apakabar.co.id, JAKARTA — Pencemaran di pesisir Sanga-Sanga, Kutai Kartanegara, kian terang benderang. Hasil uji laboratorium Universitas Mulawarman membuktikan ada jejak limbah di perairan sekitar wilayah pengeboran milik PT Pertamina Hulu Sanga Sanga (PHSS). Tingkat pencemaran yang ditemukan tak main-main, dari kategori ringan hingga cukup berat.
Namun hingga hari ini, belum ada sikap tegas dari pemerintah sekalipun para nelayan merugi akibat kematian massal kerah darah. Dari sanksi hingga tindakan hukum, sampai kini tak jelas rimbanya.
Kepala Bidang Penaatan dan Peningkatan Kapasitas Lingkungan Hidup DLH Kukar, Abdul Hamid Budiman, mengaku pihaknya tak bisa berbuat banyak. “Karena izin lingkungan dikeluarkan oleh KLH, kami hanya bisa menyerahkan kepada kementerian,” katanya saat dikonfirmasi.
Lalu bagaimana sikap pusat?
Menteri Lingkungan Hidup, Hanif Faisol, akhirnya angkat bicara. Ia memastikan tim penegakan hukum dari kementeriannya sudah turun ke lokasi sejak pekan lalu.
“Tim sedang mendalami dugaan pencemaran yang diduga menyebabkan matinya kerang darah di area budidaya masyarakat,” ungkap Hanif, Selasa (13/5) pagi, kepada media ini.
Ia menjanjikan laporan lengkap hasil investigasi akan dibahas dalam pekan ini. “Kemungkinan minggu depan sudah selesai,” tambahnya.
DPR Desak KLHK Tak Tutup Mata
Sikap serupa datang dari anggota Komisi IV DPR RI, Syafruddin. Ia menyatakan akan terus mengawal kasus ini hingga tuntas, dan tak segan menekan Kementerian Lingkungan Hidup agar bertindak.
“Saya tetap komit memperjuangkan hak masyarakat yang dirugikan oleh limbah operasional PHSS,” kata Syafruddin saat dihubungi terpisah.
Ia mengaku tengah mendalami hasil riset dari Unmul sebelum mengambil langkah resmi, termasuk kemungkinan memanggil manajemen Pertamina dan pejabat kementerian ke Senayan.
Pencemaran Terukur, Bukan Spekulasi
Temuan dari Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Mulawarman memperkuat dugaan pencemaran. Pengambilan sampel dilakukan pada 23–25 Januari 2025 di 15 titik, termasuk empat lokasi tambak kerang darah dan beberapa titik strategis seperti kolam pengendapan, limpasan pengeboran, hingga Sungai Tanjung Limau.
Hasilnya? Lonjakan bahan organik dan indeks saprobik yang mengindikasikan kualitas air memburuk. Beberapa lokasi budidaya bahkan tergolong tercemar cukup berat. Situasi diperparah oleh buruknya sirkulasi air karena perairan setempat bersifat semi tertutup.
Bungkam, tapi Prihatin
Menanggapi hasil ini, pihak PHSS tetap bersikukuh: belum ada bukti kuat yang mengaitkan operasi mereka dengan kematian kerang darah.
“Tidak ada hubungan langsung antara pengeboran kami dengan gagal panen kerang darah,” klaim Dony Indrawan, Manager Communication Relations & CID Pertamina Hulu Indonesia dalam rilis yang diterima redaksi, Selasa (2/4).
Dony menyebut investigasi Unmul masih belum konklusif. Ia menyitir berbagai metode ilmiah yang digunakan, seperti analisis histopatologi jaringan kerang hingga pelacakan isotop karbon, yang menurutnya belum menghasilkan kesimpulan final.
Meski demikian, Pertamina menyatakan keprihatinan atas kejadian ini dan menyatakan siap bekerja sama dengan Pemkab Kukar.
“Kami mendukung penuh langkah-langkah yang diambil pemerintah daerah dalam penanganan kasus ini,” tutup Dony.