Oleh: Syafruddin Karimi*
Kebijakan tarif sepihak Presiden Amerika Serikat Donald Trump kembali mengguncang tatanan perdagangan global. Di tengah ketegangan tersebut, Indonesia mengambil langkah sigap dengan mengirimkan delegasi ekonomi tingkat tinggi ke Washington D.C. pada 16–23 April 2025. Tujuannya jelas: membuka ruang negosiasi, mencegah eskalasi lebih jauh, dan menyelamatkan stabilitas perdagangan nasional.
Delegasi yang dipimpin oleh Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto ini juga diperkuat oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani, Wakil Menteri Luar Negeri Arrmanatha Nasir, Wakil Menkeu Thomas Djiwandono, Ketua OJK Mahendra Siregar, dan tokoh senior Dewan Ekonomi Nasional, Mari Elka Pangestu. Dalam konferensi pers yang dikutip Bloomberg Technoz (14 April 2025), Airlangga menjelaskan,
“Kami akan bertemu dengan USTR, dengan Sekretaris Komersial, dengan Menteri Sekretaris State dan juga Sekretaris Perdagangan. Hari ini Pak Menlu juga akan berangkat ke Washington DC, kemudian besok saya dan Ibu Mari akan berangkat.”
Baca juga: Tarif Ekstra Tinggi dalam Pikiran Trump
Baca juga: Langkah Politik: Tidak Ada Lagi Teori Ekonomi
Langkah ini mencerminkan keseriusan pemerintah dalam merespons tekanan yang, jika tak diantisipasi, bisa berdampak pada kinerja ekspor, lapangan kerja, serta posisi strategis Indonesia dalam rantai pasok global. Pemerintah juga telah menyiapkan dokumen non-paper yang komprehensif, mencakup isu tarif, hambatan non-tarif, investasi, hingga kerja sama ekonomi lintas sektor. Ini bukan sekadar upaya teknis, tapi strategi diplomasi ekonomi menyeluruh.
Meski demikian, kita perlu memahami berbagai kemungkinan hasil. Skenario yang paling mungkin adalah penangguhan atau pelonggaran terbatas tarif oleh AS terhadap beberapa produk ekspor Indonesia. Ini bisa dianggap sebagai kemenangan simbolik yang menyelamatkan muka kedua pihak.
Namun, kita juga harus bersiap jika negosiasi tidak menghasilkan konsesi apapun. Trump telah membuktikan bahwa ia siap menggunakan tarif sebagai alat tekan politik, dan tak segan menarget negara-negara yang dianggap lemah posisi tawarnya.
Skenario ketiga, yang ideal namun sulit tercapai, adalah kesepakatan strategis yang lebih luas: mencakup investasi, kerja sama energi, bahkan aliansi teknologi atau pertahanan.
Baca juga: Dari Perang Tarif ke Strategi Ekspor: Pelajaran dari Relasi Dagang AS-China
Tapi untuk itu, Indonesia harus bisa menawarkan kepentingan bersama yang konkret dan jangka panjang. Dalam konteks ini, posisi Indonesia di Indo-Pasifik dan peluang pembangunan ekonomi hijau bisa menjadi kartu diplomatik yang patut dimainkan.
Lebih dari sekadar perundingan dagang, misi ke Washington ini adalah ujian awal bagi strategi ekonomi luar negeri Indonesia di bawah pemerintahan Prabowo Subianto. Arahan langsung Presiden untuk menyurati tiga kementerian ekonomi menunjukkan bahwa negosiasi ini bukan urusan teknokrat semata, tapi kepentingan negara secara utuh.
Apapun hasilnya, dunia kini menyaksikan bahwa sistem perdagangan berbasis aturan telah tergeser oleh kebijakan koersif berbasis kekuatan. Dalam situasi ini, Indonesia tidak boleh pasif.
Ia harus berani menjadi pemain strategis yang tidak hanya merespons krisis, tapi mempersiapkan diri dengan skenario jangka panjang: mendiversifikasi pasar ekspor, memperkuat daya saing domestik, dan membangun ekosistem industri yang tahan guncangan global.
*) Guru Besar Departemen Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Andalas