apakabar.co.id, JAKARTA – Indonesia Net-Zero Summit 2025 (INZS 2025) resmi dibuka di Djakarta Theater Ballroom. Ini menandai langkah besar Indonesia menuju target emisi nol bersih (net-zero emission) pada tahun 2060 atau lebih cepat.
Sebagai konferensi iklim terbesar di kawasan Asia Tenggara dan Asia Pasifik, acara ini dihadiri lebih dari 7.500 peserta dari berbagai sektor.
Acara pembukaan diawali dengan deklarasi Generation Net Zero yang dibacakan oleh perwakilan generasi muda, Adli Firlian Ilmi. Dalam pernyataannya, Adli menegaskan bahwa generasi muda hadir sebagai agen perubahan untuk menagih komitmen pemerintah dalam mewujudkan transisi energi berkelanjutan dan keadilan iklim.
Ia juga menyebutkan bahwa kehadiran mereka di forum ini adalah bentuk penegasan terhadap janji-janji pemerintahan Prabowo-Gibran.
Apresiasi langsung disampaikan oleh Menteri Koordinator Pangan, Zulkifli Hasan, yang menyatakan komitmennya untuk bersinergi dengan pemerintahan baru dalam mendorong agenda hijau. Sementara itu, perwakilan UNFCCC Simon Stiell dan Wakil Ketua MPR RI Eddy Soeparno menyebut deklarasi ini sebagai bukti bahwa Indonesia memiliki potensi besar untuk menjadi “Pendekar Net-Zero Dunia”, khususnya melalui dukungan generasi muda.
Dalam sesi diskusi pertama, para peneliti dan aktivis menyoroti kemajuan di sektor manufaktur. Data dari Kementerian Perindustrian menunjukkan bahwa sektor ini menyumbang 19% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) dan menghasilkan emisi hingga 238 juta ton karbon pada tahun 2022.
Meski demikian, sektor industri telah menargetkan pencapaian net-zero pada tahun 2050 yang lebih cepat 10 tahun dari target nasional. Langkah tersebut didorong oleh efisiensi energi dan penerapan teknologi hijau.
Namun, dalam sesi lanjutan, beberapa analis mengingatkan adanya tantangan besar seperti hambatan geopolitik dan belum konsistennya komitmen pemerintah. Wakil Menteri Lingkungan Hidup, Diaz Hendropriyono, serta analis kebijakan Andhyta Firselly Utami, mengungkapkan bahwa kebijakan perdagangan internasional seperti CBAM Uni Eropa dan ketegangan global dapat menghambat ekspor Indonesia, serta mendorong kenaikan subsidi energi.
Meski diperhadapkan pada tantangan global, Indonesia justru dilihat sebagai aktor penting dalam transisi energi di kawasan. Melalui forum ASEAN, G20, dan BRICS, Indonesia telah berperan dalam menjadikan aksi iklim sebagai pendorong pertumbuhan ekonomi.
Teknologi seperti biochar dan prediksi cuaca mikro, yang dikembangkan oleh inisiatif seperti LaporIklim, terbukti mampu meningkatkan ketahanan iklim masyarakat.
Zulkifli Hasan kembali menegaskan bahwa pemerintahan Prabowo-Gibran akan menjadikan agenda hijau sebagai mesin pertumbuhan ekonomi hingga 8%. Sementara itu, Eddy Soeparno mengungkapkan bahwa krisis iklim sebagai persoalan sistemik yang memerlukan perubahan menyeluruh, baik dari sisi kebijakan maupun gaya hidup masyarakat.
Gita Wirjawan, dalam diskusi tertutup, menyampaikan bahwa transisi hijau harus menjadi bagian dari strategi ekonomi nasional. Dengan mendorong investasi di industri hijau, seperti hilirisasi nikel berkelanjutan dan perdagangan karbon berbasis alam, termasuk memaksimalkan skema pembiayaan seperti JETP dan ETM, Indonesia diharapkan bisa mengubah tekanan menjadi peluang.
Menurut Gita, “Krisis iklim adalah ujian bagi daya tahan sistem ekonomi kita. Yang menang bukan yang paling cepat, tapi yang paling adaptif dalam membangun rantai nilai industri hijau.”
Dengan kolaborasi kuat antara generasi muda, pemerintah, dan sektor swasta, Indonesia siap mengambil peran sebagai arsitek peradaban hijau di kawasan Global South.