Gambar KPU Cianjur Iklan KPU Cianjur

Pelestarian Biodiversitas Indonesia, Belantara: Kolaborasi Multipihak Kunci Keberhasilan

Belantara Foundation bekerja sama dengan Prodi Manajemen Lingkungan Sekolah Pascasarjana, Prodi Biologi Fakultas MIPA, dan Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Universitas Pakuan menyelenggarakan seminar dan pelatihan dengan tema “Peran Multipihak dalam Pelestarian Biodiversitas Indonesia” pada Selasa, 14 Mei 2024. Foto: Belantara Foundation

apakabar.co.id, JAKARTA – Sejak Tahun 2023 hingga saat ini, Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/ Bappenas tengah menyusun dokumen Strategi dan Rencana Aksi Keanekaragaman Hayati Indonesia atau Indonesian Biodiversity Strategy and Action Plan (IBSAP) pasca COP15 CBD. Proses penyusunan dokumen itu merupakan upaya untuk menyelaraskan target pengelolaan keanekaragaman hayati nasional dengan target global.

Dokumen IBSAP disusun selaras dengan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045 dan Rancangan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025-2029 serta ke depan diharapkan memiliki dasar payung hukum untuk akselerasi implementasi. Dokumen itu diharapkan menjadi acuan pemerintah daerah dan pemangku kepentingan lainnya dalam mengelola keanekaragaman hayati secara berkelanjutan menuju Indonesia Emas 2045.

Direktur Eksekutif Belantara Foundation Dolly Priatna dalam seminar dan pelatihan bertema “Peran Multipihak dalam Pelestarian Biodiversitas Indonesia” pada Selasa, 14 Mei 2024, mengingatkan tentang pentingnya peningkatan pemahaman stakeholders mengenai strategi dan rencana aksi serta peran penting sektor akademisi, industri dan masyarakat dalam pengelolaan biodiversitas Indonesia.

“Tujuan lainnya  yaitu meningkatkan kepedulian semua pihak, agar dapat ikut mengambil peran masing-masing dalam upaya pelestarian khususnya jenis-jenis yang terancam kepunahan,” ujar Dolly di Bogor, Selasa (14/5).

Dolly yang juga pengajar di Sekolah Pascasarjana Universitas Pakuan itu menjelaskan tentang Instruksi Presiden No.1 tahun 2023 tentang Pengarusutamaan Pelestarian Keanekaragaman Hayati dalam Pembangunan Berkelanjutan. Inpres itu diterbitkan untuk memastikan adanya keseimbangan pemanfaatan ruang untuk kepentingan ekonomi dan konservasi keanekaragaman hayati dalam kebijakan setiap sektor.

“Pelaksanaan kebijakan ini diarahkan melalui pengambilan langkah-langkah kebijakan sesuai tugas, fungsi dan kewenangan setiap lembaga yang disasar dalam kebijakan ini,” terangnya.

Direktur Eksekutif Belantara Foundation, Dr. Dolly Priatna saat opening speech mengatakan bahwa tujuan utama seminar nasional ini untuk meningkatkan pemahaman stakeholders mengenai strategi dan rencana aksi serta peran penting sektor akademisi, industri dan masyarakat dalam pengelolaan biodiversitas Indonesia. Foto: Belantara Foundation

Isi inpres telah menyasar ke 19 kementerian dan lembaga pemerintahan dengan tujuan untuk mengarusutamakan keanekaragaman hayati dalam kebijakan pembangunan.

“Tidak hanya tugas pemerintah, pelestarian keanekaragaman hayati merupakan tanggung jawab bersama. Kolaborasi multipihak mulai dari pemerintah, akademisi, praktisi, industri, media bahkan masyarakat merupakan kunci keberhasilan pelestarian biodiversitas Indonesia untuk generasi kini dan yang akan datang,” papar Dolly yang juga​ anggota Commission on Ecosystem Management IUCN.

Sementara itu, Ketua I-SER (Institute of Sustainable Earth and Resources) FMIPA Universitas Indonesia, Prof. Jatna Supriatna selaku salah satu pembicara kunci mengungkapkan bahwa Indonesia adalah negara yang sangat besar dan memiliki perputaran energi yang tidak terputus sejak ratusan juta tahun. Itu sebabnya Indonesia telah melewati banyak fenomena geologi yang sangat berhubungan dengan keanekaragaman hayati.

Indonesia juga memiliki banyak akademisi di kampus-kampus dan pusat penelitian. Menurutnya, penelitian biodiversitas perlu lebih menekankan pada tahap pemanfaatan. Misalnya, tentang pemanfaatan biodiversitas untuk pangan yang seharusnya berasal dari biodiversitas Indonesia.

“Kita bisa memperbanyak riset yang lebih mendalam tentang pemanfaatan hayati karena kita punya lebih dari 30,000 spesies”, tegas Jatna.

Jatna juga menambahkan upaya-upaya dari akademisi yang bisa dilakukan adalah terkait valuasi biodiversitas dan ekosistem, degradasi lahan yang menyebabkan defaunasi, serta dampak perubahan iklim pada biodiversitas. Pelestarian biodiversitas perlu menekankan kolaborasi tri-sektor dari akademisi, pemerintah, dan sektor privat.

“Salah satunya bisa melalui pengembangan ekowisata, seperti pengamatan burung atau wisata-wisata yang terkait spesies kharismatik,” katanya.

Pada kesempatan yang sama, Dosen Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University dan Co-Chair IUCN IdSSG, Prof. Mirza D. Kusrini menjelaskan IdSSG adalah kelompok ahli dan praktisi hidupan liar yang bergabung di bawah naungan Species Survival Commission IUCN. Berdiri sejak awal tahun 2023, IdSSG memiliki visi untuk mengkoordinasi para ahli di seluruh Indonesia dari berbagai kelompok taksonomi dan keilmuan terkait untuk mendukung pemerintah serta para pihak dalam usaha bersama mengubah penurunan keanekaragaman jenis melalui pengembangan pengambilan keputusan dan kebijakan berbasiskan bukti ilmiah.

Ancaman kepunahan massal

Artikel yang ditulis oleh ilmuwan yang diterbitkan di jurnal Biological Review awal 2022 lalu, menjelaskan bahwa saat ini telah berlangsung kepunahan massal keenam yang disebabkan oleh antropogenik. Ancaman kepunahan massal kali ini berbeda, karena intervensi manusia terhadap alam dan biodiversitas telah menyumbang dan mempercepat kepunahan tersebut terjadi.

Ancaman tersebut semakin terlihat dengan tingkat kepunahan spesies yang meningkat secara drastis. Para peneliti sebagian besar menggunakan data spesies yang terdaftar sebagai spesies punah oleh International Union for Conservation of Nature (IUCN). Para peneliti berfokus pada spesies vertebrata (tidak termasuk ikan) karena datanya tersedia lebih banyak.

Dari setidaknya 5.400 genera (bentuk jamak dari genus) yang terdiri dari 34.600 spesies, para peneliti menyimpulkan bahwa dalam 500 tahun terakhir, sejumlah 73 genera telah mengalami kepunahan, sebagian besar terjadi dalam dua abad terakhir.

Penelitian tersebut memperkirakan bahwa kepunahan tersebut seharusnya membutuhkan waktu kurang lebih 18.000 tahun, bukan 500 tahun, meskipun perkiraan tersebut masih belum pasti, karena tidak seluruh spesies diketahui dan catatan fosil masih belum lengkap.

Para ilmuwan mengungkapkan kepunahan massal buatan manusia tersebut disebabkan oleh perusakan habitat, perubahan iklim global, eksploitasi berlebihan, polusi, dan spesies invasif. Menurut IUCN, sampai saat ini terdapat lebih dari 44.000 spesies terancam punah di bumi. Jumlah ini merupakan 28 persen dari total 157.100 spesies yang masuk daftar merah milik lembaga konservasi global tersebut. Padahal, jumlah spesies yang ada di bumi jauh lebih banyak dari angka tersebut.

Pada Desember 2023 lalu, IUCN memperbarui daftar spesies yang berstatus punah/Extinct (EX). Berdasarkan data yang dipublikasikan sejak 1996 hingga kini, terdapat lebih dari 900 spesies yang punah. Sebanyak 74 spesies di antaranya dinyatakan punah pada 2023.

598 kali dilihat, 1 kunjungan hari ini
Editor: Jekson Simanjuntak

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *