Nelayan Tuna Tetap Miskin Diiringi Ancaman Mikroplastik

apakabar.co.id, JAKARTA – Masyarakat dan Perikanan Indonesia (MDPI) menilai kesejahteraan nelayan tuna yang melakukan usahanya dalam skala kecil (small scale fisher), tidak sebanding dengan peran mereka terhadap ketahanan pangan sektor perikanan.

Community Organization Coordinator MDPI Arroyan Suwarno mengungkapkan hal tersebut saat menjadi narasumber dalam sesi diskusi di acara Greenpress Community di M Bloc Space, Jakarta, Sabtu (23/11).

Saat ini, kontribusi nelayan tuna menyisakan ironi. Pasalnya kesejahteraan mereka justru berbanding terbalik dengan perannya dalam memasok 85 persen produksi ikan tuna nasional.

“Angka kemiskinan nelayan di daerah penghasil ikan tuna yang besar, yakni Indonesia bagian timur justru tinggi,” ujar Arroyan.

Selain itu, kata arroyan, para nelayan tuna harus berhadapan dengan krisis iklim dan pencemaran mikroplastik. Sementara di saat yang bersamaan, Indonesia tercatat sebagai eksportir ikan tuna terbesar di dunia dengan pasokan mencapai 17-22 persen secara global. Pasokan tersebut sebagian besar berkat dukungan nelayan kecil.

Pada tahun 2019, papar Arroyan, produksi tuna di Sulawesi Utara tercatat mencapai 56.009 ton. Sementara di Maluku sebesar 51.804 ton, Maluku Utara, 41.591 ton, Gorontalo 28.420 ton, dan Papua mencapai 23.622 ton.

Sayangnya, data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2019 menunjukkan kemiskinan tinggi justru terjadi di daerah-daerah penghasil tuna seperti Papua, Sulawesi, Maluku, Maluku Utara, dan Nusa Tenggara Timur.

Bahkan, ujar Arroyan, ketahanan pangan keluarga mereka tercatat dalam status rentan. Hal itu disebabkan beberapa faktor, di antaranya pengelolaan keuangan rumah tangga yang buruk, ketergantungan pada supplier, sulit mendapatkan BBM, hingga dampak perubahan iklim.

Nelayan kecil, seperti nelayan tuna menjadi pihak yang paling rentan terimbas krisis iklim. Pasalnya, perubahan suhu perairan telah berdampak besar terhadap populasi tangkapan ikan, termasuk tuna.

“Hal itu memengaruhi jumlah tangkapan. Risiko kecelakaan akibat cuaca tak menentu juga membuat nelayan harus bertaruh nyawa,” paparnya.

Untuk membantu kehidupan para nelayan, MDPI memiliki sejumlah program, di antaranya melakukan asesmen perizinan melaut, revitalisasi kelompok koperasi dan penguatannya, serta mendorong praktik pencarian ikan berkelanjutan.

Senada, Fisheries Lead MDPI Putra Satria Timur membeberkan pola pendampingan yang dilakukan adalah melalui penggunaan rumpon yang sesuai regulasi. Rumpon merupakan teknik mencari ikan tuna paling populer.

“Hanya saja, teknik menggunakan rumpon untuk menarik ikan berkumpul akan merusak populasi dan daya jelajah ikan tuna jika digunakan secara berlebihan, paparnya.

Saat ini, kata Putra, di kawasan timur perairan Indonesia tercatat ada 1.560 rumpon mengambang di laut. Alat-alat itu membentang di Wilayah Penangkapan Perikanan (WPP) 713, 714, dan 715 yang meliputi: Laut Banda, Laut Maluku, Laut Flores, Laut Seram, Teluk Bone, dan Teluk Tomini.

“Ada sejumlah regulasi yang harus dipatuhi dalam penggunaan rumpon ini. Nah ini yang perlu disosialisasikan dan diinventarisir,” terang Putra.

Beberapa poin penting pengelolaan rumpon, papar Putra, di antaranya para pemilik rumpon harus memiliki kapal, memiliki izin Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (PKKPRL), mendaftar KBLI (Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia) melalui sistem OSS Pemerintah.

Sementara bagi nelayan skala kecil hanya boleh memiliki maksimal 4 rumpon dengan jarak minimal 10 mil laut.

“Mereka harus dilengkapi tanda pengenal, tidak berada di daerah konservasi, area militer, maupun jalur transportasi, pipa, dan kabel laut,” terangnya.

Di saat yang bersamaan, ancaman mkroplastik juga nyata. Pencemaran akibat mikroplastik kerap kali tidak diketahui para nelayan.

Hal itu terungkap dari liputan jurnalis Kompas TV, Glenys Octania. Dalam peliputan mendalam tersebut terkuak ancaman nikroplastik di perairan Teluk Jakarta sangat berisiko terhadap kesehatan manusia.

“Ukuran mikro plastik yang sangat kecil membuat ikan tak bisa membedakan mana plankton dan mana mikroplastik. Mikroplastik itu akhirnya sampai ke manusia yang mengkonsumsi ikan,” paparnya.

Nelayan yang turut mengkonsumsi ikan tangkapannya akan berisiko menanggung dampak penyakit akibat mikroplastik. Hal lainnya, kepercayaan masyarakat terhadap ikan hasil tangkapan bakal merugikan para nelayan.

 

24 kali dilihat, 1 kunjungan hari ini
Editor: Jekson Simanjuntak

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *