Oleh: Syafruddin Karimi*
Indonesia menghadapi tantangan besar dalam menjaga stabilitas ekonomi di tengah pelemahan penerimaan negara, ketidakpastian global, dan krisis permintaan domestik. Pada kuartal I 2025, penerimaan pajak dan PNBP mengalami penurunan simultan. Pelaporan SPT turun 1,21%, basis pajak menyempit, dan cadangan devisa terkuras akibat intervensi Bank Indonesia untuk menahan depresiasi rupiah.
Sementara itu, konsumsi rumah tangga masih lesu, indeks keyakinan konsumen belum pulih, dan penciptaan lapangan kerja formal mandek. Dalam kondisi ini, negara tidak bisa bersikap pasif. Negara harus hadir secara aktif sebagai penggerak utama permintaan agregat dan stabilisator ekonomi, sebagaimana dikemukakan oleh pemikiran Post-Keynesian.
Fiskal Aktif di Tengah Tekanan Pendapatan
Penurunan penerimaan negara memang membatasi ruang fiskal, tetapi bukan alasan untuk menahan belanja. Ketika rumah tangga mengurangi konsumsi dan pelaku usaha menahan investasi, hanya negara yang mampu menciptakan permintaan baru melalui belanja publik.
Pemerintah harus memperkuat transfer sosial, mempercepat proyek infrastruktur padat karya, dan menyalurkan bantuan langsung kepada kelompok berpendapatan rendah. Strategi ini bukan pilihan ideologis, melainkan kebutuhan ekonomi. Dalam pendekatan Post-Keynesian, permintaan menciptakan pendapatan, bukan sebaliknya (Lavoie, 2014). Maka ketika permintaan melemah, negara wajib menyalurkan likuiditas ke sektor riil.
Belanja pemerintah harus berjalan cepat dan terarah, terutama di tengah masa transisi politik. Keterlambatan eksekusi anggaran hanya memperbesar output gap dan menghambat pemulihan ekonomi.
Negara memiliki kapasitas fiskal untuk menjalankan defisit selama belanja diarahkan untuk menciptakan kapasitas produktif. Defisit fiskal bukan ancaman selama digunakan untuk menjaga kesejahteraan, memperkuat infrastruktur sosial, dan meningkatkan produktivitas nasional (Tcherneva, 2020).
Geopolitik dan Nilai Tukar: Peran Aktif Bank Sentral
Tekanan eksternal semakin kuat seiring konflik India–Pakistan, ketidakpastian kebijakan suku bunga The Fed, dan ancaman tarif dagang Presiden Trump. Rupiah menembus level 16.500 per USD dan cadangan devisa Indonesia turun menjadi USD 152,5 miliar pada April 2025.
Bank Indonesia telah bertindak melalui intervensi senilai USD 2 miliar untuk menahan gejolak pasar (Hastiadi, 2025). Dalam konteks ini, intervensi aktif menjadi pilihan logis untuk menjaga stabilitas nilai tukar dan menghindari inflasi impor yang dapat memperburuk daya beli.
Post-Keynesian menolak pandangan bahwa pasar valas harus dibiarkan bergerak bebas. Bank sentral berperan sebagai pelindung stabilitas makroekonomi, bukan hanya pengendali inflasi (Mitchell et al., 2019). Stabilitas nilai tukar penting untuk melindungi harga pangan, energi, dan barang konsumsi rumah tangga.
Dalam situasi volatil, bank sentral harus bersikap tegas tanpa selalu menaikkan suku bunga. Strategi mempertahankan suku bunga sambil melakukan pelonggaran makroprudensial seperti yang dilakukan BI saat ini merupakan langkah cerdas untuk menahan pelemahan tanpa membunuh kredit dan pertumbuhan.
Krisis Permintaan dan Strategi Pemulihan
Lesunya konsumsi rumah tangga terlihat jelas dalam pelemahan indeks keyakinan konsumen. Meskipun indeks meningkat tipis pada April 2025 ke level 121,7, komponen ekspektasi ekonomi dan ketersediaan kerja justru turun. Konsumen hanya merespons peningkatan pendapatan sementara akibat bonus Idulfitri, bukan karena mereka percaya pada prospek ekonomi ke depan.
Situasi ini mencerminkan krisis permintaan yang lebih dalam. Ketika rumah tangga pesimistis terhadap masa depan, mereka cenderung menahan konsumsi. Investasi swasta pun tidak akan tumbuh jika permintaan terus melemah.
Negara harus menggerakkan kembali roda permintaan melalui belanja yang langsung menyentuh masyarakat. Program kerja langsung, bantuan tunai bersyarat, dan subsidi kebutuhan dasar dapat memulihkan keyakinan rumah tangga. Ketika masyarakat merasakan bahwa pendapatan mereka dijamin oleh negara, mereka akan kembali membelanjakan uangnya. Pemulihan permintaan membutuhkan rasa aman, bukan sekadar angka inflasi rendah.
Risiko Fiskal dan Kepatuhan Pajak
Risiko fiskal jangka menengah akan meningkat jika tren penurunan pelaporan SPT, basis pajak yang menyusut, dan belanja pemerintah yang lambat terus berlanjut. Ketika basis penerimaan melemah, negara harus mengoptimalkan sisi belanja.
Pendekatan yang terlalu fokus pada target defisit justru bisa kontraproduktif. Kepatuhan pajak hanya bisa dibangun di atas sistem yang adil dan administrasi yang ramah pengguna. Coretax harus menjadi solusi, bukan penghambat. Pelaporan SPT harus mudah, cepat, dan dapat diakses oleh semua segmen masyarakat, termasuk pekerja informal.
Post-Keynesian menekankan bahwa perpajakan bukan instrumen utama pembiayaan negara, melainkan alat distribusi dan pengendali inflasi. Negara menciptakan uang melalui pengeluaran, dan memungut pajak untuk menciptakan ruang fiskal dan stabilitas harga (Wray, 2015). Maka fokus utama dalam jangka pendek bukan pada peningkatan pajak, tetapi pada efektivitas belanja dan keberanian negara dalam menjalankan misinya sebagai penjamin kesejahteraan.
Strategi Ketenagakerjaan: Kunci Stabilitas Sosial
Stagnasi penciptaan lapangan kerja formal dan meningkatnya pengangguran terselubung di sektor informal menandakan kegagalan pendekatan pasar dalam menciptakan pekerjaan. Strategi ketenagakerjaan nasional harus berubah dari pasif menjadi aktif.
Negara harus menciptakan pekerjaan secara langsung melalui proyek padat karya, restorasi ekosistem, dan pelayanan publik berbasis komunitas. Skema jaminan pekerjaan atau job guarantee menjadi opsi yang layak dikembangkan dalam konteks Indonesia.
Pekerjaan bukan sekadar angka statistik, tetapi fondasi stabilitas sosial dan demokrasi ekonomi. Negara harus menjamin bahwa setiap warga yang ingin bekerja, dapat bekerja dengan upah layak dan kondisi yang manusiawi. Pembangunan ekonomi tanpa jaminan pekerjaan akan memperluas ketimpangan dan menciptakan ketidakpuasan sosial yang membahayakan stabilitas jangka panjang.
Penutup
Indonesia membutuhkan negara yang hadir, bukan negara yang menarik diri. Dalam arus ketidakpastian global dan domestik, hanya kebijakan aktif dan berpihak pada rakyat yang mampu menjaga stabilitas dan pertumbuhan.
Negara harus memimpin pemulihan, memperkuat permintaan, dan menciptakan ruang fiskal yang adil dan produktif. Ekonomi Indonesia tidak akan pulih jika hanya mengandalkan pasar. Ia butuh kehadiran negara yang berani, progresif, dan berkomitmen pada kesejahteraan warganya.
*) Guru Besar Departemen Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Andalas