Warga Dairi Berharap Hakim MA Tegakkan Keadilan demi Masa Depan Berkeadilan

Sejumlah warga Dairi, Sumatera Utara, melakukan aksi budaya 'Mangandung' di depan Gedung Mahkamah Agung, Jakarta, Selasa (6/8/2024). Mereka menuntut Majelis Hakim Mahkamah Agung untuk menegakkan keadilan demi masyarakat Dairi dalam mempertahankan ruang pertanian sebagai sumber kehidupan dari ancaman perusahaan tambang. Foto: Faizal Fanani/Trend Asia.

apakabar.co.id, JAKARTA – Warga Dairi Sumatera Utara menggelar aksi teatrikal dan budaya Mangandung di depan gedung Mahkamah Agung Republik Indonesia, Jakarta, Selasa (6/8).

Warga mendesak majelis hakim Mahkamah Agung lebih berempati dalam menegakkan keadilan demi kepentingan masyarakat Dairi yang terancam keselamatannya akibat operasi PT Dairi Prima Mineral (DPM).

Desember 2023, warga Dairi mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung setelah Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) Jakarta menyatakan Kelayakan Lingkungan PT DPM sah melalui putusan Nomor: 265/B/LH/2023/PT.TUN.JKT, pertanggal 22 November 2023.

Padahal sebelumnya, PTUN Jakarta melalui putusan Nomor 59/G/LH2023/PTUN.JKT tanggal 24 Juli 2023 menyatakan kelayakan lingkungan PT DPM tidak sah dan memerintahkan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan mencabut kelayakan lingkungan hidup PT DPM.

Salah seorang penggugat, Barisman Hasugian mendesak majelis hakim MA agar mendengarkan permohonan masyarakat Dairi yang merupakan korban tambang PT DPM yang ruang hidupnya dirampas dan kini terancam keselamatannya.

“Saya mewakili para penggugat, mendesak majelis hakim MA yang mengadili dan menyidangkan perkara ini untuk membatalkan putusan PTTUN Jakarta dan menguatkan putusan PTUN Jakarta yang menyatakan Persetujuan Lingkungan PT DPM tidak sah,” ujar Barisman.

Menurut Barisman, warga Dairi hanya ingin mempertahankan ruang pertanian sebagai sumber kehidupan dan menginginkan kehidupan yang sejahtera, jauh dari bayang-bayang ancaman tambang terhadap keselamatan warga.

“Kami tidak butuh tambang. Sekali tambang datang, ruang pertanian kami hilang, hidup kami pun lenyap,” terang Barisman.

Perwakilan warga Dairi Mentoria Situmorang yang berperan sebagai Pangandung dalam aksi teatrikal menjelaskan kehidupan mereka sebelumnya cukup baik dari hasil pertanian, sebelum PT DPM datang ke kampungnya dengan membawa segala persoalan.

“Misalnya membangun mulut terowongan tambang, gudang bahan peledak dan bendungan limbah dekat rumah kami,” ujar Mentoria.

Dia menambahkan, warga sangat khawatir ketika PT DPM membangun fasilitas bendungan limbah seluas 34 ha, dengan tinggi 30 meter yang terletak di Hulu desa. Pembangunan tersebut terletak di atas tanah yang tidak stabil.

“Bagaimana jika bendungan limbah itu jebol dan mengubur kampung kami yang ada di hilir. Ini yang selalu kami andungkan (ratapi) dalam tiap-tiap aksi kami berharap para pengambil keputusan lebih memperhatikan hidup kami,” kata Mentoria.

Perwakilan Yayasan Diakonia Pelangi Kasih (YDPK) Rohani Manalu menjelaskan, sebelum mengajukan gugatan kasasi, warga Dairi sudah menempuh berbagai upaya dan mendapatkan perhatian dari berbagai pihak. Bahkan Komnas Perempuan dan Komnas HAM pada 2023 telah mengeluarkan rekomendasi kepada KLHK dan Kementerian ESDM agar membatalkan proyek PT DPM karena memicu konflik sumber daya alam dan tata ruang, serta melanggar HAM.

Menurut Rohani, konstitusi telah menjamin perlindungan dan pemenuhan HAM mencakup hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak, hak atas lingkungan yang baik dan sehat, dan perlakuan khusus yang tertuang di pasal 27 dan 28 H UUD 1945.

“Semoga ini menjadi perhatian majelis hakim MA,” pintanya.

Senada, kuasa hukum warga Dairi, Judianto Simanjuntak mengungkapkan, gugatan warga Dairi ke PTUN Jakarta saat ini dalam tahapan kasasi di Mahkamah Agung. Kasasi berkaitan dengan keselamatan warga yang kini terancam oleh aktivitas tambang seng dan timah hitam PT DPM.

“Dairi merupakan kawasan yang rawan gempa karena dilalui oleh tiga jalur patahan yakni patahan Toru, Renun, dan Angkola. Kerawanan itu membuat Dairi tidak layak untuk ditambang karena peristiwa gempa dapat menjadi bencana yang membahayakan nyawa warga di sekitar tambang,” ungkap Judianto yang juga mewakili Sekretariat Bersama Tolak Tambang.

Judianto merujuk pada kajian Steve Emerman, ahli hidrologi internasional menyebut keberadaan PT DPM tidak tepat, karena berada di atas tanah yang tidak stabil dan rawan gempa bumi.

“PT DPM adalah tambang yang akan mengakibatkan bencana jika diizinkan untuk dilanjutkan,’’ tegasnya.

Ihwal kerawanan tersebut, menurut Judianto, ditegaskan Majelis Hakim PTUN Jakarta yang menyatakan Kabupaten Dairi merupakan daerah rawan bencana sehingga tidak layak untuk ditambang. Selain itu, dalam putusannya, Majelis Hakim PTUN Jakarta menekankan Kecamatan Silima Pungga-Pungga sebagai kawasan lahan sawah fungsional yang tidak dapat beralih fungsi, ditinjau dari pengaturan tata ruang Kabupaten Dairi.

“Majelis Hakim PTUN Jakarta juga menekankan perlunya menerapkan asas kehati-hatian untuk mencegah terjadinya kerusakan lingkungan,” katanya.

Menurut Judianto, warga Dairi dan warga perantauan dari Dairi sangat mengapresiasi putusan PTUN Jakarta sebelumnya. Namun sayang, di tingkat banding, masyarakat Dairi dikalahkan Majelis Hakim PT TUN Jakarta dengan putusan yang membatalkan putusan PTUN Jakarta Nomor 59/G/LH/2023/PTUN.JKT.

Putusan tersebut menyebut PTUN Jakarta adalah keliru. Kekeliruan fatal lainnya, menurut Judianto, putusan PTTUN Jakarta menyatakan PT DPM sudah melalui prosedur yang benar. Padahal berdasarkan fakta, penerbitan persetujuan lingkungan berupa dokumen kelayakan lingkungan hidup tidak melibatkan masyarakat yang terdampak secara langsung.

“Majelis Hakim PTTUN Jakarta juga keliru menyatakan warga yang menggugat tidak memiliki kepentingan hukum, padahal warga menggugat karena menjadi korban yang terdampak langsung aktivitas PT DPM,” ujar Judianto Simanjuntak.

Juru Kampanye Trend Asia dari Koalisi Bersihkan Indonesia Meike Inda Erlina menilai konflik antara warga Dairi dan PT DPM menjadi pertanda bahwa pemerintah masih mengedepankan ekonomi ekstraktif yang dikuasai oleh swasta, berskala besar, dan menimbulkan krisis multidimensi.

Corak khasnya adalah sejak awal tidak ada pelibatan partisipasi warga dan prosesnya tidak transparan. “Sehingga warga tidak mendapatkan informasi utuh mengenai proyek yang akan mengancam ruang hidup dan keselamatan mereka,” paparnya.

Sementara PT DPM diberikan berbagai kemudahan, termasuk perizinan dan dukungan pembiayaan meskipun telah banyak dugaan pelanggaran yang dilakukan.

“Kami mendesak pemerintah, alih-alih terus mempertahankan ekonomi ekstraktif yang rakus, merusak lingkungan dan menambah ketimpangan, pemerintah sebaiknya melakukan transformasi menuju ekonomi inklusif yang lebih berkeadilan dan dapat mengurangi ketimpangan multidimensi,” tandas Meike.

496 kali dilihat, 1 kunjungan hari ini
Editor: Jekson Simanjuntak

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *