Oleh: Syafruddin Karimi*
Pemerintah baru saja meluncurkan Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara) dengan harapan besar bahwa lembaga ini akan menjadi katalis bagi pertumbuhan ekonomi nasional. Danantara diklaim akan mengelola kekayaan negara secara terpisah dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan mengoptimalkan investasi strategis.
Pemerintah menegaskan keberadaan Danantara dapat memperkuat infrastruktur, ketahanan pangan, hilirisasi industri, dan pengembangan energi terbarukan. Namun, pertanyaannya: benarkah Danantara akan menjadi mesin pertumbuhan ekonomi? Ataukah justru berisiko menjadi beban baru bagi negara?
Harapan Besar pada Danantara
Pemerintah mengklaim bahwa model Danantara mengacu pada berbagai sovereign wealth fund (SWF) yang telah sukses di berbagai negara, seperti Temasek Holdings (Singapura) atau Norway Government Pension Fund Global. Dengan model ini, Danantara diharapkan dapat menarik investasi asing, mengelola aset negara dengan lebih efisien, serta mempercepat pembangunan ekonomi melalui berbagai proyek strategis.
Lebih lanjut, Danantara akan mengonsolidasikan beberapa BUMN besar, termasuk Bank Mandiri, BRI, dan BNI. Dengan skema ini, pemerintah berharap dapat menciptakan sinergi yang lebih kuat antara sektor keuangan dan sektor riil. Konsepnya tampak menjanjikan, tetapi tantangan besar masih menghadang.
Ancaman terhadap Stabilitas Perbankan
Salah satu isu paling krusial dari pembentukan Danantara adalah dampaknya terhadap stabilitas perbankan. Tiga bank BUMN yang masuk dalam skema Danantara selama ini berperan sebagai tulang punggung sistem keuangan nasional. Ketiga bank tersebut memiliki peran besar dalam penyaluran kredit, pembiayaan UMKM, serta pengelolaan Dana Pihak Ketiga (DPK).
Jika pengelolaan Danantara tidak berjalan optimal atau mengalami tekanan keuangan, maka dampaknya bisa sangat luas. Meskipun hanya berupa dividen dari ketiga bank tersebut, dana perbankan yang dialokasikan ke Danantara berisiko mengurangi kapasitas bank dalam menyalurkan kredit ke sektor produktif. Dalam jangka panjang, hal ini dapat melemahkan daya dorong perbankan terhadap pertumbuhan ekonomi.
Lebih jauh, dana yang ditarik dari laba bank BUMN untuk Danantara berarti mengurangi penerimaan negara dari dividen bank-bank tersebut. Sebelumnya, dividen dari bank BUMN masuk ke APBN dan digunakan untuk belanja negara, termasuk infrastruktur dan subsidi. Jika sebagian besar dana tersebut dialihkan ke Danantara, maka pemerintah harus mencari sumber pendapatan baru atau mengurangi belanja publik. Dalam kondisi fiskal yang ketat, kebijakan ini dapat memberikan tekanan lebih besar terhadap APBN.
Risiko Akuntabilitas dan Tata Kelola
Keberhasilan SWF di negara lain, seperti Temasek atau Norway Government Pension Fund, sangat bergantung pada akuntabilitas dan tata kelola yang kuat. Kedua institusi ini memiliki tingkat transparansi yang tinggi, pengelolaan risiko yang disiplin, serta pengawasan ketat dari publik dan parlemen.
Sebaliknya, Indonesia memiliki rekam jejak buruk dalam tata kelola investasi negara, terutama dalam pengelolaan BUMN. Banyak kasus korupsi besar yang melibatkan BUMN dan perusahaan pelat merah lainnya. Kasus Jiwasraya, Asabri, hingga dugaan korupsi dalam pengelolaan Dana Ketahanan Energi menjadi contoh bagaimana investasi negara sering kali gagal akibat buruknya tata kelola dan lemahnya pengawasan.
Danantara berisiko menghadapi permasalahan serupa jika tidak memiliki mekanisme transparansi yang kuat dan independensi dalam pengelolaannya. Tanpa mekanisme pengawasan yang ketat, potensi penyelewengan dana sangat besar, terutama jika Danantara lebih banyak berinvestasi dalam proyek-proyek yang memiliki kepentingan politik atau ekonominya tidak layak.
Dampak terhadap APBN dan Kewajiban Negara
Salah satu daya tarik Danantara adalah pengelolaannya yang terpisah dari APBN. Pemerintah menyatakan bahwa ini akan mengurangi beban fiskal dan meningkatkan fleksibilitas investasi. Namun, jika Danantara mengalami kegagalan atau merugi, siapa yang akan menanggung risikonya?
Sejarah menunjukkan bahwa ketika perusahaan atau institusi milik negara mengalami kesulitan keuangan, negara hampir selalu turun tangan untuk menyelamatkannya. Bailout terhadap bank pada krisis 1998, penyelamatan Jiwasraya, dan kasus Asabri menjadi bukti bahwa negara akhirnya harus menanggung beban finansial yang sangat besar.
Jika Danantara mengalami masalah keuangan, pemerintah hampir pasti akan menggunakan dana publik untuk menalangi kerugiannya. Hal ini akan menciptakan moral hazard, di mana pengelola Danantara mungkin lebih berani mengambil risiko tinggi tanpa mempertimbangkan konsekuensinya secara mendalam, karena mereka tahu bahwa pada akhirnya negara akan menanggung kerugian.
Strategi untuk Mencegah Kegagalan
Agar Danantara benar-benar berfungsi sebagai mesin pertumbuhan ekonomi, bukan sekadar proyek ambisius yang berisiko tinggi, pemerintah harus memastikan beberapa hal berikut. Pertama, perlunya mekanisme transparansi dan akuntabilitas yang ketat. Danantara harus memiliki laporan keuangan yang dipublikasikan secara rutin, diaudit oleh lembaga independen, dan tunduk pada pengawasan ketat dari DPR dan publik.
Kedua, tidak mengganggu stabilitas perbankan. Pengalihan dana dari bank BUMN harus dilakukan dengan hati-hati agar tidak mengurangi kapasitas bank dalam menyalurkan kredit ke sektor produktif.
Ketiga, fokus pada investasi yang produktif dan berkelanjutan. Danantara harus menghindari proyek yang berisiko tinggi dan tidak memiliki dampak ekonomi yang jelas, terutama proyek-proyek yang hanya menguntungkan segelintir pihak.
Keempat, tidak bergantung pada bailout pemerintah. Jika Danantara mengalami kesulitan keuangan, pemerintah tidak boleh serta-merta menggunakan dana APBN untuk menyelamatkannya. Mekanisme mitigasi risiko harus disiapkan sejak awal.
Kelima, mencegah intervensi politik. Pengelolaan Danantara harus bebas dari kepentingan politik jangka pendek. Pengambilan keputusan investasi harus didasarkan pada prinsip ekonomi yang jelas, bukan kepentingan kelompok tertentu.
Apakah Danantara Mesin Pertumbuhan atau Bom Waktu?
Danantara memiliki potensi besar untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi jika dikelola dengan prinsip tata kelola yang baik, transparansi, dan akuntabilitas yang tinggi. Namun, tanpa mekanisme pengawasan yang ketat, Danantara bisa menjadi bom waktu yang justru mengancam stabilitas ekonomi dan keuangan nasional.
Pemerintah harus memastikan bahwa Danantara tidak menjadi ladang bagi kepentingan segelintir elite politik dan bisnis, melainkan benar-benar memberikan manfaat nyata bagi ekonomi nasional. Tanpa pengawasan yang ketat dan kebijakan yang hati-hati, Danantara bukan hanya gagal menjadi mesin pertumbuhan ekonomi, tetapi bisa menjadi skandal keuangan terbesar dalam sejarah Indonesia.
*) Guru Besar Departemen Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Andalas