Kandidat Capres-Cawapres, Trend Asia: Hasilkan Emisi 1.2 Juta Kg selama Kampanye

Dokumentasi - Private jet di Ngurah Rai Airport, Bali. Foto: https://commons.wikimedia.org/ Indonesia

apakabar.co.id, JAKARTA – Trend Asia melakukan pemantauan terhadap kegiatan kampanye dari tiga pasangan calon (paslon) presiden dan wakil presiden. Pemantauan dilakukan untuk melihat dampak aktivitas selama kampanye terhadap lingkungan.

Direktur Program Trend Asia Ahmad Ashov Birry menjelaskan, fokusnya adalah pada emisi karbondioksida (CO2) dari penerbangan yang mereka gunakan berupa private jet, helikopter, dan pesawat komersial carter.

Metode pemantauan data penerbangan dilakukan dengan mencocokkan jadwal dan lokasi kampanye dari masing-masing paslon dengan bandara terdekat atau lapangan terdekat untuk melihat kedatangan dan keberangkatan pesawat tersebut.

Pemantauan dilakukan sejak kampanye mulai berlaku yakni 28 November 2023 sampai 4 Februari 2024. Jika ditotal, masa kampanye berlangsung selama 69 hari (92% hari kampanye).

“Hanya dalam kurun waktu 92 persen hari kampanye, jejak emisi CO2 yang ditinggalkan oleh ketiga pasangan calon mencapai 1.276.342 kg dari pemakaian private jet,” kata Ashov dalam keterangannya, Selasa (13/2).

Jumlah perjalanan udara yang dianalisa, ungkap Ashov,  sebanyak 235 kali dengan berbagai tipe pesawat dengan total jarak tempuh 174.108,37 Kilometer (Km). “Semuanya penerbangan domestik,” tegasnya.

Kedati begitu, tidak semua perjalanan dapat dianalisis karena keterbatasan data penerbangan dan adanya upaya menyembunyikan data pesawat yang digunakan di domain publik. Trend Asia menduga frekuensi penerbangan tersebut lebih banyak dari data yang tersaji untuk publik.

“Apa yang tersaji ini adalah puncak dari gunung es emisi penerbangan kandidat,” ujarnya

Ashov mengungkapkan, jejak karbon dari tiga paslon ini sangat tinggi terkait pemakaian pesawat, sehingga berkontribusi terhadap pemanasan global. Pemakaian jet priadi juga menunjukkan gaya hidup mewah para paslon yang berlaga di Pilpres 2024, sementara rakyat sedang menghadapi kesulitan ekonomi.

“Seharusnya mereka bisa memakai pesawat komersial atau moda alternatif lain yang mungkin lebih rendah emisi untuk mengurangi jejak karbon selama kampanye sekaligus menunjukkan komitmen serta arah transisi energi ke depan,” terangnya.

Jika ditotal estimasi emisi CO2 penerbangan tiga paslon selama masa kampanye setara dengan emisi penerbangan yang dihasilkan oleh sekitar 37.539 orang di Indonesia. Jumlahnya bahkan lebih banyak dari emisi penerbangan yang dihasilkan seluruh penduduk Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat dengan asumsi emisi penerbangan per kapita di Indonesia sebanyak 34 kg.

“Terjadi ketimpangan emisi di mana perjalanan semua paslon ini menghasilkan CO2 setara dengan emisi penerbangan domestik warga satu kabupaten di Papua. Ini sebuah ironi,” tuturnya.

Senada, manajer riset Trend Asia Zakki Amali menjelaskan, para paslon membicarakan masa depan Indonesia di atas private jet. Dengan demikian, mereka semakin berjarak dari rakyat yang selama ini menderita.

“Masa depan Indonesia dibicarakan di atas kemewahan yang jauh dari situasi sehari-hari rakyat,” jelasnya.

Ketimpangan Emisi

Temuan tersebut juga menunjukkan ketimpangan emisi. World Inequality Database (WID) mengungkapkan pada 2019 terdapat 10% populasi orang terkaya di Indonesia telah menghasilkan 11,1 ton karbondioksida ekuivalen per kapita CO2e dari seluruh sektor.

Pada tahun sama, 1% populasi orang terkaya di Indonesia menghasilkan 38,7 ton CO2e dari seluruh sektor. Sementara itu, dalam periode sama, per kapita di Indonesia menghasilkan 3,3 ton CO2e.

Data itu menunjukkan bahwa emisi dari 10% orang terkaya Indonesia 3x lipat dari rata-rata emisi nasional dan 1% orang terkaya mengeluarkan emisi setara emisi dari 12 individu umum. “Jejak karbon dua kelompok ini menunjukkan ketimpangan emisi,” papar Zakki.

Data itu juga menyoroti ketimpangan yang signifikan dalam emisi gas rumah kaca antara kelompok terkaya dan populasi umum di Indonesia. Kelompok orang terkaya memiliki jejak karbon per kapita yang sangat besar dibandingkan dengan rata-rata nasional.

“Emisi yang dihasilkan oleh kelompok terkaya harus diatasi, misalnya dengan redistribusi kekayaan atau dengan menaikan pajak untuk orang kaya dan tidak mengulangi kebijakan semacam Tax Amnesty yang hanya menguntungkan orang kaya,” terang Zakki.

Presiden Joko Widodo mengundang santap siang bersama tiga calon presiden yang akan berpartisipasi pada pemilihan presiden 2024, yaitu Prabowo Subianto, Ganjar Pranowo, dan Anies Baswedan, pada Senin, 30 Oktober 2023. Foto: BPMI Setpres/Lukas

Tren GRK Sektor Energi

Tren gas rumah kaca (GRK) Indonesia periode 2000-2019 menunjukkan sektor energi menjadi penyebab pertama dengan 9.130.242 Gigaton karbondioksida ekuivalen (Gg CO2e). Angka itu setara 39,18% dari total GRK seluruh sektor sebesar 23.298.154 Gg CO2e.

Dari GRK sektor energi terdapat GRK sub-sektor transportasi dalam periode sama sebanyak 2.097.378 Gg CO2e atau 22,97% dari GRK sektor energi.

GRK sub-sektor transportasi juga dibagi tiga, yaitu penerbangan sipil dengan 166.326 Gg CO2e atau 7,93%; transportasi darat (jalan raya dan kereta api) dengan GRK periode sama 1.926.672 Gg CO2e atau 91,86%; transportasi berbasis navigasi air dengan 4.378 Gg CO2e atau 0,2.

“Dengan demikian, data menunjukkan bahwa GRK penerbangan sipil menempati urutan kedua dalam GRK sub-sektor transportasi dengan kontribusi 7,93%,” kata Zakki.

Dibandingkan dengan total GRK seluruh sektor, GRK penerbangan sipil berkontribusi 0,71% selama periode 2000-2019.

Emisi sektor penerbangan sipil, terang Zakki, merupakan salah satu masalah serius, khususnya dalam penggunaan private jet. Laporan International Energy Agency (IEA) tahun 2022 menyebutkan penerbangan berkontribusi 2% pada emisi CO2 secara global dan jumlah emisi yang dihasilkan dari penerbangan privat lebih tinggi dibandingkan penerbangan komersial.

Merujuk studi Transport & Environment (2021), polusi per penumpang yang ditimbulkan oleh private jet lebih banyak 5-14 kali dari penerbangan komersial dan private jet 50 kali lebih berpolusi dibanding moda transportasi kereta.

Private jet memiliki daya rusak lebih besar jika dibandingkan moda transportasi lain. Ia lebih berpolusi karena emisi penerbangan dihitung berdasar jumlah penumpang, semakin sedikit jumlah penumpang, maka semakin jejak karbon per individu semakin tinggi.

“Sudah seharusnya penanganan emisi sektor transportasi seperti penerbangan private menjadi perhatian para kandidat sebagai langkah untuk menekan GRK,” jelasnya.

Sementara itu, sepanjang masa kampanye Pemilihan Presiden 2024, para pasangan calon capres dan cawapres berlomba menyampaikan program unggulan untuk mengurangi emisi karbon dalam rangka memerangi krisis iklim jika mereka terpilih.

“Sayangnya, hal itu berbanding terbalik dengan emisi yang mereka keluarkan sepanjang saat masa pemilu,” tandasnya.

26 kali dilihat, 1 kunjungan hari ini
Editor: Jekson Simanjuntak

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *