1446
1446

Cegah Defisit Tak Melebar, Belanja Negara Perlu Dipotong

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati (ketiga kiri) bersama Wakil Menteri Suahasil Nazara (kedua kiri), Anggito Abimanyu (kiri), Thomas A. M. Djiwandono (kedua kanan), Sekretaris Jenderal Heru Pambudi (ketiga kanan) dan Direktur Jenderal Pajak Suryo Utomo (kanan) bersiap mengikuti konferensi pers APBN KiTa di Jakarta, Kamis (13/3/2025). Menteri Keuangan melaporkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) per 28 Februari 2025 mengalami defisit sebesar Rp31,2 triliun atau 0,13 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Foto: Antara

Oleh: Awalil Rizky*

Belanja negara selama dua bulan tahun 2025 dilaporkan sebesar Rp348,1 triliun. Merupakan 9,60% dari rencana APBN 2025 yang sebesar Rp3.621,3 triliun. Turun cukup signifikan hingga 7,00% dari realisasi tahun lalu yang sebesar Rp374,32 triliun.

Penurunan belanja terutama disebabkan penundaan yang sering disebut “blokir” dari cukup banyak akun belanja selama proses penyusunan efisiensi. Besaran alokasi baru sendiri belum ditetapkan secara resmi atau memiliki payung hukum. Bahkan, belum dipastikan apakah realokasi mengubah postur APBN.

Belanja negara didefinisikan sebagai kewajiban pemerintah pusat yang diakui sebagai pengurang nilai kekayaan bersih. Pengertian ini mencakup semua pengeluaran negara dalam satu tahun anggaran yang bersifat mengurangi ekuitas dana lancar dan merupakan kewajiban negara. Akan tetapi hanya pengeluaran yang tidak berakibat perolehan pembayaran kembali di waktu mendatang.

Baca juga: Pendapatan RI Jeblok, Insentif Perpajakan Perlu Dievaluasi

Belanja negara selama era Presiden Jokowi memang selalu meningkat dari tahun ke tahun, dengan laju kenaikan yang berfluktuasi. Pada periode pertama, rata-rata kenaikan sebesar 5,42% per tahun. Meningkat signifikan pada periode kedua karena pandemi, rata-rata naik sebesar 7,80% per tahun.

Belanja negara direncanakan APBN 2025 sebesar Rp3.621,3 triliun atau meningkat 8,09% dibanding realisasi sementara APBN 2024 yang sebesar Rp3.350,3 triliun. Terdiri dari dua kelompok besar, yaitu Belanja Pemerintah Pusat (BPP) dan Transfer ke Daerah (TKD). BPP sebesar Rp2.701,44 triliun (74,60%) dan TKD sebesar Rp919,87 triliun (25,40%).

BPP dibelanjakan langsung oleh Pemerintah Pusat untuk kegiatan operasional maupun kegiatan Pembangunan. Secara organisasi yang membelanjakan, terdiri dari belanja Kementerian/Lembaga (K/L) dan Belanja NonK/L.

Total Belanja K/L mencapai Rp1.094,66 triliun dengan jumlah organisasi sekitar 100 unit. Sedangkan Belanja NonK/L sebesar Rp1.606,79 triliun, merupakan belanja melalui bendahara umum negara (BUN). Antara lain dalam hal pembayaran bunga utang, subsidi, bantuan sosial, dan belanja lain-lain.

Baca juga: 3 Penyebab Pajak RI 2025 Menurun, Apa yang Harus Dilakukan?

Realisasi Belanja Pemerintah Pusat selama dua bulan tahun 2025 dilaporkan sebesar Rp211,5 triliun. Merupakan 7,80% dari target APBN 2025 yang sebesar Rp2.701,4 triliun. Turun 11,74% dari realisasi tahun lalu, terutama disebabkan “blokir” banyak akun K/L selama proses efisiensi bulan Februari.

TKD merupakan belanja pemerintah pusat yang diserahkan kepada pemerintah daerah, dan masuk dalam penerimaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang bersangkutan. Sebagian penggunaannya telah ditentukan pusat atau diberi batasannya, sebagian lagi diserahkan penuh pada Daerah.

Realisasi TKD selama dua bulan tahun 2025 dilaporkan sd akhir Februari 2025 sebesar Rp211,5 triliun. Mencapai 14,90% dari target APBN 2025 yang sebesar Rp919,9 triliun. Naik 1,43% dari realisasi tahun lalu, dan bisa dikatakan kinerja TKD cukup wajar. Terutama terkait dengan layanan publik yang wajib di daerah.

Laporan realisasi selama bulan Januari dan Februari 2025 tentang Pendapatan Negara sebesar Rp triliun dan Belanja Negara sebesar Rp348,1 triliun, maka dialami defisit sebesar Rp31,2 triliun. Menteri Keuangan menjelaskan hal ini wajar, karena memang direncanakan sebesar Rp616,2 triliun pada APBN 2025.

Baca juga: Pendapatan Negara Tahun 2025 Terancam Menurun

Alasan Menkeu sepintas bisa diterima karena memang defisit baru 5,1% dari rencananya. Namun, dua bulan pertama pada tahun 2022, 2023, dan 2024 justeru alami surplus. Hanya defisit pada saat pandemi 2020 dan 2021. Dengan kata lain, kondisi defisit pada saat baru 2 bulan jelas bukan petanda baik bagi kondisi fiskal.

Defisit dua bulan ini terutama disebabkan Pendapatan Negara yang turun 20,85% dibanding capaian tahun lalu, dan hanya 10,50% dari target APBN 2025. Ini menjadi peringatan kondisi setahunnya akan cukup berat. Dengan demikian, upaya mencegah defisit tidak melebar akan lebih mengandalkan pengendalian belanja.

Kebijakan efisiensi anggaran, terutama berupa pemotongan belanja, sebenarnya cukup tepat dilihat dari sisi ini. Akan tetapi, sejauh ini masih terdapat kesimpangsiuran informasi tentang apakah akan direalokasi seluruhnya atau hanya sebagiannya. Program MBG dan beberapa prioritas lainnya masih dikemukakan.

Besaran alokasi baru sendiri belum ditetapkan secara resmi atau bahkan tidak diketahui apakah akan ada APBN Perubahan 2025. Jika postur tidak berubah, hanya realokasi, maka bisa dipastikan defisit akan melebar. Tidak tertutup kemungkinan mendekati batas 3% dari Produk Domestik Bruto (PDB).

*) Ekonom Bright Institute

6 kali dilihat, 6 kunjungan hari ini
Editor: Bethriq Kindy Arrazy

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *