi rendah emisi.
“Implementasi pendekatan dan strategi ‘Avoid-Shift-Improve’ (ASI) secara bersamaan akan memberi dampak positif,” ujar Koordinator Riset Manajemen Permintaan Energi IESR Faris Adnan Padhilah dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Selasa (15/7).
Baca juga: China Jadi Jawara Negara Penyumbang Emisi Karbon Terbesar Dunia
IESR mengusulkan strategi mobilitas berkelanjutan terpadu berdasar pada tiga pendekatan utama, yakni Avoid-Shift-Improve (ASI) yang terdiri atas mengurangi kebutuhan mobilitas (Avoid), mengalihkan ke moda transportasi rendah emisi (Shift), dan meningkatkan teknologi dan efisiensi (Improve). Strategi tersebut termaktub pada laporan Indonesia Sustainable Mobility Outlook (ISMO) 2025.
Pendekatan terpadu dinilai mampu menekan emisi sektor transportasi hingga 76 persen, dari 561 juta ton setara karbon dioksida menjadi 117 juta ton setara karbon dioksida pada 2060. Sebesar 24 persen emisi tersisa berasal dari transportasi barang yang belum dilakukan intervensi khusus dalam kajian tersebut.
Strategi Shift, dengan meningkatkan pangsa transportasi umum hingga 40 persen, berkontribusi paling besar dengan potensi pengurangan emisi sebesar 101 juta ton. Sementara itu, strategi Improve melalui adopsi kendaraan listrik, hingga 66 juta mobil dan 143 juta motor listrik diproyeksikan menurunkan emisi hingga 210 juta ton pada tahun yang sama.
Baca juga: Bantu Kurangi Emisi, Pakar: Pengadaan Bioetanol Perlu Dipercepat
Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa mengatakan implementasi pendekatan ASI secara konsisten dan bersamaan itu penting. Pada 2024 emisi dari sektor transportasi menyumbang 202 juta ton setara karbon dioksida atau sekitar 25 persen dari total emisi sektor energi nasional.
“Tanpa upaya serius, menurut dia, emisi itu bisa meningkat hampir tiga kali lipat pada 2060,” katanya.
“Dari hasil pemodelan kami, pada tahun 2050 jarak tempuh per kapita diperkirakan melonjak hingga dua kali lipat. Tanpa strategi dekarbonisasi sektor transportasi, lonjakan ini akan memperburuk kemacetan, kenaikan impor bahan bakar minyak, dan polusi udara yang memperparah krisis kesehatan dan beban fiskal,” imbuhnya.