Oleh: Syafruddin Karimi*
Indonesia menempati peringkat 122 dari 122 negara dalam Trade Barrier Index (TBI) 2025, menjadikannya negara dengan hambatan perdagangan tertinggi di dunia. Posisi ini bukan sekadar angka statistik. Ini adalah peringatan keras bahwa sistem perdagangan nasional tengah dikunci oleh kebijakan yang lebih bersifat membatasi ketimbang membuka peluang.
Di era ketika keterbukaan menjadi kunci pertumbuhan, Indonesia justru membangun tembok-tembok proteksi yang kian tinggi terhadap arus barang dan jasa global.
Trade Barrier Index 2025 mengukur berbagai elemen yang mencerminkan tingkat keterbukaan perdagangan suatu negara—mulai dari tarif dan kuota, hambatan non-tarif, hingga efisiensi logistik dan kesederhanaan prosedur perizinan (Thompson & Center for International Trade and Economics, 2025).
Indonesia berada di peringkat paling bawah. Posisi ini mencerminkan akumulasi kebijakan yang, sengaja atau tidak, menempatkan proteksi sebagai norma utama dalam sistem ekonomi nasional.
Baca juga: Kesepakatan Dagang AS-China: Implikasi Global dan Peluang RI
Pemerintah mendorong substitusi impor dan industrialisasi berbasis hilirisasi. Dalam praktiknya, kebijakan ini menampakkan wujudnya dalam bentuk larangan ekspor bahan mentah, tarif tinggi untuk berbagai barang konsumsi, dan regulasi teknis berlapis seperti sertifikasi halal, izin edar, dan pembatasan pelabelan.
Meski niatnya untuk melindungi industri nasional, penerapannya justru menciptakan ketidakpastian dan inefisiensi. WTO menegaskan bahwa tarif rata-rata Indonesia berada di atas rata-rata negara G20 dan prosedur perdagangannya termasuk paling kompleks (WTO, 2024).
Sementara itu, negara-negara pesaing seperti Vietnam dan Bangladesh justru menyederhanakan peraturan dan mempercepat arus barang. Mereka berhasil menarik investasi asing karena menawarkan kepastian, efisiensi, dan keterhubungan yang lebih baik ke dalam rantai pasok global.
Indonesia yang dulu dijuluki sebagai negara dengan potensi manufaktur besar di Asia Tenggara kini tersisih karena tersandung oleh regulasi yang mempersulit pelaku usaha domestik maupun asing.
Kebijakan protektif juga berdampak langsung pada kesejahteraan konsumen. Tarif tinggi menaikkan harga barang impor. Regulasi teknis membatasi jumlah produk yang beredar di pasar. Efeknya dirasakan oleh masyarakat dalam bentuk harga kebutuhan pokok yang mahal dan terbatasnya pilihan barang berkualitas.
Baca juga: Ketegangan Asia Selatan dan Peran Strategis Indonesia
Ketika harga melonjak, sebagian menyalahkan kondisi global, padahal ada komponen domestik yang tak kalah besar perannya: hambatan kebijakan yang dibuat sendiri.
Dalam konteks ekonomi digital, Indonesia juga tertinggal. Negara-negara dengan hambatan rendah seperti Singapura dan Korea Selatan memperluas jangkauan perdagangan digital mereka. Mereka mendorong pertumbuhan UMKM melalui integrasi dengan e-commerce lintas batas.
Di Indonesia, pelaku usaha masih dihadang oleh pembatasan transaksi lintas negara dan beban regulasi yang melemahkan daya saing digital. Padahal digitalisasi merupakan kanal utama bagi UMKM untuk menembus pasar global.
Bank Dunia mencatat bahwa negara dengan hambatan perdagangan yang rendah mengalami pertumbuhan ekspor dan arus investasi asing yang lebih tinggi (World Bank, 2023). Mereka juga memiliki efisiensi logistik yang lebih baik dan tingkat produktivitas yang lebih tinggi.
Indonesia sebenarnya punya modal besar untuk mengikuti jejak tersebut. Sayangnya, kecenderungan mempertahankan kebijakan protektif justru memperkecil peluang integrasi global dan memperlemah posisi tawar dalam perundingan internasional.
Baca juga: Menjaga Permintaan dan Stabilitas di Tengah Tekanan Ekonomi
Peringkat ke-122 juga membawa dampak reputasi. Negara-negara mitra dagang dapat meragukan komitmen Indonesia terhadap perdagangan bebas yang adil. Mereka mungkin meninjau ulang kerja sama dagang, atau bahkan mengenakan tindakan balasan.
Di tengah arus perjanjian ekonomi regional seperti RCEP dan IPEF, reputasi sebagai negara tertutup bisa menjadi penghalang serius untuk memperluas jejaring dagang.
Meski demikian, pemerintah tidak perlu menerima begitu saja posisi ini. Indonesia masih memiliki kesempatan untuk melakukan perbaikan sistemik dan membuktikan bahwa tuduhan tersebut tidak sepenuhnya akurat.
Pemerintah dapat mengajukan klarifikasi dan menantang indikator yang tidak kontekstual jika memang penilaian dalam TBI 2025 dianggap mengabaikan reformasi yang telah dilakukan atau merugikan kepentingan nasional.
Reformasi tetap menjadi prioritas. Penyederhanaan birokrasi, penguatan INSW dan NLE, penghapusan regulasi yang diskriminatif, serta promosi produk unggulan melalui strategi perdagangan adaptif perlu dijalankan dengan konsisten. Pemerintah juga harus aktif dalam forum dagang internasional untuk menjelaskan posisi dan arah kebijakan ekonomi Indonesia secara terbuka dan terukur.
Baca juga: Ilusi Gelora Pertanian di Tengah Lesunya Ekonomi
Kita tidak bisa terus terkurung dalam ilusi proteksi. Pasar dunia tidak menunggu, dan persaingan tidak mengenal belas kasihan. Strategi proteksi total terbukti menutup jalan pertumbuhan.
Indonesia harus melangkah ke depan dengan keberanian, bukan ketakutan bersaing. Keterbukaan, jika dikelola dengan cerdas dan inklusif, justru membuka jalan bagi keadilan ekonomi dan transformasi industri.
Pemerintah perlu menjadikan peringkat ini sebagai dorongan untuk bertindak, bukan sebagai cap permanen. Indonesia harus siap mengonfrontasi penilaian yang tidak faktual apabila terbukti merugikan daya saing nasional.
Lebih dari itu, Indonesia perlu membuktikan kepada dunia bahwa bangsa ini tidak takut bersaing, tidak takut berubah, dan tidak akan tinggal diam dalam menghadapi tantangan global.
*) Guru Besar Departemen Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB), Universitas Andalas